Inovasi Perancang Muda
Ada batik, tenun, songket, dan beragam jenis wastra Nusantara yang terus berkembang dalam bentuk dan makna sebagai material yang dapat dimanfaatkan untuk mencipta karya. Musa menekankan pentingnya para perancang muda ini paham betul asal muasal material yang mereka pakai. Pemahaman itu yang perlu mendasari mereka berinovasi.
Dalam era global saat ini, pasar mencari sesuatu yang unik. Di situlah pentingnya riset dilakukan para perancang sebelum melahirkan karya. Terlebih lagi di tengah semangat yang menguat untuk mengangkat produk budaya lokal. Produk bercita rasa etnik tidak lagi dipandang kuno. Namun, tetap diperlukan sesuatu yang membedakan satu rancangan mode dengan rancangan mode lain.
Aplikasi nilai budaya lokal dalam rancangan mode pun tak bisa dilakukan dengan sekadar memotong wastra dan menjahitnya. ”Kini para perancang sudah paham bahwa untuk merancang mode tak sekadar merancang busana. Mereka tahu motif mana yang bisa dipotong, mana yang tidak. Mereka juga paham keunikan motif dan material sehingga bisa mengombinasikan dengan baik. Mereka menambahkan konsep kekinian sehingga produk bisa dipasarkan,” ujar Musa.
Kasual
Pada rancangan yang ditampilkan para finalis IYFDC 2018, konten etnik terasa kental dalam motif, aksen, dan ornamen yang dipakai. Mayenda Pebri Dita Purba dalam karya bertajuk ”Uis Gara”, misalnya, menyuguhkan gaun terusan antara lain dipadukan dengan outer panjang. Gaun merah atau hitam panjang berhias motif etnik dikombinasikan dengan motif bunga dalam benang keemasan.
”Saya mengangkat kain khas Sumatera Utara. Biasanya yang sudah banyak dikenal adalah ulos, tetapi saya membawa kain uis gara, khas Batak Karo. Asalnya dari Kabanjahe, tak jauh dari lokasi Gunung Sinabung yang erupsi,” tutur Mayenda.
Kreativitas Mayenda mengombinasikan motif garis yang umum pada uis dengan bunga dinilai juri unik dan jarang ditemui. Mayenda menyabet gelar juara 1 pada ajang IYFDC 2018 ini.
Rancangan Ivan Rizky Pratama bertajuk ”We’ekuri” menampilkan keindahan kain pahikung dari Nusa Tenggara Timur dalam busana kasual. Keunikan rancangan Ivan terletak pada kreativitasnya menambahkan ornamen pada busana dengan teknik makrame. Jalinan benang, misalnya, menjuntai pada sisi kanan kiri bawahan celana pendek di atas lutut. Ivan dinobatkan sebagai juara favorit.
Tema ”Papuanist” karya Aviani Yusuf mengangkat motif burung cenderawasih dan ornamen rumbai-rumbai. Adapun ”Ikat Erat” karya Guntur Nanda Prasetya didominasi motif khas garis.
Sementara Stacia Angela menggabungkan motif garis putih merah khas Madura dengan batik bermotif flora dalam tema ”Ethnic Beatnik”. Motif khas Kalimantan, seperti sulur dan perisai, diolah Dhiya Fajri Sadida dalam tema ”Borneo”.
Secara umum, warna alam mendominasi rancangan para desainer muda ini. Coklat, indigo, merah tua, hitam, dan hijau daun tampak pada beragam gaun, atasan, terusan, dan celana. Potongan asimetris, tabrak motif, dan gaya busana yang cenderung kasual dan sporty juga banyak ditampilkan.
Selain menyoroti konsep dan kreasi perancang-perancang muda, para juri IYFDC 2018 juga mengingatkan agar kiprah mereka berkelanjutan, tidak berhenti pada kompetisi merancang mode. Musa menilai, sering kali ketika dihadapkan pada fakta betapa tidak mudahnya menjadi perancang mode, banyak perancang muda yang akhirnya berhenti berkarya di tengah jalan.
”Harus disadari, memang tidak mudah menjadi perancang mode. Perlu ketekunan, dedikasi, dan riset. Bikin busana, mungkin semua orang bisa. Namun, merancang mode, berbeda,” kata Musa yang sudah lebih dari 25 tahun berkecimpung di dunia rancang mode.
Dari ratusan finalis dan puluhan juara yang muncul dari kompetisi perancang mode semacam ini, menurut pengamatan Musa, tak banyak yang bisa terus konsisten berkarya dan mengembangkan karier.
Meski demikian, pasar Indonesia dan global terbuka lebar. Pilihannya, kita atau pihak lain yang akan mengambil peluang.