Merek Lokal di Tengah Pertarungan Para ”Gajah”
Peluncuran yang dilakukan di salah satu teater bioskop itu menandai seri ponsel pertama yang mereka luncurkan tahun 2018. Xiaomi tengah dalam kondisi semangat tinggi setelah kesuksesan mereka di India dengan menapaki posisi pertama volume penjualan ponsel, melampaui Samsung. Perjuangan itu tercapai setelah empat tahun Xiaomi masuk India. Keberhasilan itu juga ingin dicapai di Indonesia.
Menjelaskan maksud dari tulisan di layar bioskop tersebut, Shi mengatakan, Xiaomi bekerja sama dengan fasilitas perakitan yang dimiliki PT Sat Nusapersada Tbk di Batam untuk menghasilkan produk yang akan dipasarkan di Indonesia.
Selain memenuhi ketentuan pemerintah terkait regulasi komponen dalam negeri, upaya ini juga memberikan pesan yang jelas bahwa produk Xiaomi dibuat di Indonesia, bukan sekadar didatangkan dari tanah seberang lantas dijual begitu saja.
Sementara merek lain dari China, yakni Oppo, makin percaya diri dengan seri ponsel swafoto mereka setelah memulai kampanye ini sejak tahun 2016. Mereka mulai memperkenalkan ponsel dengan keunggulan kamera depan yang andal untuk membuat swafoto sejak seri F1 pada awal 2016, diikuti seri F1 Plus dan F1s. Kuartal II-2017, seri F3 diluncurkan, dan pada November, seri F5 hadir.
Berbeda dengan merek lain yang memperkenalkan seri kelas andalan (flagship) dan menengah, Oppo hanya fokus pada satu seri. Di antara seri tersebut, mereka juga meluncurkan edisi khusus untuk memperpanjang ”napas” dari daur produk tersebut, seperti Raisaphone untuk seri F1s bekerja sama dengan penyanyi Raisa Andriana atau edisi khusus Barcelona FC.
Termasuk juga seri F5 yang memperkenalkan varian warna baru, yakni biru mengilap (dashing blue), awal Februari 2018, dua bulan setelah peluncuran seri ini. Manajer Humas Oppo Indonesia Aryo Meidianto menjelaskan, langkah itu diambil agar mudah mengedukasi konsumen.
”Kalau ada seri baru dengan keunggulan yang jauh berbeda, akan butuh daya yang ekstra dalam memperkenalkan kepada konsumen,” ujar Aryo.
Oppo juga menyiapkan ”jaring pengaman” untuk seri F, yakni dengan seri A. Seri A adalah ponsel yang memiliki teknologi yang sama dengan seri F, tetapi memiliki harga yang lebih terjangkau, dengan kompensasi spesifikasi lebih rendah. Seri F5 memiliki harga jual Rp 4,1 juta, didampingi oleh A83 yang dijual pada harga Rp 3 juta.
Bedanya, seri A hampir tidak pernah diperkenalkan semeriah seri F. Dengan demikian, lanjut Aryo, calon pembeli yang datang ke toko untuk membeli ponsel swafoto tetapi memiliki anggaran di bawah harga jual seri F masih bisa disasar ponsel seri A.
A83 memiliki teknologi yang diunggulkan F5, seperti pemindaian wajah serta kecerdasan buatan untuk menghasilkan swafoto yang natural, termasuk rasio 18:9 pada layar 5,7 inci. Perbedaan terletak pada resolusi layar, kapasitas RAM, resolusi kamera utama dan depan, serta sensor sidik jari yang absen.
Berdasarkan data dari IDC untuk kuartal III-2017 di Indonesia, Oppo menguasai 25,5 persen dari pangsa pasar, terpaut satu posisi dari Samsung di posisi puncak dengan 30 persen. Xiaomi memulai ambisinya dari posisi keenam dengan 6,2 persen. Persaingan keras sudah menanti di akhir tahun untuk mengetahui siapa juaranya.
