Wahai Cermin, Katakanlah...
Ragam cermin
Dari arah Stasiun Palmerah ke arah Pejompongan, kios-kios cermin terlihat berderetan di sisi kiri jalan raya. Kios paling ujung selatan milik Erna dan suaminya, yang meneruskan usaha abang Erna.
”Jualan cermin di sini banyak peminatnya, terutama untuk kaca cermin salon,” kata Erna.
Erna menunjukkan cermin- cermin minimalis tanpa bingkai yang juga banyak diminati konsumennya. Cermin-cermin tanpa bingkai itu ada yang dibentuk figur ”Hello Kity” atau buah apel.
Selebihnya, cermin minimalis, tetapi dengan bingkai kecil dari bahan serat fiber. Serat fiber ini juga banyak digunakan untuk pigura. Ada di antaranya cermin dengan bingkai serat fiber itu berukuran kecil.
”Cermin-cermin kecil itu diminati konsumen pria. Biasanya untuk becermin ketika mencukur jenggot,” kata Erna.
Tidak jauh dari kios Erna, terdapat kios cermin milik almarhum Abdullah. Salah satu anaknya, Hapsiah (57), bersama suaminya, Mughibi, meneruskan usaha dagang cermin ayahnya.
”Kami tinggal di sini sejak tahun 1980-an. Kami digusur dari Senayan, dekat lokasi Gedung MPR waktu itu,” kata Hapsiah.
Hapsiah mengetahui bahwa ayahnya pada waktu itu sering berjualan cermin di depan gerbang Kompleks Parlemen di Senayan. Namun, ayahnya juga membuka kios cermin di rumahnya di Pejompongan.
”Dulu orangtua saya banyak menjual cermin dengan bingkai kayu ukir dari Jepara,” kata Hapsiah.
Pelanggannya pun tidak hanya dari Jakarta. Malahan sering pula mendapat konsumen dari Singapura dan Malaysia. Namun, usaha itu sekarang reda. Hapsiah tidak mampu lagi seperti dulu. Ia hanya menjual cermin-cermin minimalis tanpa bingkai atau dengan bingkai serat fiber dengan harga yang terjangkau.
Pedagang cermin berikutnya, Lupi Arisal (38). Lupi tetap mempertahankan menjual cermin dengan bingkai kayu ukir dari Jepara.
”Kami sebelumnya membuka usaha kusen di sini. Tetapi, sejak krisis moneter tahun 1997-1998, kami berganti menjual cermin. Pada waktu itu, Pejompongan sudah dikenal sebagai daerah ramai untuk penjualan kaca cermin,” kata Lupi.
Bentuk yang paling diminati adalah cermin lingkaran dan oval yang berbingkai kayu ukir Jepara. Di kios Lupi, harga cermin tersebut berkisar Rp 1,8 juta sampai Rp 2,5 juta untuk diameter cermin sekitar 40 sentimeter.
Cermin minimalis tanpa bingkai atau dengan bingkai serat fiber dijual dengan harga jauh lebih murah. Untuk cermin ukuran 40 x 90 sentimeter, menurut Lupi, dijual dengan kisaran harga Rp 200.000.
Lupi menceritakan hal yang sama dengan Nur Rakhmat. Pada era reformasi 1998 sampai 2004, ia juga menjajakan cermin di depan gerbang Kompleks Parlemen, Senayan.
”Waktu itu, kami menjual di sana itu sekaligus untuk semacam becermin bagi orang-orang DPR,” ujar Lupi.
Cerita berikutnya dituturkan ibu muda Tuti di kios lain. Tuti mempunyai pengalaman ikut kedua orangtuanya pergi ke Jepara untuk berkulakan bingkai kayu ukir untuk cermin.
”Di Jepara, kami disambut dengan baik. Kami dijamu makan dan disediakan hotel untuk menginap,” kata Tuti.
Pasar mancanegara
Pada waktu itu, era 1980-1990. Menurut Tuti, yang membuat ramai perdagangan cermin di Pejompongan karena masih banyak konsumen atau pembeli dari luar negeri, terutama Singapura dan Malaysia.
Sekarang makin sedikit pembeli cermin di Pejompongan yang datang dari Singapura atau Malaysia. Namun, pembeli dari sana masih saja ada.
”Kami baru saja mengirim dua kubik cermin ke Singapura, Rabu kemarin,” ujar Nur Rakhmat.
Nur Rakhmat menceritakan, konsumen di Singapura datang dan memesan sebanyak 36 cermin dengan bingkai kayu ukir dari Jepara. Harga per cermin itu berkisar Rp 1,8 juta sampai Rp 2,8 juta.
Cermin yang paling diminati konsumen dari Singapura itu dengan bingkai kayu ukir Jepara berbentuk matahari dan daun. Kios cermin Nur Rakhmat berukuran paling besar dibandingkan dengan kios-kios yang lain.
Di kios Nur Rakhmat terpajang cermin-cermin yang berukuran besar. Menurut dia, cermin-cermin berukuran besar itu memiliki pasar tersendiri.
”Mereka biasanya orang Arab atau orang Padang yang menyukai cermin-cermin berbingkai dengan ukuran besar-besar,” ujar Nur Rakhmat.
Cermin hadir di dalam kisah- kisah fiksi atau dongeng. Seperti kisah yang mendunia, Putri Salju dan Tujuh Kurcaci. Salah satu versinya, mengisahkan seorang ratu kerajaan yang terkenal paling cantik di seantero dunia itu mendapat isyarat mimpi bahwa kecantikannya akan dikalahkan putri tirinya.
Ia bermaksud membunuh dan membuang putri itu. Sang ratu menyuruh anak buahnya untuk melakukan itu dan sang putri tidak dibunuh, hanya dibuang ke tengah hutan. Kemudian putri itu dirawat oleh tujuh kurcaci.
Sang ratu memiliki sebuah cermin ajaib. Cermin itu mampu menunjukkan siapa wanita tercantik di dunia. Cermin itu pun selalu mengatakan, sang ratulah yang tercantik di dunia. Hingga suatu ketika si cermin itu mengatakan bahwa ada yang lain yang paling cantik di dunia. Dia adalah sang putri anak tirinya yang seharusnya sudah dibunuh dan dibuangnya ke tengah hutan. Sang ratu pun kalap, marah tak keruan.
Begitulah, sikap sebuah cermin. Ia jujur menilai diri kita. Hanya saja, kerap kali kita mengelak dan mengakalinya setelah mengetahui kejujuran yang diberikan cermin itu bakal merugikan kita.
Kita lalu terjerumus ke dalam pikiran-pikiran jahat, perkataan jahat, hingga meningkat menjadi perbuatan-perbuatan jahat. Kita lantas tidak mau dan tidak mampu lagi ”becermin”.
Cermin Pejompongan sudah tak mampu lagi menawarkan ceritanya di depan gerbang Kompleks Parlemen sekarang. Kisah itu kian lama mungkin saja dilupakan, tetapi bisa saja hidup kembali menjadi cerita yang dianggap fiksi atau dongeng semata.