Bukan Sekadar Menata Batu
Bukan sulap bukan sihir, anggota komunitas Balancing Art Indonesia mampu menata batu-batu tak beraturan menjadi karya seni yang indah seperti terlihat pada Minggu (11/3). Karya-karya seperti itulah yang awal Februari lalu muncul di Sungai Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Namun, kurangnya pengetahuan membuat aparat di Kecamatan Cidahu menghancurkan puluhan karya seni yang berada di tengah sungai itu tanpa mencari tahu lebih dulu perihal batu bersusun tersebut.
Karya berupa tumpukan batu tak hanya indah dipandang, tetapi juga memberikan banyak manfaat. Bagi pembuatnya, seperti pendiri Balancing Art Indonesia, Suryadi GT (34), kegiatan tersebut memberikan banyak keuntungan. ”Ada unsur rekreasi, pelatihan motorik untuk tangan, sampai melatih kesabaran dan keuletan,” ujarnya.
Lelaki asal Bantul, Yogyakarta, itu mengatakan sangat terbantu oleh kegiatannya sebagai balancer (sebutan pagi pelaku seni menata batu). Sebagai orang yang bekerja di event organizer yang bertanggung jawab untuk memproduksi acara, baik konser musik maupun acara di televisi, Suryadi kerap mendapat tekanan dalam bekerja. Namun, di sisi lain, ia juga harus bisa mengendalikan emosi saat menghadapi banyak orang berkaitan tugasnya.
”Saya menjadi lebih bisa menahan diri, tidak mudah emosi, he-he,” katanya seusai mempraktikkan kemampuannya menata tumpukan batu di Sungai Oyo di Desa Selopamioro, Bantul.
Tak sekadar berbicara. Pada Minggu siang yang terik, ia bersama Gumirlang Sucahyo (27), salah satu anggota Balancing Art Indonesia, menunjukkan kesabarannya. Keduanya mencari sisi sungai yang aman untuk berlatih. Maklum, sejak Minggu dini hari, arus Sungai Oyo yang biasanya tenang dan berair jernih jadi berair deras dengan warna kecoklatan. ”Semalam, di atas (Gunung Kidul), hujan deras sehingga sungai ini banjir,” ujar Suryadi. Demi keamanan, ia memutuskan tak mengajak Kompas menyeberangi sungai. Sebagai ganti, ia memilih sisi kanan sungai yang lebih aman.
Melatih ketekunan
Dengan cekatan, dua orang muda mencari batu-batu berbagai bentuk untuk disusun. Meski sudah empat tahun berkecimpung di seni tersebut, Suryadi agak lama tak berlatih karena banyak pekerjaan di luar kota. Beberapa kali ia harus mengganti jenis batu karena kurang sesuai kebutuhannya.
Tak jauh dari situ, Gumilar, biasa dipanggil Gilang, tak kalah tekun menata batu. Wajahnya berpeluh oleh terik matahari. Seni menata batu ini memang gampang-gampang susah. Pada formasi pertama, Gilang hanya butuh waktu sekitar lima menit untuk membuat enam batu bertumpuk. Namun, saat membuat tumpukan kedua, beberapa kali formasi batu terjatuh. Tiba-tiba, dalam sekejap Gilang sudah berhasil menata enam batu dengan style stacking (level paling dasar) yang unik dipandang.
Karyawan Bank BRI di Sleman ini sekitar tiga tahun menjadi balancer. Ia mengenal art balancing dari teman SMA-nya, Dimas Hardiyono. Keduanya bersama Suryadi dan anggota yang lain sering menghabiskan akhir pekan di sungai-sungai di Yogyakarta untuk berlatih.
”Art balancing menjadi terapi bagi tangan saya yang sejak SMA menderita tremor. Dulu, saya kesulitan mengerjakan UN SMA karena tangan terus bergetar, sekarang sudah berkurang,” ucap sarjana Teknik Geodesi lulusan Universitas UPN Yogyakarta ini.
Menata batu ditemani suara air sungai dengan udara segar juga membuat jiwa Suryadi dan Gilang merasa tenang. ”Saat-saat seperti itu sangat menyenangkan. Itu menjadi kemewahan kami. Apalagi, di kanan-kiri Sungai Oyo ini ada deretan gunung purba yang berpemandangan indah, baik saat musim hujan maupun kemarau,” tambah Suryadi.
Butuh sosialisasi
Seni menata batu memang tergolong seni baru di Indonesia. Namun, kalangan anak muda sejak lima tahunan lalu mulai mengenal seni yang biasa disebut stone balancing atau rock balancing ini. Ia merupakan wujud dari keahlian menyeimbangkan batu dengan memadukan keterampilan, gravitasi bumi, dan pengendalian diri.
Barangkali, karena baru, belum banyak masyarakat mengenalnya dan perlu sosialisasi. Orang di negara-negara Eropa, Amerika Serikat, bahkan Jepang sudah akrab dengan art balancing. Pelaku seni kerap mengunggah kemampuannya di media sosial. Hal itu yang membuat Suryadi tahu seni tersebut.
Tahun 2013, ia mencari tahu lebih jauhtentang art balancing dengan menghubungi ahlinya, Bill Dan, seniman art balancing kelahiran Indonesia yang terkenal di dunia. Bill yang tinggal di San Francisco, AS, itu membawa Suryadi masuk grup perkumpulan art balancing dunia. ”Dari situ saya belajar filosofi dari art balancing. Fungsi paling mendasar, mengontrol emosi, belajar fokus, dan seni yang bisa menjadi terapi,” katanya.
Ia terus menambah pengetahuan dengan menghubungi Michael Grab, balancer yang juga terkenal. Dari diskusi dan belajar lewat dunia maya, Suryadi menyatakan keinginannya mendirikan art balancing Indonesia. Para seniman tingkat dunia seperti Michael dan Bill mendukungnya. Tahun 2014, Suryadi mulai belajar seni menata batu dan mendirikan komunitas.
Ia belajar menata batu di Sungai Oyo. ”Awalnya saya sendirian belajar. Baru selesai satu, saya garap formasi lain. Eh, tahu-tahu, ada orang ngebom (melempar batu) garapan yang sudah jadi tadi sehingga runtuh. Ternyata pelakunya anak itu. Dia tidak tahu kalau itu seni, lanjutnya sambil menunjuk sekelompok bocah lelaki yang sedang bermain di tepi Sungai Oyo.
Agar bocah-bocah tak merusak formasi batu yang disusunnya, Suryadi sampai memberi uang Rp 5.000 kepada mereka. Setelah melihat apa yang dilakukan Suryadi, anak-anak dan para orangtuanya ikut melihat Suryadi menyusun batu.
Anggota Balancing Art Indonesia saat ini lebih dari 2.000 orang yang berasal dari Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, Bali, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, sampai Papua. Kadang-kadang, Suryadi menyempatkan diri ikut kegiatan di daerah-daerah, tetapi komunikasi intens biasanya lewat Facebook Group ”Balancing Art Indonesia”, Twitter ”@rockbalancing” dan Instagram ”@balancingartindonesia”. Mereka terus mengenalkan seni ini, bahkan mengajak masyarakat untuk bergabung. (TRI)