Bak melawan arus seni grafis kontemporer dengan sentuhan teknologi dan segala eksperimentasi liarnya, seorang seniman muda asal Sulawesi Selatan, Muhlis Lugis (29), tetap nyaman menggunakan pisau cukil dalam menghasilkan karya seni grafis yang eksentrik.
Bahkan, karyanya menjadi pemenang ketiga Kompetisi Internasional Trienale Seni Grafis Indonesia V 2015 yang digelar Bentara Budaya.
Setelah melakukan pameran di Bentara Budaya Jakarta bulan lalu, Muhlis melanjutkan pameran tunggal di Bentara Budaya Yogyakarta, 13-21 Maret 2018.
Pameran tunggalnya bertajuk ”Ke mana Harga Diri” dibuka pada Selasa (13/3) pukul 20.15 oleh kurator Bentara Budaya, Romo Sindhunata, dan salah satu juri Trienale Seni Grafis Indonesia V 2015, Syahrizal Pahlevi. Muhlis sendiri tidak bisa hadir karena harus menemani sang istri yang hendak melahirkan anak pertama mereka di Makassar, Sulawesi Selatan.
Muhlis yang berasal dari latar budaya Bugis, Makassar, menafsir tema lewat sudut pandang budaya daerahnya. Kesempurnaan manusia dalam pandangan hidup orang Bugis, Makassar, adalah apabila mereka memiliki siri, yaitu rasa malu atau harga diri dalam bahasa Bugis.
”Tidak adanya rasa malu dalam diri manusia menghasilkan perbuatan destruktif, seperti korupsi, pencurian, dan hal buruk lainnya. Munculnya berbagai macam fenomena siri di dalam masyarakat menginspirasi Muhlis dalam menciptakan karya-karya grafisnya,” kata Sindhunata.
Dalam pameran ini, karya Muhlis kebanyakan berupa grafis hitam-putih yang menghadirkan nuansa kelam dan berkisah tentang hiruk-pikuk manusia di era global. Karya-karya ini menggambarkan kondisi sosial yang begitu terkesima dengan teknologi hingga melupakan relasi sosial.
Salah satu karyanya yang berjudul ”Addiction” menyadarkan siapa pun yang melihatnya bahwa fungsi tangan kini telah berubah menjadi kepala yang hanya melihat dunia dari gawai. Manusia kini tidak melihat dengan mata, tapi dengan jari yang menari dan menyusuri dunia lewat informasi yang terdapat dalam gawai.
Pahlevi mengatakan, karya Muhlis menyisipkan pesan kepada penikmatnya untuk membangun empati kepada sesama. Manusia kini terlalu cuek dengan sesama mereka yang menyebabkan lingkungan sekitar yang semakin hancur.
Terdapat dua hal yang menjadi alasan mengapa Muhlis terpilih menjadi pemenang ke-3 dalam Trienale Seni Grafis Indonesia V 2015. Pertama, tak banyak perupa yang menekuni teknik ini karena proses pembuatannya yang rumit dan panjang.
Kedua, proses untuk membuat pola gambar seperti yang Muhlis lakukan terhadap karya-karyanya tidak mudah. Dia terlebih dulu harus membuat pola di atas permukaan papan partikel atau hardboard, kemudian mencukilnya untuk menciptakan relief-relief. Selanjutnya, permukaan papan yang telah dicukil dilumuri tinta agar relief dengan permukaan-permukaan berkedudukan tinggi bisa meninggalkan tinta yang akan dirol dan ditempelkan ke permukaan kertas.
”Proses yang panjang ini dilalui Muhlis dengan penuh ketekunan dan kesetiaan. Untuk menciptakan satu karya, ia membutuhkan waktu hingga satu bulan,” ujar Pahlevi.
Meski diciptakan dengan usaha yang berat dan panjang, apresiasi kolektor dan publik seni terhadap karya seni grafis masih kurang. Karena tak mengetahui proses pembuatannya, sejumlah orang menganggap seni grafis seperti dihasilkan dari teknik reproduksi. Selain itu, karya ini juga rawan cuaca karena dicetak di atas permukaan kertas.
Untuk lebih memperkenalkan karya seni grafis, sebelum pameran karya grafis Muhlis Lugis, secara maraton Bentara Budaya di seluruh Indonesia telah memamerkan karya grafis dari juara pertama Trienale Seni Grafis Indonesia V 2015, Jayanta Naskar asal India, dan juara kedua, Puritip Suriyapatarapun dari Thailand.
Kompetisi Trienale Seni Grafis diselenggarakan oleh Bentara Budaya sejak 2003. Kompetisi digagas sebagai upaya terus-menerus menggalakkan seni grafis konvensional. Bentara Budaya berharap kompetisi pameran grafis ini pada waktu mendatang dapat menjadi salah satu parameter perkembangan dan kualitas seni grafis Indonesia.