Menangkis Godaan Beras
Wartawan harian Kompas, Ahmad Arif, yang menjadi pembicara diskusi itu, mengungkapkan, makanan lokal cenderung menjadi makanan kelas kedua atau ketiga. Padahal, sagu adalah bahan makanan tua yang telah lama ada di Nusantara. Begitu pula pisang yang ragamnya paling banyak di dunia.
Iles-iles yang bisa ditemukan di Indonesia, misalnya, merupakan jenis umbi-umbian yang digunakan sebagai bahan baku konnyaku atau shirataki dan dijual mahal di Jepang. ”Pola makanan dari beragam menjadi seragam. Sudah saatnya kita mulai beralih dari beras dan mengubah cara pandang tentang pangan lokal. Banyak yang lebih mengenyangkan daripada beras. Tidak makan nasi, toh, tetap hidup, kan?” ucap Arif.
Berbagai cara mengolah bahan pangan non-beras rupanya belum banyak dikenal masyarakat. Sagu, misalnya, kebanyakan hanya diolah menjadi bubur, pisang direbus dan digoreng, atau ubi dikukus.
Sukun tumbuk
Pada kesempatan itu, Chef Ragil Imam Wibowo dari Nusa menunjukkan beberapa cara mengolah bahan pangan lokal yang membuat kita berpikir: wah, bisa juga, ya. Caranya pun sangat mudah. Jangan pula ditanya rasanya, membuat lidah terpesona karena lezatnya.
Menu pertama adalah sukun tumbuk. Ya, konsepnya mirip dengan mashed potato alias kentang tumbuk yang sudah akrab dengan lidah kita selama ini.
”Sukun dari Indonesia timur lebih legit rasanya,” ujar Chef Ragil sambil menambahkan bahwa sukun kuning ataupun putih bisa dibuat sukun tumbuk.
Sukun yang sudah dikupas dipotong-potong kecil, lalu direbus. Bisa ditambahkan sedikit garam jika ingin lebih gurih. Setelah dipastikan empuk, sukun dihaluskan. Sukun yang sudah halus itu dipanaskan sebentar dengan minyak kelapa sampai kekentalan yang sesuai.
Teksturnya lebih padat dibandingkan dengan kentang tumbuk sehingga jangan takut tidak kenyang setelah menyantapnya. Cita rasanya gurih, dengan tekstur yang cepat lumer di mulut.
Kreasi sagu
Chef Ragil juga berkreasi dari makanan lokal Gorontalo, ilabulo. Dia menggunakan bumbu pepes merah, yakni bawang merah, bawang putih, cabai merah, sedikit jahe, lengkuas, serai, dan daun salam yang diblender halus, untuk menciptakan rasa lebih kuat. Bumbu dimatangkan dengan air, lalu ditambahkan protein. ”Bisa ayam, jeroan, atau udang. Saya gunakan hati ampela ayam yang sudah matang,” katanya.
Tepung sagu kemudian dimasukkan ke dalam campuran tersebut. Sagu yang sudah mulai transparan artinya sudah matang, begitu tip dari Chef Ragil. Campuran sagu dan ati ampela itu diberi sedikit minyak kelapa, lalu dibungkus daun pisang, kemudian dibakar. Praktis karbohidrat dan protein bercampur dalam satu makanan. Cita rasanya gurih, sedikit pedas, dengan jejak rasa asap yang nikmat.
Olahan sagu lain yang ditawarkan Chef Ragil adalah ongol-ongol. Bahannya dari tepung sagu, dipanaskan dengan air, seperti mengolah agar-agar. Bubur sagu dibubuhi sari terung belanda sehingga berwarna merah bersemu jingga lembut. Berkisar 8-19 menit, matang sudah ongol-ongol. Setelah dingin, ongol-ongol bisa dicelupkan dalam gula merah cair dan dibaluri parutan kelapa muda yang gurih.
Selain ketiga menu tersebut, terdapat menu nasi jagung dan nasi ”analog” dari bahan singkong yang dipadu dengan aneka olahan sayur, ayam, dan ikan. Nasi analog ini berupa potongan kecil singkong yang bentuknya mirip nasi dari beras. Bentuknya dibuat lonjong menyerupai beras, tetapi butirnya lebih besar beberapa kali lipat.
”Biar berasa tetap makan nasi,” seloroh Harry.
Dipadukan dengan ayam besengek, ikan gindara asap sambal colo-colo, sayur singkong tumbuk, dan tumis gembus tulang muda, nasi jagung dan nasi singkong tak kalah lezat dari nasi beras. Bahkan, cita rasanya yang lebih ringan terasa lebih ramah di perut.
Mengakrabkan lidah
Menurut Chef Ragil, sekarang sudah semakin banyak orang, terutama masyarakat urban, yang mengenal olahan pangan non-beras. Mereka pun bisa menikmatinya. ”Namun, memang harus ditawarkan dulu, diajak dulu. Misalnya, kita tiba-tiba membuka restoran khusus sagu, mungkin juga orang tidak akan berminat. Sedikit demi sedikit olahan pangan lokal ini disuguhkan supaya semakin akrab dengan lidah,” katanya.
Bahan pangan lokal ini pun sebenarnya mudah didapatkan. Jika kesulitan menemukannya di pasar, bahan pangan ini bisa dengan mudah dibeli secara daring dari sejumlah tempat di Indonesia.
Yang terpenting, menurut Irvan Kartawiria dari Jalansutra, kita tetap bisa kenyang kendati tak selalu mengonsumsi nasi. ”Sebenarnya manusia yang berhasil adalah manusia yang tahan godaan beras. Ha-ha-ha,” candanya.