Rawat Eksistensi Komunitas lewat Film Pendek
Sebagian besar kegiatan perfilman di Indonesia hingga sekarang berawal dari komunitas film. Sejak era 1900-an, komunitas film sudah mulai terbentuk dan kini tersebar di berbagai pelosok Indonesia. Mereka memiliki tujuan bersama, yakni menjadi wadah bagi sineas untuk menunjukkan karya, mengolah bakat, dan mengembangkan perfilman Tanah Air.
Salah satu komunitas film di Jakarta yang aktif adalah Komunitas Boemboe yang fokus pada promosi dan distribusi film pendek.
”Kami ingin menjadi penjaring dan penghubung film pendek di Indonesia. Mencari sineas yang mempunyai bakat dan menjadi wadah memutarkan film pendek yang enggak ada tempat di televisi maupun bioskop,” kata pendiri Komunitas Boemboe, Lulu Ratna, akhir pekan lalu.
Pada Minggu (15/4/2018), Boemboe menggelar acara Gemar Film Pendek Episode Ke-6 di Kineforum. Lima film pen-
dek yang diputar Boemboe menyelaraskan tema Kineforum bulan April, yaitu menggambarkan keberadaan Indonesia sebagai bagian dari Asia Tenggara.
Setelah pemutaran film, acara dilanjutkan dengan diskusi. Pembuat film pendek diminta untuk memaparkan proses pembuatan film pendek. Dari situlah, semua proses pembuatan film pendek dibicarakan bersama.
”Kami membangun hubungan baik dengan pembuat filmnya. Adapun Boemboe juga ingin menggerakkan penontonnya untuk bertanya. Dan itu sensasi yang enggak akan ada jika program ini disiarkan langsung melalui media sosial seperti acara-acara kekinian,” ungkap Lulu, alumnus Antropologi Universitas Indonesia.
Selain acara tersebut, Boemboe sudah menggelar banyak kegiatan. Dalam menjalankan kegiatannya, Boemboe menggelar program 3 Cities Short Film Festival yang hanya diselenggarakan tiga kali di tiga kota. Pertama pada tahun 2006, yaitu Cirebon, Salatiga, dan Jember. Dua tahun kemudian diadakan di Pontianak, Banjarmasin, dan Balikpapan. Tahun 2010, di Maumere, Bangkalan, dan Mataram.
Komunitas yang berdiri tahun 2003 ini digerakkan oleh tiga orang: Lulu Ratna, Amin Shabana, dan Novia Puspa Sari. Ketiganya menjadi nyawa sekaligus penggerak Boemboe saat ini.
Berdasarkan hasil riset dari Cinema Poetica Research Center tahun 2016, Boemboe adalah satu dari 77 komunitas film yang terdata di Indonesia setelah tahun 1998. Komunitas yang terdaftar terbagi menjadi tiga jenis, yaitu organisasi nonkampus tanpa badan hukum, organisasi kampus, dan organisasi nonkampus dengan badan hukum.
”Kalau komunitas yang jumlah anggotanya kecil itu, geraknya lebih cepat dan tidak bertahan lama. Ketemuannya enggak susah, untuk menyetujui akan sesuatu hal juga lebih cepat,” tuturnya.
Aktif di media sosial
Komunitas Boemboe memfokuskan diri pada bidang promosi dan distribusi film pendek. Pilihan itu diambil, menurut Lulu, karena kini banyak komunitas film yang sudah fokus ke sektor produksi. Boemboe mengurasi beberapa film pendek, yang kemudian dipromosikan oleh mereka.
Untuk mempromosikan film di sektor promosi, Boemboe menyebarkan program mereka melalui media sosial, yaitu Instagram, Facebook, dan Twitter. Dulu, mereka menggunakan selebaran dan poster sebelum terjadi perubahan dan perkembangan dunia teknologi saat ini.
Bagi Lulu, meda sosial dinilai menjadi cara yang ampuh dalam merengkuh anak muda untuk menonton film pendek. Menurut dia, sudah tidak ada lagi generasi milenial yang melihat poster atau selebaran di kampus. Untuk itulah, kehadiran Novia yang masih mahasiswa sebagai community relations officer dan social media maintenance untuk membantu Lulu.
”Yang pasti, saya mengurus media sosial Boemboe, terutama Instagram. Itu saja baru dibuat saat saya bergabung pada September 2017,” kata Novia, mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara, Serpong, Tangerang.
Untuk mempromosikan film-film yang sudah dikurasi, Novia aktif mengurus laman Boemboe dan membangun relasi ke komunitas-komunitas film yang ada di Tanah Air.
Promosi di festival film
Selain promosi, distribusi film pendek juga mereka lakukan melalui proses yang panjang. Mulai dari datang ke festival film di daerah-daerah hingga mengurasi banyaknya film pendek sebelum melakukan pemutaran.
”Festival itu merupakan langkah awal bagi sineas. Soalnya, sineas enggak akan tahu yang menonton film kita itu siapa. Proses distribusi pun terjadi karena para pembuat film semuanya bertemu,” tutur Lulu, anggota Komite Dewan Kesenian Jakarta.
Untuk film yang dipilih dalam sebuah festival, Boemboe tidak memiliki gaya atau pakem tertentu. ”Yang kami lihat itu bakat. Contohnya, jika ada sineas yang bakatnya belum terasah, maka kita pilih filmnya karena kita merasa ada sesuatu di situ, ada yang kita suka,” ujarnya.
Sebagai komunitas, papar Lulu antusias, konsep Boemboe adalah mendatangi penonton di kota yang dinilai tak pernah memiliki film. Untuk itu, mereka harus bekerja sama dengan komunitas lokal dan secara tidak langsung juga memperluas jaringan komunitas film di daerah-daerah. Dengan demikian, jika ada sebuah production house yang ingin roadshow ke daerah-daerah, Boemboe bisa menjadi komunitas penghubung.
Contohnya, tahun 2012, Boemboe datang ke sebuah festival di Purbalingga, Jawa Tengah. Kala itu, mereka membuka diskusi bernama Boemboe Forum yang menjadi titik temu para sineas. Alhasil, mereka menemukan seorang sineas yang memiliki 2 film pendek, 1 di antaranya sudah diputar di festival-festival nasional. Karena itu, Boemboe pun bekerja sama dengan sineas tersebut untuk mendapatkan satu filmnya yang tak pernah diputar yang juga memiliki cerita menarik.
Sektor distribusi film tak berhenti hanya di festival, setiap anggota Boemboe juga harus menonton banyak film pendek. Mereka pernah mendapatkan pasokan film pendek saat menjadi satu dari dua komunitas film yang mengurasi film pendek Festival Film Indonesia (FFI) 2017.
”Tahun lalu kami kerja sama dengan FFI sebagai penyeleksi film pendek sebelum masuk ke tahap nominasi. Gara-gara itu, kami juga dapat banyak film, ha-ha,” ucap Lulu.
Tak hanya FFI, mereka juga mendapatkan banyak film pendek saat Jogja-NETPAC Asian Film Festival pada Desember 2017. Film-film dari luar Indonesia bisa mereka dapatkan kala itu. Festival tersebut bisa dikatakan keberuntungan bagi Boemboe dan komunitas film lain yang memang memiliki masalah keuangan untuk bisa mencari film di luar negeri.
Setelah film selesai dikurasi, Boemboe bekerja sama dengan bioskop alternatif untuk memutarkan film pendek. Tak jarang, mereka juga harus mengikuti tema yang sudah dibingkai bioskop sehingga film pendeknya diharapkan memiliki cerita yang selaras dengan tema. (SIE/*)