Tetap Lezat Cara Vegan
Deretan makanan, kudapan, dan camilan, yang disajikan puluhan stan di Tribeca, Central Park Mall, Jakarta, Jumat (23/3) hingga Minggu (25/3), sungguh menyenangkan mata. Bau aneka bebakaran yang menggugah selera menguar ke mana-mana. Bikin penasaran. Selamat datang di Vegan Festival Indonesia, Earth Day Vegan Festival & Forum 2018.
Kita bisa memilih banyak menu, seperti sate, soto, bakso, pempek, rendang, siomay, aneka pepes, mi, nasi campur, hingga makanan ala Jepang seperti sushi. Bukankah itu semua berbahan daging, ikan, juga telur? Tidak jika di sini. Tidak ada unsur hewani sama sekali.
Sate padang yang disajikan Lien Hwa Kitchen, misalnya, terlihat sama seperti sate padang pada umumnya. Potongan-potongan ”daging” yang ditusuk bilah bambu, disiram kuah kental berwarna kekuningan. Memancing rasa penasaran sejumlah pengunjung untuk mampir.
”Ini olahan jamur, kedelai, dan tepung. Cukup mirip rasanya dengan daging sapi, tapi ini bukan daging sapi,” kata Ayong, pemilik Lien Hwa Kitchen, Jumat (23/3), menjawab pertanyaan ”daging” ini terbuat dari apa, yang dilontarkan para pengunjung di stannya.
Aroma rempah cukup terasa kala menggigit potongan-potongan daging sate padang yang berwarna agak kemerahan itu. Teksturnya lembut dan empuk. Ditambah irisan lontong yang juga empuk dan taburan kol goreng, kita mungkin sejenak lupa ini bukan sate beneran.
”Memang bukan sate berbahan daging. Kalau berharap rasa daging, ya, enggak bisa karena bahannya saja bukan daging. Tapi kalau mencari rasa yang lezat, itu bisa,” ujar Ayong yang sehari-hari membuka kios kulinernya ini di Pasar Duta Mas, Jakarta Barat.
Mari bergeser ke stan yang lain, Green Spot Healthy Café. Dua potong steak sedang dibakar dan mengepulkan asap yang menguar ke mana-mana. Harum, dan sedikit berbau… jengkol. Ternyata ini memang steak jengkol. Wujud fisiknya persis dengan steak-steak sapi pada umumnya.
Dwi Kartika Fitri, pemilik Green Spot Healthy Cafe, menjelaskan, steak ini adalah olahan jengkol, tapioka, dan terigu. Semua bahan ini awalnya direbus, diberi bumbu rempah, dan diblender. Tidak ada bawang merah, bawang putih, telur, juga vetsin.
Adonan daging (patty) yang sudah jadi lalu dibakar dan hanya dioles bumbu kecap dan margarin. ”Mayonnaise pun saya bikin sendiri, dari kedelai,” kata Dwi Kartika yang membuka warung makannya ini di Ruko Citra Niaga, Jalan KSR Dadi Kusmayadi, Cibinong, setengah tahun lalu.
Lalu, bagaimana rasanya steak jengkol itu? Di gigitan pertama saja sudah terlihat berbeda jauh karena kenyal. Tidak ada rasa daging sama sekali dan yang terasa justru cita rasa jengkolnya. Steak ini rasanya gurih, manis, berpadu dengan sedikit pedas lada.
Tetapi, secara umum, sebenarnya enak. Pencinta jengkol pasti suka. Sementara yang antijengkol mungkin bisa mengawali dengan steak ini. Jangan salah, steak jengkol ini menjadi menu andalan Dwi Kartika, perempuan yang sudah vegan sejak 11 tahun lalu.
”Orang-orang terbiasa jengkol yang dimasak ala rendang dan semur. Bisa kaget, kok, ada steak jengkol, yang rasanya bisa diterima. Pernah steak jengkol yang saya bikin habis dalam dua jam,” kata Dwi Kartika yang juga penggagas Festival Jengkol Nusantara Indonesia 2018.
