Rumah Trinity, Berhalaman Makam
Trinity berbeda dengan kebanyakan orang yang meninggalkan rumah untuk berlibur. Ia justru pulang ke rumah untuk liburan. Maklum, perempuan yang sudah menghasilkan 13 buku ini sehari-hari pekerjaannya jalan-jalan....
Uniknya, rumah Trinity terletak di tengah-tengah salah satu blok kuburan di kompleks pemakaman Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Dahulu, ketika belum ada rumah-rumah lain di depan rumahnya, pemandangan dari depan rumah penulis dan traveler ini adalah deretan makam.
Keluarga Trinity sudah tinggal di rumah ini sejak 1996. Tanahnya pun diperoleh dengan cara yang unik. Salah satu kenalan ayah Trinity butuh uang karena kalah berjudi sehingga menjual tanahnya. Keluarga Trinity yang semula tinggal di Bintaro, Tangerang Selatan, kemudian pindah ke lokasi itu karena tidak tahan macet setiap kali hendak ke Jakarta. Rumah lama pun kemudian ditempati anak tertua.
Sadar bahwa rumah mereka berada di antara pemakaman, orangtua Trinity sejak awal memikirkan detail bangunan. Tidak ada jendela yang dipasang di bagian dinding luar sehingga penghuni tidak beroleh pemandangan ke luar rumah. Sebagai gantinya, dibuat taman di bagian tengah lahan sebagai akses cahaya, udara, dan pemandangan. Jendela-jendela dan ventilasi pun dibuat di bagian dinding dalam yang mengarah ke taman.
Sebenarnya masih ada panel-panel kaca pada dinding ruang tamu yang menghadap ke luar. Namun, itu pun disusun dari mosaik kaca patri berwarna yang letaknya cukup tinggi dan lebih difungsikan sebagai akses pencahayaan.
Bagian rumah yang dibangun bertingkat ada di bagian belakang. Dari balkon tingkat ini tidak terlihat kuburan, tetapi ujung atap rumah bagian depan dan pucuk pohon rambutan. Sedemikian rupa penataan itu, tidak mencegah Trinity untuk protes mengapa mereka pindah ke lokasi yang pada saat itu masih begitu sepi. Baru ada dua bangunan di deretan rumahnya.
”Kata bapakku, yang lebih menyeramkan itu justru orang hidup, bukan orang mati,” ungkap perempuan yang merahasiakan nama aslinya ini.
Hingga saat ini, ia mengaku belum pernah mengalami hal-hal aneh atau menyeramkan. Hanya sekali, mobilnya mundur ke belakang hampir jatuh ke area pekuburan karena lupa diberi ganjal. Lantai garasi rumahnya memang menurun ke arah jalan. Posisi rumah juga jauh lebih tinggi daripada kawasan pemakaman, seperti di atas tebing.
”Dulu, kalau musim hujan, kuburan di depan itu sering kebanjiran. Sejak beberapa tahun terakhir karena sungai di sana diurus, jadi enggak pernah banjir lagi. Hanya sebagian kecil yang masih kebanjiran karena memang sangat rendah letaknya,” kata perempuan yang dikenal dengan seri bukunya, The Naked Traveler.
Tur kuburan
Trinity kerap mengajak para tamunya, termasuk teman-teman bulenya sesama traveler, untuk tur kuburan. Ia akan menjelaskan di mana kelompok makam China, makam Kristen, dan makam Muslim. Ia juga akan bercerita tentang empang atau kolam yang bisa dipancing ikannya. Ikan-ikan di situ dijuluki ikan kuburan. Begitu pula empangnya, disebut empang kuburan dan sering disambangi anak-anak kecil.
Trinity kemudian menunjuk jauh ke seberang rumahnya, yakni pada jalan kecil di antara deretan kuburan tempat ia biasa turun dari ojek. Ini akses terdekat ketimbang ia harus jalan memutar lewat jalan umum. ”Bener nih, Mbak, turunnya di sini? Ini, kan, kuburan,” kata Trinity menirukan pertanyaan tukang ojek yang mengantarnya.
Jika sedang naik taksi, Trinity kerap usil kepada sopirnya. Ia sering berpesan agar sang sopir sering-sering menengok ke kaca spion setelah mengantar dirinya. ”Siapa tahu ada yang nebeng. Ha-ha-ha. Dari situ saya jadi tahu macam-macam orang. Ada yang penampilannya gagah, ternyata penakut,” ujar Trinity.