Kenal pasar
Pertanyaan yang tersisa dari geliat agresif merek global di pasar Indonesia adalah kiat merek lokal untuk tetap relevan, baik bagi konsumen maupun pada industri. Setidaknya, masih terselip rasa optimistis bahwa merek lokal tetap memiliki keunggulan yang bisa dimanfaatkan.
Misalkan Advan yang merilis seri ponsel G2 pada pertengahan Februari lalu. Dijual dengan harga Rp 2,5 juta, ponsel ini tanpa sungkan membanggakan desain muka yang sekilas menyerupai iPhone dengan tombol fisik berupa lingkaran di bagian bawah.
Memperkenalkan diri sebagai ponsel swafoto, G2 memiliki pengalaman penggunaan yang positif. Selain ponsel yang tipis sehingga nyaman dibawa, kamera depan memiliki diafragma lebih kecil dari ponsel lain, yakni f/2.0, dengan tawaran untuk menghadirkan detail dari subyek foto berikut latar belakangnya.
Direktur Pemasaran Advan Tjandra Lianto menjelaskan, pihaknya optimistis menghadapi merek global yang menjadi seteru di pasar. Kemampuan memahami konsumen hingga tingkat akar rumput menjadi jawaban yang dia kemukakan.
Langkah serupa dilontarkan Raymond Tedjokusumo, CEO PT Supertone, yang merilis merek ponsel SPC Mobile sejak tahun 2008. Dia menyadari betul hukum ekonomi yang menyebut, semakin besar kuantitas produk, semakin rendah harga satuannya karena efisiensi. Keunggulan ini tengah dinikmati merek global.
”Padahal, selisihnya tidak terlalu signifikan. Kelebihan kita justru karena bisa menyesuaikan kebutuhan konsumen Indonesia, sementara merek lokal harus menyesuaikan kebutuhan yang disusun untuk konsumen global,” tutur Raymond.
SPC Mobile saat ini merilis L53 Selfie, ponsel swafoto yang dijual secara daring dengan harga promosi Rp 900.000, bekerja sama dengan Shopee. Mengincar segmen yang ingin membuat swafoto dengan efek latar belakang kabur berkat lensa ganda di depan, ponsel ini mengincar pengguna yang tinggal di kabupaten dan kecamatan.
Ponsel ini memiliki kelebihan pada hadirnya sensor sidik jari, dukungan koneksi 4G, serta pilihan warna hitam, merah, dan emas. Sebagai ponsel pintar pemula yang punya RAM berkapasitas 2 gigabyte, L53 Selfie jelas menyasar calon pembelinya.
Sama halnya dengan U50A Max, ponsel pintar yang dirilis Evercoss dengan harga Rp 1,2 juta. Ponsel ini memiliki konfigurasi empat lensa kamera, sepasang di depan dan sepasang di belakang, semata-mata untuk efek ruang tajam. Konfigurasi seperti ini dirintis oleh Nova 2i dari Huawei, diikuti Luna G8.
U50A Max mengandalkan kekuatan layar berkat teknologi pelapis Kingkong Glass, termasuk sensor sidik jari. Kombinasi harga berikut teknologi yang diusung, menurut Marcomm Manager Indopasifik Group Suryadi Willim, sebagai kelebihan yang membuat mereka bisa beradu dengan merek global.
Keputusan yang diambil Evercoss adalah bertarung di segmen harga Rp 1,5 juta ke bawah. Salah satu alasannya, pasar itu relatif belum banyak diusik pemain besar. Diharapkan, keputusan ini memberikan ruang bagi merek lokal untuk berkembang.
Persaingan ponsel pintar di Indonesia makin sengit pada 2018 dan tahun-tahun berikutnya. Merek-merek lokal ini tidak akan menjadi pelanduk yang mati di tengah-tengah pertarungan para gajah. Memahami kekuatan yang bisa dipakai sebagai pijakan adalah salah satu kuncinya. (DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO)