Pangan Lokal Semakin Berkarisma
Semangat kelokalan dalam industri gaya hidup terasa semakin berenergi, termasuk dalam dunia kuliner. Hidangan lokal yang kerap dianggap kelas dua terus-menerus mendapat panggung. Perhelatan Ubud Food Festival 2018 di Bali, akhir pekan lalu, mengukuhkan prinsip kelokalan itu. Turis asing menyantap lahap jagung bose sampai sayur lilin. Sementara masyarakat kita malah masih malu menyajikannya.
Meja panjang di restoran Casa Luna, Ubud, Bali, Sabtu (14/4/2018) siang, terlihat semarak. Tidak kurang dari 40 orang duduk di sisi-sisinya. Bisa dikatakan 90 persen di antaranya adalah warga mancanegara. Sambil saling berceloteh satu sama lain, mereka menanti ”aktor-aktor” utama tampil di atas meja.
Siang itu mereka menikmati jamuan bertajuk ”Papua, Bali, Timor on the Table” yang merupakan rangkaian Ubud Food Festival (UFF) 2018, 13-15 April lalu. Pendiri dan Direktur UFF Janet DeNeefe, yang juga pemilik restoran, berbagi dapur dengan Dicky Senda, aktivis pangan dari Timor, dan Charles Toto dari komunitas Papua Jungle Chef.
Lembaran menu pun sudah mengundang penasaran. Mengikuti struktur bersantap ala Barat, masakan disajikan dalam tiga babak: pembuka, utama, dan penutup. Babak pembuka aktornya adalah sup ikan maluku, jagung bose, dan babika timor.
Lalu, menu utama menawarkan sajian dari tiga daerah. Dari Timor ada sorgum, se’i babi, lauk tunu, sambal lu’at, dan sayur rumpu rampe. Dari Papua ada swamening. Dari Bali ada kari daun kelor, sate lilit, dan urap timun. Babak penutup dari Bali berupa puding sagu, pisang, dan kelapa.
Satu per satu hidangan mengalir. Pengunjung pun disuguhi cerita tentang beragam makanan tersebut. Dalam sebuah suguhan menu sup, misalnya, potongan ikan berenang- renang dalam kuah bening kemerahan, bertabur daun basil, dan selembar keripik bayam renyah. Hmm....
”Ikan dalam sup itu berasal dari perairan Banda Neira. Dimasak dengan serai dan basil lokal,” ujar Dicky. Kampung halaman Dicky di Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT), kaya akan bahan pangan lokal yang bisa mereka nikmati dalam segala musim berkat cara pengawetan tradisional. Jagung
bose, misalnya. Jagung kering yang sudah hilang kulit arinya direbus bersama beberapa jenis kacang, seperti kacang tanah, kacang hijau, dan kacang nasi. Rasa asinnya tipis karena hanya diberi sedikit garam.
”Biasanya jagung bose dimakan bersama se’i babi campur sup. Supnya hambar, tanpa bumbu, hanya kaldunya,” ujarnya.
Lauk tunu berupa umbi-umbian, seperti ubi jalar dan talas, yang dilumuri madu hutan. Dipadu dengan sayur rumpu rampe, yakni tumis bunga pepaya, jantung pisang, daun singkong, dan ikan teri, berikut se’i babi dan sambal lu’at. Ah, nikmatnya....
Koki rimba
Menyusul kemudian hidangan hasil racikan Chef Charles Toto, yaitu swamening. Koki rimba dari komunitas Papua Jungle Chef yang biasa disapa Chato ini dikenal akan kepiawaiannya mengolah bahan-bahan yang ditemuinya di hutan Papua. Dia sering mendampingi tim peneliti, media, atau wisatawan yang menjelajahi hutan-hutan Papua dan memasak untuk mereka.
Swamening adalah makanan tradisional Papua yang terbuat dari sagu yang diberi parutan kelapa, kemudian dibungkus daun gebi. Swamening disajikan bersama buah ketapang dan sayur lilin (terubuk/telur tebu).
”Mungkin Anda sekalian mengenal sayur lilin ini sebagai terubuk atau telur tebu. Ini sumber protein nabati. Satu batang sayur lilin kandungan proteinnya setara satu butir telur,” ucapnya sembari menunjukkan batang terubuk dan isinya.
Buah ketapang ditinggalkan terserak di pantai-pantai Pasifik mulai dari Papua Niugini sampai Papua. Yang dimakan adalah bagian biji. Rasanya mirip kacang.
Pengunjung ikut menikmati, baik sajian maupun cerita yang menyertainya. Mereka manggutmanggut, membahas bersama orang di sebelahnya. ”Saya baru pertama kali mencicipi sayur lilin, jagung bose, dan rumpu rampe. Unik, otentik, dan bisa disantap di restoran seperti ini,” kata Yudhasmoro, peserta dari Jakarta.
