Liar yang Mengakar
Pada dasarnya, lanjut Hans, kolak pisang terdiri atas santan, pisang, dan kadang ubi. Dia tetap memakai ketiga komponen itu, tetapi mengolahnya dengan cara berbeda. Dia mulai mengiris pisang, menaburinya dengan brown sugar (gula pasir kecoklatan), lalu mulai membakar dengan alat torch (stik pembakar) supaya tekstur pisang lebih lembut. ”Pada dasarnya pisang apa saja bisa digunakan,” ujar Hans.
Ubi ungu diolah dengan cara berbeda pula. Ubi dibuat purée (semacam bubur halus), lalu dibentangkan di loyang hingga setipis mungkin. Setelah itu dimasukkan oven dengan panas rendah, atau bisa dengan dehidrator, sampai didapatkan bentuk semacam kertas tisu berwarna ungu. Lembaran itu digoreng sebentar sehingga bentuknya transparan dan rasanya renyah.
Hans mulai menyusun pisang di atas piring. Saus dituang sesendok demi sesendok, tidak sampai menenggelamkan pisang seperti kolak pada umumnya. Terakhir lembaran ubi ungu diletakkan di atas pisang sebagai pugasan. Taraa....
Kecuali ubinya yang jadi renyah, secara umum rasanya memang seperti kolak pisang yang biasa kita santap. ”Saya membuatnya lebih kontemporer, tetapi rasanya masih sama. Ini presentasi modern makanan lokal. Ada efek mengejutkan saat melihat bentuknya sehingga kadang saya perlu menjelaskan karakter makanannya kepada konsumen,” papar Hans.
Bagaimanapun, lanjut dia, yang dicari orang dari bentuk modern sebuah masakan tradisional tetap rasanya. ”Mungkin orang yang melihat akan mengatakan itu bukan kolak pisang. Tidak apa-apa karena saya tidak bersaing dengan versi orisinal. Hanya rasanya yang mengingatkan Anda pada kolak pisang. Namun, dengan begini orang yang bukan Indonesia pun bisa membuatnya dan memakannya,” ujarnya.
Tempe unik
Kreasi unik juga diciptakan oleh Benny Santoso (22), pemilik ”iniTempe”, artisan lokal di Bali, yang mencoba memberikan sentuhan pada tempe agar terasa lebih modern. Biasanya tempe cuma digoreng, dibacem, atau dimasak kare.
Di tangan Benny, tempe bisa dicampur yoghurt sehingga menjadi semacam granola untuk sarapan. Dia membuat cookies atau biskuit tempe. ”Sudah ada enam rasa, yakni kelor, mete, kopi, jahe, dark chocolate plus garam, dan kelapa. Jadi, saya main di flavour, rasa. Bentuk asli tempe tak lagi terlihat, tetapi jejak rasanya masih ada,” katanya.
Biskuit tempe rasa kelor dan daun ketumbar bisa dipadukan dengan keju. Kering tempe atau tempe orek yang biasanya hanya menjadi teman nasi bisa juga ditaburkan di sup labu kuning atau salad sebagai pengganti bacon, atau bahkan dimakan bersama waffle.
Benny, yang sering dipanggil Tempe Guy, memanfaatkan bahan lokal yang tidak banyak dieksplorasi orang. Tempe dia buat sendiri dengan kedelai didatangkan dari Grobogan, Jawa Tengah. Tempe kreasinya diminati konsumen sehingga sudah dikirim ke Jakarta, Spanyol, Perancis, dan Australia.
Warisan tradisi
Hans dan Benny adalah bagian dari tema besar UFF 2018, ”Generasi Inovasi”. Tahun ini, UFF memberikan panggung bagi kaum muda (milenial) yang membawa semangat kelokalan dalam karya mereka. Kendati sering dianggap sebagai generasi yang tidak memiliki akar, rupanya mereka justru sangat peduli pada identitas lokal. Banyak di antara mereka yang pernah menimba ilmu di luar negeri, lalu kembali ke Indonesia, memadukan ilmu kuliner dari luar dengan bahan pangan lokal.
