Pedas Jujur dari Gorontalo
Tradisi tolangga biasanya dilakukan untuk menyambut hari lahir Nabi Muhammad SAW. Setiap rumah akan membuat tolangga yang kemudian dibawa ke masjid dan dibagi-bagikan dengan cara diperebutkan. Mirip dengan tradisi grebeg mulud di Solo dan Yogyakarta. Tradisi ini sebagai ekspresi rasa syukur kepada Tuhan YME.
Masakan berbahan ikan tentu saja cukup menonjol mengingat wilayah Gorontalo yang dikelilingi perairan, mulai dari laut, sungai, hingga danau. Ikan laut serta ikan air tawar dari sungai dan danau mewarnai kuliner setempat, seperti ikan payangga yang sudah sulit diperoleh. Bentuknya kecil-kecil seperti ikan wader dan rasanya sangat gurih. Bahan dasar ayam, daging sapi, dan daging kambing juga ditemukan. Ini menunjukkan pengaruh budaya lain, seperti China dan Arab pada kuliner Gorontalo. Sebagai contoh, garo balanga yang diolah dari daging kambing muda dengan bumbu aneka rempah atau nasi kebuli hasil pengaruh Arab.
Sementara jagung, kelapa, jantung pisang, pakis, terong, dan ketimun adalah sayur-sayur yang sering muncul di meja makan keluarga-keluarga di Provinsi Gorontalo. Banyak sekali menu masakan atau makanan yang menggunakan kelapa, termasuk minyak kampung yang berasal dari minyak kelapa yang dibuat oleh para ibu di rumah.
”Kalau dibikin di Jakarta, orang tanya resepnya apa, sih. Setelah dibuat, tidak akan sama rasanya karena bikinnya enggak pakai minyak kampung. Itu rahasianya,” ungkap Amanda.
Kua bugis
Kua bugis dan binthe biluhita tampaknya menjadi ikon masakan Gorontalo. Kua bugis atau tabu maitomo sepintas penampilannya mirip rawon di Jawa dengan rasa rempah yang kaya. Hal itu tidak mengherankan mengingat bumbunya dibuat dari 30 macam rempah. Warna coklat kehitaman pada kua bugis disumbang oleh parutan kelapa sangrai. Menyantap ini dijamin bisa lupa pulang.
Binthe biluhita atau milu siram terkenal dari desa hingga kota. Ini semacam sop jagung tradisional. Binthe artinya jagung dan biluhita artinya siram. Sebelumnya, rombongan mengunjungi Desa Dulamayo Selatan dan disajikan menu makan siang oleh Oma Kuki, salah seorang warga setempat, lengkap dengan binthe biluhita, makanan yang sedap disantap sambil bernyanyi, ”Binthe biluhita, ula ulau loduwo. Wanu olamita, ngoindo mopulito...”.
Dalam mini food festival, Narti, pemilik Rumah Makan Syakinah yang terkenal dengan menu binthe biluhita, ”dibajak” untuk memperagakan cara memasak binthe biluhita yang rasanya segar dan gurih ini. Jagung direbus hingga mendidih. Parutan kelapa, daun bawang, tomat, terong, dan cacahan daging ikan cakalang yang sudah direbus dengan
garam diaduk rata dan diberi minyak kampung. Setelah itu disiram dengan jagung dan kuahnya, lalu tambahkan kemangi, perasan air jeruk nipis, dan cabai.
Jika rasa binthe biluhita ala Narti ringan dan segar, sedikit berbeda dengan binthe biluhita yang dicicipi di Desa Dulamayo Selatan yang rasanya lebih ”desa” dengan kuah lebih kental. Selain binthe biluhita, juga disajikan perkedel jantung pisang yang rasanya gurih dan pedas, gohu daun pepaya atau semacam urap daun pepaya yang dimakan bersama pisang goroho, sambal roa, dan nasi jagung. Aneka macam hidangan ini ditutup dengan omu atau kelapa muda yang diberi pahangga.
Bagi orang Gorontalo, kata Amanda, menjamu tamu adalah kehormatan. Tak heran, apa pun status sosialnya, tuan rumah akan berusaha sebisa mungkin memenuhi meja makan dengan hidangan. ”Kalau meja tak penuh, khawatir diomongin bertahun-tahun,” katanya, tertawa.
Menu lain yang juga mencuri perhatian adalah moronggi (abon ayam) yang dibuat dengan 10 macam rempah, pilitode paku atau sayur pakis, gohu paria atau tumis pare dan parutan kelapa, ayam iloni, sambal goreng putungo dengan irisan jantung pisang yang diolah sedemikian rupa sehingga tekstur dan rasanya menyerupai daging.
Tidak ketinggalan berbagai macam sambal atau dabu-dabu, seperti dabu-dabu iris yang dibuat dari irisan rica atau cabai, bawang, dan tomat. Ada pula rica arang dengan bahan sama dengan dabu-dabu iris. Bedanya, rica, bawang, dan tomat bukan diiris, melainkan ditumbuk lalu disiram minyak kampung mendidih, kemudian diberi bara atau arang lalu ditutup. Dengan demikian, uap arang akan menyatu dengan rasa rica yang disiram minyak kampung tadi. Minyak kampung beraroma sangat khas. Dari lima butir kelapa, diperoleh 500 mililiter minyak kampung.
Para tamu pun tampak puas dengan aneka masakan yang dihidangkan memenuhi meja. Apa rahasia rasa yang mantap ini? ”Pesan oma di sini, kalau memasak jumlah bumbu dan rempahnya harus ganjil supaya mantap. Begitu juga kalau bikin sambal, rica atau cabainya harus ganjil supaya mantap pidis-nya,” ujar Noor Sitaresmi dari Omar Niode Foundation Perwakilan Gorontalo.
Percaya tidak percaya, begitulah para ibu mengajarkan. Petualangan kuliner belum berhenti sampai di sini. Masih ada kudapan yang penampilan dan aromanya menggoda. Salah satunya duduli atau dodol dari bahan tepung ketan, pahangga, dan potongan kacang kenari. Dodol ini liat, gurih, dan manis. Dalam tradisi Gorontalo, duduli digunakan sebagai lambang selamat datang dan selamat berpisah dengan tamu.
Tidak ketinggalan kopi pinugo, kopi robusta khas Gorontalo yang paling baik disangrai hingga tingkat medium. Sang barista, Handi Maksoed, menawarkan kopi hitam murni atau kopi rempah, yakni kopi hitam yang diberi tambahan tujuh macam rempah, antara lain kapulaga, jahe merah, jahe putih, kayu manis, dan cengkeh.
”Kebiasaan di sini, kalau kita bertamu, setelah lama lalu disuguhi kopi, itu tandanya it’s time to go home. Kode bahwa tamu diharapkan segera pulang,” ungkap Amanda terkekeh.
Waktunya berpamitan setelah menghirup kopi yang ramah di perut. Petualangan kuliner ini tak hanya sekadar mencicipi kelezatan masakan lokal, tetapi juga menyelami nilai-nilai hidup dari masa ke masa yang diwariskan melalui keragaman masakan. ”Penting untuk menggali narasi lewat jalan-jalan ke tempat asal rempah dan melihat bagaimana itu memengaruhi masyarakat. Pengaruh yang membuat kita beragam,” kata Kumoratih Kushardjanto dari Yayasan Negeri Rempah.