Mengangkat Derajat Bambu
Penggemar kopi barangkali akan melirik cangkir keramik dengan pegangan (gagang) dari bambu karya Amygdala Bamboo asal Bandung. Gagang itu sekaligus melingkari cangkir. Tiga cangkir mungil diletakkan di atas tatakan dari bambu yang berbentuk oval dan menganut desain ”teralis”. Ukuran cangkirnya 125 mililiter (ml), cukup menarik untuk dituangi kopi.
Ada juga cangkir yang lebih besar, yakni berukuran 200 ml. Gagangnya juga terbuat dari bambu. Diletakkan dalam tatakan bundar berbahan bambu, yang digerus bentukan melingkar di bagian tengahnya agar dasar cangkir tidak bergeser. Sederhana, tetapi memanjakan mata.
Di sudut lain, terlihat gelas bambu tempat pena dan pensil. Sepintas seperti biasa. Permukaan luar gelas ”disapu” oleh warna pink, abu-abu, dan kuning-warna asli bambu. Biasa. Namun, proses membuatnya yang ternyata cukup repot karena yang dipakai bukan potongan bambu.
”Bambu-bambu ini diiris memanjang menjadi lembaran-lembaran (slice). Lalu dilengkung atau dibentuk sesuai keinginan dengan cara dipanaskan dulu. Digulung-gulung, kemudian direkatkan memakai lem,” ujar Firman Mutaqien, anggota tim desain di Amygdala Bamboo, Kamis (22/3).
Dalam teknik pengolahan bambu yang disebut coiling ini, bambu diserut hingga tipis kemudian dililit-lilit. ”Bambu-bambu disemprot memakai wax (lilin) agar awet, terlihat natural, dan terhindar dari jamur,” ujarnya.
Gelas-gelas bambu tadi, misalnya, disusun dari lima slice yang direkatkan. Satu slice atau potongan ini disusun dari irisan-irisan atau lilitan bambu yang dibentuk menggulung. Bentuknya menjadi seperti batang bambu yang dipotong-potong.
Demikian juga pada gagang cangkir yang sebagian memang sengaja dibikin berlubang. Kesan sederhana, tapi bernuansa etnik dan segar pun didapat. Untuk membawa pulang satu cangkir ini, cukup dengan Rp 150.000.
Amygdala banyak menggunakan bambu tali, atau bambu apus, yang banyak dan mudah tumbuh di Indonesia. Amygdala yang mempunyai outlet di kawasan Dago, Bandung, ini bekerja sama dengan perajin bambu di Garut, Jawa Barat. ”Kami yang mendesain semua produk,” katanya.
Selain cangkir-cangkir, banyak produk lainnya dari Amygdala seperti sangkar lampu dan wadah (tempat buah). Desainnya memang menganut konsep sangkar burung yang diwujudkan dalam teralis-teralis bambu. Perpaduan bambu dan keramik juga ada dalam mangkuk.
”Kami ingin bambu semakin dikenal. Enggak sebatas menjadi kursi jika ditaruh di rumah. Bambu tertinggal karena desainnya itu-itu saja,” katanya. Karena itulah, Amygdala yang berdiri sejak 2014 selalu termotivasi membuat desain-desain baru.
Semakin ke sini orang semakin menyukai hal-hal bernuansa etnik dan bambu, salah satu jawabannya. Amygdala, menurut Firman, banyak menerima pesanan dari kafe-kafe, seperti di Bandung, Jakarta, dan Bali. Juga pesanan dari orang-orang yang ingin tampil beda.
Momong
Jika menyukai bambu asli tanpa sentuhan laiknya Amygdala, momong atau cangkir karya Baduy Craft dari Kabupaten Lebak, Banten, bisa jadi pilihan. Dibanding Amygdala yang membuat dengan teknik pemanasan khusus, cangkir dari Baduy menggunakan teknik potong biasa pada satu ruas bambu dan menjadi buku (node) sebagai dasar.
Bagian atas cangkir kemudian dibuat pipih dan diperhalus menggunakan pisau. Dengan begitu, saat menyeruput kopi atau minuman lain terasa pas. Baduy Craft juga menambahkan pegangan dari potongan ruas bambu yang lebih kecil daripada cangkir. Agar tak mudah lepas, pegangan itu dimasukkan ke ceruk kecil di badan cangkir lalu direkatkan dengan lem.
Selain cangkir yang berukuran sekitar 200 ml, mereka juga membuat cerek dan alas dari bambu. Ukurannya sekitar 2.000 ml. Teknik pembuatannya sama dengan cangkir. Bedanya, cerek menggunakan satu ruas bambu yang dipotong miring menjadi dua bagian. Satu badan cerek dan satu lagi tutup cerek.
Pada cerek juga ditambahkan gagang berwarna kuning dari rotan. Rotan juga dipasang melingkar di dasar dan tengah cerek serta bagian atas tutup cerek. Kehadiran rotan ini tentu menambah nilai estetis cerek. Selain itu, agar semakin terlihat lebih cantik, khusus di bagian atas tutup cerek ditambahkan anyaman bambu. Cangkir dan cerek itu kemudian diletakkan di atas sebuah nampan dengan alas anyaman bambu dipadukan dengan pegangan dari rotan. Satu set nampan berisi empat cangkir dan satu cerek seharga Rp 275.000.
Baik cangkir, cerek, maupun nampan berwarna hitam dan merupakan warna alami. Pendiri Baduy Craft, Narman Nasinah (26), mengatakan, tidak ada pewarnaan khusus karena bambu yang digunakan adalah awe hideung atau bambu hitam, salah satu dari empat jenis bambu yang tumbuh di daerah Baduy. ”Bambu hitam yang digunakan juga bambu tua. Kalau muda akan mengerut,” kata Narman.
Menurut Narman, sejak tiga tahun lalu, dia sudah memproduksi cangkir ini, tetapi belum dalam skala besar. Satu tahun terakhir, dia sudah menjualnya dalam set lengkap baik lewat pameran maupun pengunjung yang datang ke Baduy ataupun lewat daring. ”Karena belum lama dan produksinya terbatas, yakni 15-30 set per bulan, jadi yang terjual memang belum banyak,” kata Narman.
Narman mengatakan, bambu memang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Baduy. Oleh karena itu, hampir di setiap sudut ditemukan bambu karena setiap keluarga besar memiliki 4-5 rumpun bambu. Satu rumpun terdiri dari 10-40 batang bambu. Selain awe hideung, di Baduy juga dikenal awe mayan (bambu hijau atau polos), awe gede (petung), dan awe apus (bambu tali).
Tidak hanya diperuntukkan sebagai bahan utama membangun rumah, bambu juga digunakan untuk membuat perabotan rumah yang digunakan sehari-hari seperti cangkir. Menurut Narman, itu yang kemudian menginspirasinya mengemas bambu semakin baik sekaligus memperkenalkan Baduy.