Tak hanya kreasi inovasi kontemporer, UFF 2018 yang digelar pada 13-15 April di Taman Kuliner, Ubud, juga memberikan panggung pada kuliner yang membawa warisan tradisi kuat. Salah satu bintangnya adalah Gusti Nyoman Darta yang membawakan sesi ”Legendary Lawar” dalam Teater Kuliner. Sesi ini penuh sesak oleh hadirin yang ingin menyaksikan sekaligus mencicipi racikan juru masak puri-puri di Bali tersebut.
Pak Darta menjelaskan secara detail berbagai bumbu, bahan, dan cara membuat lawar. ”Semua bumbu masuk, yang disebut bumbu rajang atau base. Dari bawang merah, bawang putih, lengkuas, jahe, bangle, kencur, kunyit, cabai rawit merah, terasi, lada hitam, lada putih, kemiri, ketumbar, ditambah daun jeruk,” paparnya.
Bisa dipakai sayuran, seperti nangka muda atau pepaya muda, yang dicacah halus. Daging bisa memakai babi atau bebek yang sudah masak. Semua dicampur menjadi satu. Sungguh kaya rasa.
Lawar selalu hadir dalam setiap upacara keagamaan di Bali, seperti Galungan dan Kuningan. ”Lawar ini biasanya didampingi sate lilit,” ujar Pak Darta.
Generasi yang masih muda juga mengambil inspirasi masakan dari hidangan tradisional Bali, kemudian menyajikannya dalam kemasan unik di restoran-restoran ternama. Pasangan suami-istri Ayu Kresna dan Gede Kresna dari Pengalaman Rasa blusukanke desa-desa untuk menggali inspirasi itu.
Kedua menyajikan olahan daun kedaluman atau cincau, rumput laut dari Nusa Penida, dan gadung dengan cara berbeda. Gadung yang telah dicuci bersih dan hilang racunnya diiris persegi tipis mirip french fries, kemudian dikukus. Setelah matang, dilumuri gula arenga dan parutan kelapa.
Rumput laut yang telah dimasak ditambah ekstrak bunga telang agar berwarna keunguan, kemudian didinginkan menjadi mirip agar-agar dan diberi parutan kelapa. ”Bisa juga dimakan dengan selai markisa dan es krim,” ujar Ayu.
Adapun daun kedaluman yang biasanya hanya disiram santan bisa dinikmati dengan sirop kopi dicampur gula merah dan kayu manis. Alternatif lain dicampur es krim dan cold brew coffee.
Chef muda I Putu Dodik Sumarjana dari Nusantara by Locavore membawa kenangan masa kecil ke Teater Kuliner. Dia membuat rempeyek laron. Orang-orang asing yang hadir mengernyit saat mendengar terjemahan laron sebagai ant fly. Mereka tertarik dan ikut mencicipi laron yang sudah dikukus. Rupanya pengunjung restorannya pun menyukai rempeyek laron.
”Waktu kecil, ibu saya sering memasak laron. Sekarang, kalau ada laron masuk rumah, orang menyapu atau membuangnya. Kalau saya, saya kumpulkan, lalu dimasak. Bisa dipepes, digoreng, dibikin peyek,” tutur Putu.
Putu lalu memasak bebek tanah, resep yang diwarisi dari mendiang kakeknya. Satu ekor bebek diberi bumbu ungkep lalu dibungkus pelepah pinang. Bungkusan itu diselimuti dengan tanah liat, lalu dibakar selama 3-4 jam. ”Dulu kakek saya memelihara bebek sampai ribuan. Untuk membuat bebek betutu, sulit mendapatkan sekam. Adanya kayu dan tanah liat karena daerah Tabanan terkenal produksi gerabah. Jadilah bebek tanah ini,” lanjutnya.
Menu ini juga menjadi favorit pengunjung karena, selain cara pengolahan yang unik, rasanya pun lezat.
Dengan rasa hormat dan bangga akan kuliner warisan leluhur, ditambah imajinasi dan keberanian mencipta ulang, ternyata bisa tercipta aneka sajian inovatif yang bercita rasa tinggi. Anak-anak muda pencinta kuliner telah berani berkreasi liar, tetapi tetap mengakar pada warisan tradisi.
Jadi, tidak perlu lagi rendah diri dengan makanan kita sendiri, iya, kan....