Mari beranjak ke stan lainnya, yakni Herbivore, yang salah satu menunya adalah gyoza. Jumat (23/3) sore itu, Devi Thomas terlihat sibuk membolak-balik beberapa potong gyoza yang dipanaskan di atas wajan. Setelah kulit gyaoza sedikit kecoklatan, diangkat.
Potongan gyoza yang kecil-kecil ini dipadukan dengan cabai serbuk bikinan sendiri. Enak. Terasa gurih dan lembut di mulut. ”Isi gyoza, atau siomay bakar ini, hanya sayur, jamur shitake, dan daging nabati yang adalah olahan dari kedelai dan gluten,” ujar Devi.
Selain makanan ala Jepang ini, Herbivore juga menyediakan beberapa menu seperti lumpia basah yang berisi sayur-sayuran. ”Meski enggak pakai daging, telur, atau ikan, masakan tetap bisa enak,” ujar Devi seraya menyebut Herbivore sudah empat tahun buka, dan outlet-nya di Baywalk Mall.
Cara paling tepat untuk mengenalkan konsep vegetarian, juga vegan, kepada masyarakat Indonesia yang terbiasa menyantap daging adalah lewat kuliner. Mengenalkan pola makan vegetarian jauh lebih mudah karena telur, susu, dan olahannya masih dikonsumsi.
Sementara pola makan vegan sudah menepikan itu semua sehingga hanya buah dan sayur yang dimakan. President Vegan Society of Indonesia (VSI) Susianto mengakui yang paling mudah dicoba masyarakat adalah bervegetarian. Kalau ”lulus”, silakan mencoba bervegan.
”Respons masyarakat terhadap pola makan sehat ini semakin bagus dan itu menggembirakan. Itu bisa dilihat dari tumbuhnya warung-warung vegetarian. Saat Indonesia Vegetarian Society (IVS) berdiri tahun 1998 lalu, hanya ada 50 warung dan restoran vegetarian. Sekarang sudah 2.000-an. Meningkat 40 kali lipat dalam kurun waktu 20 tahun,” ucap Susianto.
Warung vegetarian—juga vegan—terus tumbuh karena ada pasarnya, dan menariknya pasar itu bukan hanya mereka yang bervegetarian dan bervegan. Pasar tumbuh karena warung dan restoran bisa menyajikan menu yang enak di lidah. Bukankah pada intinya rasa tetap hal utama?
Head of Media Relation and Communication Vegan Festival Indonesia 2018 Karim Taslim mengutarakan, pola hidup sehat ini sejalan dengan isu lingkungan yang sudah jauh hari didengungkan di luar negeri. Namun, cara termudah memang menyuarakan dari sisi kesehatan.
”Makanan nabati tidak mengandung kolesterol dan lemak jenuh, sedangkan itu ada di makanan-makanan hewani. Jadi, jika kita bervegetarian, setidaknya kita sudah mengurangi satu dari sekian faktor yang bisa berdampak buruk untuk kesehatan. Lumayan, kan?” ujar Karim.
Beberapa figur terkenal sudah menerapkan pola makan vegan ini, seperti psikolog Seto Mulyadi (Kak Seto) serta artis Sophia Latjuba dan anaknya, Eva Celia. Menurut Kak Seto, yang sudah berumur 67 tahun ini, bervegan membantunya lebih tenang, sehat, dan gembira.
Indonesia Vegetarian Society, tahun 2017 lalu, menandatangani nota kesepahaman (MOU) dengan Kementerian Kesehatan untuk menjadi salah satu motor penggerak Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas). Karena itu pula, Susianto mengaku semakin bersemangat dan optimistis.
Ada ”tantangan” bervegan selama 7 hari, yang sekarang digaungkan. Tujuh hari melupakan semua daging, susu, dan telur, bolehlah iseng-iseng dicoba. Masih ada tempe, tahu, sayur-mayur, dan semua buah yang bisa disantap. Cobain vegan 7 hari, siapa takut?