Napas Idealisme Bagong Kussudiardja
Hawa sejuk datang bersama semilir angin yang juga menggoyang dedaunan. Gemerisik rerimbunan bambu ditingkahi suara aliran Sungai Koteng bak sapaan ramah kepada siapa saja yang datang ke Pedepokan Seni Bagong Kussudiardja. Pantas saja para cantrik dan mentrik kerasan menimba ilmu di sini.
Hari Jumat (2/2/2018) itu, suasana pedepokan di Dusun Kembaran, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, begitu tenang. Dalam balutan ketenangan itu, dua orang berdiskusi serius tentang pencahayaan di salah satu sudut pedepokan yang luasnya mencapai 1 hektar tersebut.
Di ruangan lain yang berdempetan dengan ruang kantor pedepokan, delapan anggota Kua Etnika tengah berlatih. Sepekan berikutnya mereka akan tampil di salah satu kota di Jawa Barat. Kua Etnika adalah kelompok seni yang dimotori Djaduk Ferianto, salah satu anak kandung Bagong.
Kua Etnika yang lahir pada 1995 ini, merupakan salah satu dari empat lembaga penting yang hidup dan menghidupi pedepokan tersebut. Di sana juga berdenyut aktivitas Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardja (berdiri 1957), kelompok Teater Gandrik (berdiri 1983), dan kelompok musik keroncong kontemporer Sinten Remen (lahir 1997).
Para pegiat empat organisasi itu beraktivitas di pedepokan seni serta mencari dana untuk membiayai segala kegiatan dan produk seni mereka. Mereka selalu membuat program kerja dan modul untuk memudahkan pencarian dana. Dengan kata lain, mereka menggunakan manajemen modern dalam mengelola pedepokan dan mengembangkan diri. Setiap bulan belasan aktivitas berlangsung di sini mulai dari tari, teater, musik, seni rupa, sampai sastra.
Pedepokan ini terbuka bagi siapa saja. Mereka yang sudah mapan, setengah mapan, sampai sama sekali baru berkesenian, terbuka untuk datang, belajar, dan berproses di bawah atap pedepokan. ”Kami melihat setiap manusia punya jiwa seni, tetapi tidak pernah diasah. Kami ingin mengembalikan esensi bahwa manusia itu punya daya seni, kami ketuk agar muncul ruang- ruang kreativitas. Jadi semua orang bisa menjadi seniman,” kata Djaduk.
Melintasi zaman
Suatu hari pada 1948, Bagong mendirikan Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardja. Rekannya, Wisnoe Wardhana, juga mengambil langkah serupa. Keduanya sempat sekolah di Martha Graham Dance Studio, New York, Amerika Serikat. Mereka merasa apa yang didapat dari Amerika Serikat itu sesuatu yang hebat. Dalam bahasa Djaduk, ini disebut ”mabuk Amerika”.
Akan tetapi, seiring waktu, Bagong semakin banyak bergaul dengan rekan-rekannya, dia menilai seni tari sebagai medium. Lalu muncul gagasan untuk membangun tari berbasis seni tradisi. Maka, lahirlah tari-tari kreasi baru, seperti Layang-layang (1958), Jaka Tarub (1962), dan Palagan Ambarawa (1974).
Pada 1977, Bagong membeli tanah 1 hektar di tepi Sungai Koteng yang dia bangun dan dia andaikan menjadi pesantren seni. Bangunannya sederhana, dengan tiang dan dinding bambu. Penerangan masih seadanya karena listrik belum masuk desa. Di sana, para cantrik dan mentrik, sebutan untuk ”santri”-nya, belajar gamelan, musik, seni rupa, dan tari. Mereka tinggal di pedepokan seni tersebut. ”Kala itu, pukul 5 pagi mereka bangun dan latihan, istirahat, lalu latihan lagi sampai sore,” kata Djaduk.
