Kotak-kotak Pemberontak
Plastik mika ini dibuat menjadi bentuk tertentu dengan teknik potong laser lalu dijahit pada baju. Mel menggunakan mika dari hasil limbah sisa produksi yang tidak terpakai. Ia sekaligus ingin mengingatkan bahaya plastik bagi bumi sekaligus perlunya mendaur ulang plastik yang butuh waktu ratusan tahun untuk hancur. Warna-warna menyala menjadi pilihannya pada bagian detail untuk memberi kesan futuristik dan mengimbangi koleksinya yang beraura ”jadul” (jaman dulu).
”Tahun lalu, kan, organik banget, apa-apa pakai organik, katun organik, ini itu organik. Aku masih mau kampanye lingkungan, tetapi agak beda dari tahun lalu. Plastik ini kan toxic, beracun buat bumi. Warna-warna plastik yang aku ambil juga yang warna toxic untuk memperkuat pesan selain sedang tren” kata Mel.
Inspirasi lukisan
Kotak-kotak juga menjadi pilihan Rinda Salmun untuk lini keduanya, No.2 by Rinda Salmun, yang baru saja diluncurkan. Ini lini siap pakai dengan harga terjangkau yang ditujukan untuk semua kalangan perempuan di segala suasana.
Rinda selalu suka dengan kotak-kotak, motif yang membuatnya terstimulasi menghasilkan karya baru. Kotak-kotak ala Rinda Salmun tidak harus yang berukuran seragam. Ia memvariasikan ketebalan garis, ukuran kotak, hingga warna untuk menghasilkan permainan kotak-kotak yang menarik. Hasil desain motif kotak-kotaknya dicetak secara digital di atas kain satin sutra dan katun voile dengan warna-warna pastel nan cerah.
”Aku suka dengan permainan garis dan kisi-kisi yang membentuk kotak-kotak,” kata Rinda yang lulusan Seni Lukis Institut Teknologi Bandung sebelum melanjutkan belajar mode di London, Inggris.
Kotak-kotak ala Rinda banyak terpengaruh oleh teori neoplastisisme pelukis Piet Mondrian, termasuk model pewarnaannya. Rinda membahas khusus masalah ini pada skripsi S-1-nya. Selain kotak-kotak, budaya Maroko dan peranakan memengaruhi motif-motif pilihannya pada koleksi ini. Rumah-rumah di Maroko yang dari udara juga terlihat kotak-kotak semakin memperkuat inspirasinya. Warna-warna pastel, seperti krem, merah muda, hingga biru banyak ditampilkan selain warna hitam dan putih yang menjadi warna ”wajib”-nya.
Motif-motif ini ia sesuaikan dengan siluet busana yang sengaja dipilihkan tidak terlalu berstruktur, lebih lepas, dan simpel. Kadang-kadang, Rinda harus menyesuaikan besaran kotak-kotak dengan siluet bajunya agar sesuai dengan tubuh pemakai. Sebaliknya, kadang-kadang siluetnya yang ia sesuaikan agar motif tidak terlihat terlalu rumit atau memberi kesan gemuk pada pemakainya.
Khusus untuk label ini, Rinda melakukan serangkaian uji coba karena ia hanya membuat dua macam ukuran baju, yakni all size atau segala ukuran yang mencakup ukuran S dan M, serta plus size untuk L dan XL. Ia mencobakan semua bajunya pada orang-orang yang ia kenal, mulai dari ibunya, pegawai, hingga anak pegawai yang masih pelajar agar ukuran yang diperoleh benar-benar mengakomodasi kelompok ukuran tubuh yang dibuat.
Pemberontakan
Seperti Rinda yang tidak ingin terlalu terpaku dengan tren, Tri Handoko juga mengaku sengaja tidak mengikuti tren. Ia membuat apa saja yang menjadi mood atau suasana hati ketika mulai berkreasi. Kali ini mood membawanya pada motif kotak-kotak yang dibalutnya dalam tema A Stage of No Motion.
”A stage of no motion itu saya jabarkan sebagai seseorang yang dari luar terlihat tenang dan kalem. Namun, emosi dan pikiran di dalam sebenarnya memberontak. Pemberontakan ini jangan selalu dipandang negatif. Sesuatu yang memberontak itu bisa jadi sesuatu yang sangat indah,” kata Tri.
Tri teringat pada motif kotak-kotak yang pada tahun ’60 dan ’70-an identik dengan kelompok punk dan grunge. Kain kotak-kotak yang sudah dikenal ratusan tahun lalu di Skotlandia pernah dilarang penggunaannya karena alasan politis. Ia kemudian populer pada abad ke-18 setelah diangkat, bukan oleh kalangan akar rumput, melainkan oleh kelompok aristokrat urban dan kelas menengah yang mulai muncul di Inggris.
Motif kotak-kotak dipakai kelompok punk pada tahun 1970-an sebagai bentuk protes terhadap dunia mode dan masyarakat dan kelak menjadi mode tersendiri. Kotak-kotak pun menjadi paradoks antara lambang kemewahan dan pemberontakan.
Tri menggunakan motif kotak-kotak klasik seperti yang kerap terlihat pada material flanel kotak-kotak. Namun, sebenarnya yang ia pakai adalah katun flanel agar tetap nyaman dikenakan di iklim tropis. Gayanya bernuansa jalanan (street style), tetapi tetap dengan struktur yang elegan. Beragam siluet ditawarkan, baik untuk perempuan maupun laki-laki.
Ia menabrakkan motif dan warna-warna secara kontras sebagai dorongan untuk bersikap berani dan ”terlihat”. Barangkali ini juga bentuk pemberontakan Tri terhadap tren yang enggan ia ikuti. Jadi, sudah siap ”memberontak” dengan kotak-kotak?