Merintis "Transmigrasi" dari Laboratorium Kebun Pangan Arumdalu Lab
Lahan seluas sekitar 1 hektar itu dinamai Arumdalu Lab. Itulah laboratorium kebun pangan di wilayah suburban atau pinggiran kota Jakarta, persisnya di Jelupang, Serpong Utara, Tangerang Selatan. Dari sini dirangsang transmigrasi intelektual dari kota ke desa untuk memajukan budidaya tani.
”Kita punya sukun, jewawut, suweg, dan bahan pangan sumber karbohidrat lainnya yang bisa diolah menjadi tepung. Akan tetapi, selama ini mengapa kita masih menggantungkan diri pada tepung gandum yang harus diimpor?” kata pengelola Arumdalu Lab, Albert Arron Pramono, Jumat (23/3/2018), di Serpong, Tangerang Selatan, Banten.
Albert lalu menunjukkan setangkai bulir-bulir jewawut. Jewawut itu diperolehnya dari Makassar, Sulawesi Selatan. Lalu, ia menunjukkan kemasan-kemasan lainnya yang masih utuh berupa benih-benih tanaman pangan berbagai jenis.
Benih-benih itu akan disemai di Arumdalu Lab. Sepanjang masa penanaman hingga produktivitasnya terus diamati. Kemudian hasil kajiannya untuk menentukan pengembangannya di desa.
Di Arumdalu Albert tidak hanya untuk mengamati tanaman pangan sebagai sumber karbohidrat. Dia juga tergerak menyilangkan jenis-jenis sayuran tertentu untuk menghasilkan varietas yang lebih produktif dan menguntungkan.
”Kami berhasil menyilangkan pakchoi dengan mizuna menjadi jenis sayuran baru,” kata Albert. Pakchoi adalah jenis sayuran sawi yang memiliki tingkat kematangan lebih cepat ketika dimasak. Ada yang menyebutnya sawi sendok.
Mizuna adalah jenis sayur selada yang berasal dari Jepang. Di Jepang, mizuna (Brassica rapa nipposinica) sering digunakan untuk sup hangat. Pada musim dingin, sup hangat mizuna banyak disantap. Ada aroma rasa pedas dan memberikan efek rasa hangat seperti lada.
Bentuk mizuna seperti daun seledri. Jenis sayuran ini di Jepang bisa ditanam di segala musim, bahkan hingga musim ekstrem sekalipun. Jenis sayur ini diyakini mampu menekan kadar kolesterol di dalam darah hingga mencegah berkembangnya sel-sel kanker di dalam tubuh.
”Kami menanam pakchoi dan mizuna itu berdampingan. Ketika keduanya berbunga bersamaan, kemudian dipersilangkan. Hasil persilangan pakchoi dengan mizuna menjadi jenis sayuran yang baru,” kata Albert.
Bahan lokal
Jenis tanaman penghasil gizi protein nabati juga menjadi sorotan Arumdalu Lab. Albert mencontohkan biji-bijian sumber protein untuk bahan baku tempe.
”Keluarga saya berasal dari Purwokerto, Jawa Tengah. Purwokerto terkenal dengan produk makanan tempe, tetapi dengan bahan kedelai lokal yang lebih crispy (renyah) dan memiliki aroma yang khas,” kata Albert.
Saat ini tempe di Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia didominasi dengan bahan baku kedelai impor. Kedelai impor itu sebagian besar hasil rekayasa genetika. Ukuran bijinya memang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan biji kedelai lokal.
Kedelai impor seperti hambar, tidak memiliki aroma dan rasa khas seperti kedelai lokal. Ketika menjadi tempe dan diolah menjadi makanan gorengan, menurut Albert, tidak bisa renyah. Ketika bahan kedelai lokal yang digunakan, tempe yang dihasilkan lebih renyah dan memiliki aroma sedap.
”Kita sering lupa bahwa berbagai jenis biji-bijian selain kedelai bisa dibuat tempe,” kata Albert.
Kebetulan Arumdalu Lab menggelar kegiatan pembuatan tempe pada Sabtu (24/3). Bahan yang digunakan berupa kedelai dan biji-bijian lain asal lokal atau bukan impor.
”Apa yang kami lakukan di Arumdalu Lab ini semacam mempersiapkan transmigrasi intelektual. Di sini kami menciptakan edukasi budidaya tanaman pangan bagi kaum urban. Selanjutnya mendorong mereka mau produktif di daerah-daerah perdesaan,” kata Albert.
Kebun vertikal
Ketika memasuki Arumdalu Lab, tampak suasana koridor atau lorong jalan tanah yang lengang di bawah naungan kanopi tanaman tinggi. Di kiri kanannya berjajar berbagai jenis tanaman yang ditata rapi.
Di ujung koridor terdapat rumah tinggal Juarsa (62) yang sehari-hari merawat bangunan-bangunan yang ada di Arumdalu Lab. Juarsa mengajak berkeliling kebun dan menunjukkan pertama kali kebun vertikal untuk berbagai jenis tanaman sayur.
”Saya sendiri tidak tahu nama jenis tanaman yang ditanam kalau saja tidak ada tulisannya,” kata Juarsa.
Juarsa kemudian menunjukkan tanaman pakchoi, dan pakchoi yang disilangkan dengan mizuna. Sayuran itu ditanam secara vertikal menggunakan paralon berukuran besar dan memiliki pola tanam aquaponik.
Di sampingnya terdapat tanaman basil dan mint yang baru saja disemai dari perbenihannya. Basil dan mint itu hasil domestifikasi dari Italia. Basil banyak digunakan untuk penyajian makanan piza.
Rancangan kebun vertikal aquaponik ini kaya akan air. Airnya dikelola selalu mengalir dan ditampung di sebuah kolam untuk budidaya ikan.”Kotoran dari ikan yang dialirkan itu kemudian menjadi pupuk bagi tanaman sayurannya,” kata Juarsa.
Beberapa tipe bangunan rumah minimalis di Arumdalu Lab ditunjukkan Juarsa. Rumah tempat tinggal menjadi penunjang penting keberadaan sebuah kebun tanaman pangan di daerah. Tanaman pangan membutuhkan perawatan yang lebih intensif sehingga pengelolanya tidak bisa terlalu jauh dengan kebun produksinya.
Beberapa konstruksi rumah dibangun secara minimalis. Bahannya menggunakan kayu dan aluminium. Konstruksi rumah minimalis itu bertingkat. Setelah menggunakan bahan kayu, saat ini dikembangkan pula berbahan aluminium.
”Konstruksi rumah minimalis berbahan aluminium ini menjadi lebih murah ketika diterapkan di daerah-daerah. Bangunan ini tetap bisa dipindah-pindahkan dan tidak membutuhkan fondasi,” kata Albert.
Untuk menunjang ketersediaan pupuk organik lainnya, di Arumdalu Lab juga dibudidayakan kambing. Kotoran kambing diolah menjadi pupuk kandang, ditambah pupuk hijau atau kompos.
Arumdalu Lab menjadi laboratorium tanaman pangan. Bagi kaum urban yang belajar di sini, bersiap-siaplah menjadi transmigran intelektual demi kemajuan pertanian kita.