Kompetisi rancang bangun mobil hemat energi Shell Eco-marathon Asia 2018 di Changi Exhibition Centre, Singapura, pada prinsipnya diikuti tim-tim kampus dengan pendanaan mandiri. Membentuk tim, membeli onderdil, merakit, uji coba, mengirim mobil, memberangkatkan tim, akomodasi, konsumsi, dan biaya lain harus ditanggung sendiri.
Idealnya, biaya rancang bangun harusnya lebih besar daripada bukan kebutuhan membuat mobil hemat energi. Namun, sejumlah tim Indonesia terpaksa mengalami kejadian sebaliknya; biaya kirim mobil lebih besar daripada pembuatannya.
Mobil ERAU Team buatan Politeknik Technical Education Development Center (TEDC) Bandung masih teronggok di paddock pada hari terakhir kompetisi, Minggu (11/3). Semua peralatan dan perlengkapan telah dirapikan dan dibawa tim. Mobil baru akan dikirim dua hari kemudian.
ERAU Team merupakan satu-satunya mobil dari 26 tim asal Indonesia yang tak lolos inspeksi teknis dan keselamatan. Mobil dengan model antik itu hanya lolos di 2 dari 12 syarat inspeksi. ”Kami kecewa karena sudah jauh dan capek ke sini, mobil tidak bisa uji lintasan,” ujar Pemimpin ERAU Team Rifkia Saputra.
Mobil dengan kategori konsep urban dengan sumber energi pembakaran mesin dalam atau ICE itu menghabiskan biaya Rp 20 juta. Namun, pengiriman ke Singapura mencapai Rp 40 juta.
Kondisi sedikit berbeda dialami mobil Wasaka Team dari Universitas Lambung Mangkurat (Banjarmasin). Mobil ini ikut kategori prototipe ICE. Untuk capaian jelajah lintasan, Wasaka menempuh 143 km/l bensin dan menempati urutan ke-16 dari 20 mobil. Yang terunggul adalah mobil Panjavidhya1 dari Panjavidhya Technological College (Thailand) dengan capaian mencengangkan, yakni seliter etanol untuk 2.341 km.
Pemimpin Tim Wasaka Aulia Nafarin mengatakan, rancang bangun mobil menghabiskan biaya Rp 40 juta. Namun, pengiriman mencapai Rp 70 juta lewat Surabaya agar bisa berbagi kontainer dengan tim lain asal Jatim demi penghematan. ”Jika biaya rancang bangun bisa dua kali lipat dari biaya kirimnya, mungkin kami bisa membuat mobil yang kompetitif,” ujarnya.
Tim-tim lain masih dari Indonesia merogoh kocek lebih dalam untuk membuat mobil hemat energi. Universitas Gadjah Mada mengirim dua mobil, yakni Semar Urban dan Semar Proto. Satu mobil menghabiskan Rp 150 juta-Rp 200 juta untuk pembuatannya. Namun, hasilnya sepadan. Semar Urban menjadi juara balapan Driver’s World Championship Shell Eco-marathon Asia 2018 meski berada di urutan kedua kategori konsep urban ICE. Semar Proto menjadi mobil terbaik Indonesia di kategori prototipe baterai elektrik (urutan keempat).
Hal yang sama dialami Institut Teknologi Sepuluh Nopember yang mengirim dua mobil, Sapuangin dan Nogogeni. Setiap mobil menghabiskan hingga Rp 150 juta untuk rancang bangun. Hasilnya, Sapuangin terbaik di konsep urban ICE dan Nogogeni urutan kedua di konsep urban baterai elektrik.
Mobil yang menghabiskan biaya besar belum tentu yang terunggul. Namun, dengan biaya cukup, tim akan leluasa mengutak-atik dan memodifikasi seluruh bagian sehingga menghasilkan kendaraan yang unggul. Untuk ICE, mesin yang dipakai dari sepeda motor (bensin dan etanol) atau traktor (solar dan gas cair) karena konsumsi energi yang irit. Baterai listrik dibuat dengan memodifikasi baterai dan penggerak yang dibeli di pasar.
Bentuk mobil dibuat dengan prinsip aerodinamika untuk mengurangi hambatan dari angin. Bodi dari bahan teringan meski karena dibikin manual, ada beberapa bagian yang tidak mulus. Rangka dibikin dari metal ringan, seperti aluminium atau jenis yang lebih ringan lagi. ”Biaya itu satu faktor, kesiapan tim, keahlian dalam rancang bangun, kreativitas, pengemudi, dan faktor alam pun berperan,” ujar Bambang Sugiarto, Guru Besar Teknik Mesin Universitas Indonesia yang mendampingi tim di Singapura. (Ambrosius Harto)