Bagong membiayai sendiri pedepokan seni itu dengan uang yang dia dapat dari menari dan melukis. Selain dari dalam negeri, cantrik dan mentrik Bagong juga datang dari negara-negara tetangga, terutama Malaysia. Ini yang kemudian mendorong Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad pada 1988 mengunjungi pedepokan Bagong. Ia berterima kasih lantaran banyak koreografer Malaysia berkembang setelah belajar di sini. Presiden Soeharto kala itu ikut serta.
Begitu melihat bangunan pedepokan yang sederhana itu, Presiden Soeharto pun mengusulkan agar Bagong mengajukan proposal untuk mendapatkan dana pembangunan pedepokan. Pedepokan mulai diperbaiki. Bagong terus menggembleng para cantriknya hingga akhir hayatnya.
Ditata ulang
Sepeninggal Bagong, pedepokan ini dikelola generasi kedua, yakni Djaduk dan kakaknya, Butet Kertaredjasa. Sebagai langkah awal, mereka mendirikan Yayasan Bagong pada 2008 untuk melindungi sekaligus membuat gerak pedepokan lebih luwes. Dari sisi tata ruang, mereka meminta bantuan arsitek Eko Prawoto untuk menata ulang pedepokan dengan desain lebih modern.
Kini, di pedepokan itu terdapat panggung seluas 140 meter persegi, ruang memorabilia, perpustakaan, ruang pamer, taman, dan perkantoran. Semuanya diberi nama yang diambil dari nama tari atau sendratari ciptaan Bagong, seperti Layang-layang, Diponegoro, dan Gajahmada.
”Ruangan atau bagian-bagian dari pedepokan ini tidak ada yang berfungsi permanen. Semua dapat berubah sesuai kebutuhan. Panggung bisa menjadi ruang pamer dan seterusnya,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Bagong Kussudiardja, Jeannie Park.
Semangat Bagong sebagai pendidik yang mendekatkan seni kepada publik diwujudkan dalam program-program pedepokan yang terbuka. Siapa pun boleh mengakses pedepokan dan berkegiatan di sana sepanjang jadwalnya tidak berbenturan dengan kegiatan lain.
Jadwal kegiatan pedepokan ini padat sekali, dalam sebulan ada belasan, bahkan puluhan kegiatan. Kegiatan yang menonjol antara lain Jagongan Wagen, yang digelar sebulan sekali. ”Konsepnya dialektika melalui pementasan, seniman dan karyanya bisa hadir. Sekaligus bisa menjadi ruang mengemukakan gagasan baru bagi seniman. Gagasan itu dipresentasikan, diperjelas, sampai berani untuk dipersembahkan pertama kali di sini. Setelah itu kami bantu mematangkannya,” kata Jeannie.
Jagongan Wagen ini ikut menjembatani para seniman yang kesulitan menemukan tempat mematangkan ide-ide mereka. Di pedepokan ini mereka juga diajari teknik berbicara di depan publik karena banyak seniman punya gagasan bagus, tetapi kesulitan mengartikulasikannya secara verbal. Tak ketinggalan juga memberikan kesempatan kepada mereka untuk belajar membangun jejaring dan memasarkan karya.
Pedepokan ini juga menerima residensi seniman untuk kolaborasi antardisiplin. Mereka dapat bekerja sama secara artistik, tetapi penekanan program ini adalah untuk meningkatkan pemahaman peran diri seniman agar pencapaian artistiknya tidak menjadi penghalang untuk melangkah lebih jauh.
”Pencapaian artistik bukan yang utama karena seniman perlu mengembangkan kemampuan bergaul, disiplin, serta bisa membuat deal dengan orang lain,” papar Jeannie.
Ketika kami asyik mengobrol, datang rombongan tamu dari Seoul Institute of the Arts (SeoulArts) yang hendak mengajak Djaduk memberikan pelatihan di Korea. Hal itu menjadi salah satu bentuk pengembangan seniman. Kemungkinan kemungkinan baru dalam berkesenian perlu selalu dibuka.
Apa yang dilakukan anak-anak Bagong tak lain melanjutkan napas idealisme Bagong untuk memberikan ruang terbuka bagi para seniman dan penikmat seni.