Ia kini mensyukuri lokasi rumahnya dengan lingkungan yang tetap tenang dan teduh karena banyak pepohonan. Masih terdengar suara tonggeret atau kelelawar dan burung hantu yang mampir di atap rumahnya. Lokasinya pun tidak jauh dari dua mal besar di selatan Jakarta.
Hanya satu yang ”disesali” Trinity, yakni jarangnya pedagang keliling yang lewat sejak dulu. Satu-dua pedagang sekarang mulai lewat pada siang hari. Tidak begitu pada malam hari. ”Kalau ada yang lewat, yang beli dan yang jual sama-sama curiga,” kata Trinity yang kepribadiannya sama dengan gaya tulisannya, ceplas-ceplos, apa adanya, dan jenaka.
Trinity sebenarnya belum pernah tinggal lama di rumah itu. Tidak lama setelah tinggal di Tanah Kusir, Trinity pindah ke Semarang untuk kuliah. Ia baru kembali ke rumah itu setelah ayahnya meninggal dan harus menemani sang ibu yang hanya tinggal bersama adik dan pembantunya. Tahun 2002, Trinity mulai senang jalan-jalan hingga akhirnya meninggalkan pekerjaan kantoran dan menjadi traveler atau pelancong penuh waktu. Ia pun menjadi jarang di rumah. Saat pulang, ia tidur di kamar ibu atau adiknya di lantai atas.
Setelah sang ibu meninggal, Trinity kemudian menempati kamar di lantai bawah yang bersisian dengan ruang tamu. Kamar yang sebelumnya diperuntukkan bagi tamu ini terletak di bagian depan rumah yang terpisah taman dengan bagian belakang sehingga menjadikan kamar itu seperti paviliun.
”Jadi, bagian depan adalah wilayah kekuasaan gue, yang di tingkat itu wilayah adik gue, dapur jadi kekuasaannya Mbak Atik yang sudah ikut kami 28 tahun,” ujar perempuan yang sudah pergi ke 84 negara dan 30 provinsi di Indonesia ini.
Mbak Atik, asisten rumah tangga, sering disebutnya sebagai ”yang punya rumah” karena memang paling lama berada di rumah. Trinity dan adiknya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Dalam sebulan, Trinity paling banter hanya dua minggu di rumah.
Seperti saat Kompas berkunjung, ia baru dua hari pulang dari Banyuwangi. Dua hari kemudian ia sudah terbang lagi ke Maladewa. Waktunya di Jakarta dimanfaatkan untuk mengurus visa ke Belanda dan tentu saja menulis. Trinity mengaku hidup dari royalti buku-buku yang ditulisnya. Salah satunya sudah diadaptasi menjadi film, The Nekad Traveler, yang dibintangi Maudy Ayunda dan Hamish Daud.
Anak daster
Meja mungil tanpa kaki di sudut kamar dijadikan ”kantor”. Laptop yang memainkan musik dan sebuah televisi yang menempel di dinding, selain ranjang dan lemari baju, memenuhi kamarnya. Trinity secara disiplin menulis untuk blog-nya sejak 2005. Ia bisa dianggap sebagai pionir bloger perjalanan di Tanah Air. ”Baju kebesaran”-nya saat menulis adalah daster. ”Gue anak daster. Ke mana-mana harus bawa daster, termasuk pas traveling,” kata perempuan yang tengah diet ini.
Di rumah, rutinitasnya adalah menulis, nge-gym, baca buku, dan menonton TV. Sejak cedera, ia harus mengurangi berat badan dan rutin olahraga agar tidak membebani lutut. Itu jika ia mau tetap bisa jalan-jalan.
Kesukaan Trinity jalan-jalan itu dipengaruhi keluarga yang doyan traveling, terutama almarhumah nenek dan ibunya. Jejaknya terlihat dari koleksi boneka berpakaian khas dari sejumlah negara di bufet kaca di dekat ruang makan. Adapun mendiang ayah Trinity adalah polisi yang sering pindah tugas ke banyak daerah.
Trinity sendiri bukan tipe pelancong yang suka membeli suvenir. Satu-satunya yang ia koleksi adalah miniatur bendera dari sejumlah negara. Membelinya pun hanya jika kebetulan ketemu. Bagi Trinity, koleksi kenangan lebih penting daripada sekadar barang. Kenangan yang kemudian dituangkan dalam tulisan agar tetap abadi.