Saat sesi Teater Kuliner ”Return of the Jungle Chef”, Chato menghadirkan buah merah segar dari Papua. Di daerah pegunungan, sari buah merah menjadi pengganti santan karena memiliki kandungan minyak. Ia memasak papeda, memadukan dengan ikan tuna asap dan kacang kecipir. Chato juga menyajikan rebusan talas dan daun ubi jalar untuk dicocol ekstrak buah merah dan ditaburi garam hitam.
Malu makanan sendiri
Aneka hidangan yang tersaji itu hanya sekelumit dari kekayaan pangan lokal Nusantara. Tak sedikit dari makanan itu yang sudah tak diminati masyarakatnya karena dianggap kurang berkelas jika dibandingkan dengan masakan dari luar daerah. Padahal, bahan pangan lokal itulah sebenarnya tonggak ketahanan pangan suatu daerah. ”Beberapa orang di kampung saya kadang merasa malu menghidangkan jagung bose kepada tamunya yang berasal dari Jawa. Mereka memilih menyuguhkan biskuit atau mi instan. Padahal, yang dicari justru yang lokal,” tutur Dicky.
Dengan diangkat dalam ajang UFF, minimal makanan itu bisa dikenal dan dinikmati kalangan yang lebih luas. Bagi ”pemilik” makanan itu, pamor yang mulai terangkat juga bisa membuat mereka semakin percaya diri untuk kembali mengakrabi makanannya. ”Mereka bisa belajar kembali ke pola lama makanan mereka dan menjaganya. Dalam beberapa bulan terakhir, orang kampung mulai menanam dan mengolah lagi bahan makanan yang sudah lama ditinggalkan, seperti sayur lilin itu,” kata Chato.
Generasi inovasi
Semangat itu sejalan dengan gagasan ditelurkannya UFF yang kini memasuki tahun keempat penyelenggaraannya. Janet mengatakan, UFF menjadi ajang untuk menghubungkan pencinta kuliner dengan juru masaknya serta komunitas yang bergerak di bidang tersebut. Di sinilah tempat beragam makanan dari penjuru Indonesia berkumpul, berikut kisah-kisah di baliknya.
”Untuk mengedukasi, mengingatkan bahwa makanan ini bagian dari identitas mereka. Jadi, ketika banyak orang membicarakan betapa enaknya makanan mereka, tentu akan terasa membanggakan, bukan?” tutur Janet.
Tahun ini, para chef dari restoran papan atas turun untuk menampilkan keahlian mereka mengolah aneka bahan pangan lokal menjadi hidangan yang sedap dipandang dan lezat disantap. Dari mereka, selain mengenal bahan pangan, pengunjung bisa juga belajar bagaimana mengolah bahan-bahan tersebut secara kreatif.
UFF 2018 mengangkat tema ”Generasi Inovasi” yang fokus pada anak muda. ”Saya kira anak-anak muda kini menjadi semakin bangga terhadap makanan mereka, sebagai bagian dari identitas diri dan warisan budaya. Merekalah masa depan kuliner Indonesia. Dari tangan mereka banyak tercipta inovasi makanan,” lanjut Janet.
Helianti Hilman, pendiri dan CEO Javara, perusahaan produk pangan organik, mengatakan, kini kian banyak kalangan yang menaruh perhatian pada pangan lokal. Dulu, inisiatif produk pangan artisan lokal kebanyakan hanya muncul di pop-up market, bazar, jual-beli daring, atau dari mulut ke mulut.
”Sekarang produk seperti itu sudah masuk ke supermarket besar atau jaringan hotel. Dengan masuknya produk itu ke pasar arus utama, semangat kelokalan menyebar,” tuturnya.
Fenomena global
Fenomena itu, menurut Helianti, terbantu dengan banyaknya kaum muda yang doyan melancong (traveling) sehingga
wawasannya terhadap sesuatu yang lokal bertambah. Orang pun mulai sadar untuk semakin ramah terhadap lingkungan sehingga memilih bahan pangan lokal yang lebih sehat dan bisa dilacak asal muasalnya.
Karisma makanan atau masakan lokal juga tecermin dari tren munculnya berbagai restoran papan atas di Jakarta, yang fokus menggarap masakan Nusantara. Belum lagi berbagai acara kuliner lokal di televisi.
Tren kelokalan dalam dunia kuliner ini sebenarnya telah menjadi fenomena global tersendiri yang dikampanyekan oleh para chef kelas dunia, salah satunya Jamie Oliver, lewat gerakan ”locavore” (pangan lokal). Isu kelokalan yang dipromosikan melalui gaya hidup ini berimbas pada manfaat lingkungan dan pemberdayaan masyarakat secara sosial dan budaya. Pendulum globalisasi, yang menyeragamkan gaya hidup di era yang lalu, kini bergerak ke kutub berbeda.
Pada akhirnya, promosi pangan lokal tidak bisa berhenti pada ajang seperti UFF saja. Kerja besar adalah mengubah sikap masyarakat yang menganggap makanan lokal kurang bergengsi. Mental inferior masyarakat itu yang harus diterapi.
Jadi, jangan remehkan kegenitan dunia gaya hidup karena ia bisa mengerek isu yang esensial.