Malam Sureq adalah sebuah ruang bertemu yang cair dan hangat bagi pencinta puisi di Makassar, Sulawesi Selatan. Komunitas anak-anak muda ini berusaha mengisi ruang sastra yang selama ini belum terisi. Mereka berkumpul, mendengar, dan membaca puisi tentang apa saja, dari sejarah, cinta, hingga coto Makassar.
Minggu (15/4/2018) malam yang gerah sehabis hujan sore, segelintir orang menghabiskan waktu di kedai-kedai kopi yang bertebaran di seantero Makassar. Sebuah kedai kopi yang bersih di Jalan Hertasning, Makassar, Sulsel, tidak begitu ramai. Sepasang lelaki dan perempuan asyik mengobrol di bagian dalam kafe. Di kiri dan belakangnya juga ada empat orang lain yang asyik masyuk bertukar cerita.
Di luar, dua pria juga tidak kalah asyiknya berdiskusi. Wahyu (21), seorang di antaranya, mengisap rokok ketiganya dalam 10 menit terakhir. ”Saya suka puisi dari Robert Frost, yang judulnya The Door in The Dark,” ucap mahasiswa Sastra Inggris, Universitas Negeri Makassar, itu. ”Dari judulnya saja di situ ada permainan bunyi, door dan dark yang terdengar renyah.”
”Kalau puisi anak muda Makassar, saya suka puisinya Ibe yang judulnya Solilukui,” ucapnya menunjuk rekannya yang berada di sebelahnya.
Kami lalu meminta Ibe S Palogai untuk membacakan puisinya. Ibe segera membuka telepon pintarnya. Dia membaca beberapa penggal puisinya:
apakah cinta itu selebar teras rumahmu?
pertanyaanku yang kamu sebar menjadi pertanyaan baru
begitulah seterusnya kita biarkan hidup berlalu seperti pertanyaan yang berjalan
dari satu arah ke mata yang lain
itulah mulanya
pada akhirnya kita akan menjadi penjaga rahasia
yang membiarkan kata-kata menanggalkan seragamnya sendiri
sebelum meninggalkan kita dengan doanya yang belum mandiri
Ibe (26), lulusan Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin, bercerita, puisi yang dia buat tahun 2013 yang berjudul Solilukui itu ditulis ketika dia sedang gemar-gemarnya menulis puisi. Saat itu, dia berusaha agar bisa menulis satu puisi dalam sehari.
Berkumpul
Wahyu dan Ibe adalah dua dari sekitar 70 anggota komunitas Malam Sureq. Sebuah ruang berkumpul para anak muda yang gandrung dengan sastra, khususnya puisi, di seantero wilayah Makassar.
Malam Sureq diinisiasi oleh beberapa mahasiswa pencinta puisi di Universitas Hasanuddin medio 2013. ”Sureq itu secara harfiah saat ini artinya surat. Jika ditarik lebih jauh, sureq berarti teks. Semua apa saja hasil tulisan ketika orang mulai menulis di Bugis-Makassar zaman dulu disebut sureq. Kami lalu menamakan komunitas ini Malam Sureq,” ujar Ibe.
Mereka lalu mengajak sejumlah kenalan untuk ikut datang dan bergabung dalam kegiatan yang dilakukan. Kegiatan mereka sederhana, yaitu datang, mendengar, jika ingin membaca puisi sangat dianjurkan. Malam Sureq biasanya diadakan sebulan sekali atau dua kali dalam sebulan.
Satu tradisi yang biasa dilakukan Malam Sureq adalah orang yang selesai membacakan puisinya dipersilakan menunjuk orang lain dari penonton. ”Biasanya yang ditunjuk adalah orang yang tidak dikenal dan belum pernah ketemu. Jadi, itu juga cara meleburkan orang-orang yang hadir,” kata Wahyu.
Cair dan melebur adalah bagian tidak terpisahkan dari komunitas puisi ini. Oleh karena itu, mereka juga sepakat tidak membentuk kepengurusan dan sistem keanggotaan.
Anak muda yang menyukai puisi dan ingin bergabung dibukakan pintu lebar-lebar. Apalagi, para anggota komunitas ini merasa, geliat sastra di Makassar sejak dulu seperti ada jarak yang dalam antara yang tua dan muda, yang baru dan lama.
Awalnya, menurut Ibe, orang-orang yang datang di Malam Sureq banyak membacakan puisi-puisi orang lain atau karya penulis besar. Hingga Malam Sureq kesekian, sejumlah anak muda yang datang mulai berani dan percaya diri membacakan karya mereka sendiri. Sejak beberapa tahun lalu, Malam Sureq juga masuk dalam jejaring Malam Puisi yang tersebar di banyak kota.
Sejumlah orang yang tergabung dalam komunitas ini berhasil membukukan puisi-puisi dan prosa mereka. Sebut saja Faisal Oddang yang telah melahirkan beragam buku, Alfian Dipahattang dengan ciri khas puisi dengan bumbu makanan lokal, seperti ikan bakar dan coto Makassar. Juga ada Alif A Putra, Arif Rahman, dan banyak sastrawan muda lainnya.
Wahyu mengatakan dalam waktu dekat akan meluncurkan buku kumpulan puisi berjudul Mendengar Biru di Langit. Di situ, dia membawa misi kebudayaan tentang dari mana dia berasal dan belajar selama ini.
Ibe juga sama. Buku terbarunya berjudul Cuaca Buruk Sebuah Buku Puisi terbitan Gramedia sedang dalam masa proses cetak. Di situ, dia menceritakan sejarah perang Makassar, orang-orang kalah, dan hubungannya dengan konteks kekinian masyarakat Makassar. Buku puisi pertamanya diberi judul Solilukui yang diterbitkan pada 2013.
Tantangan baru
Selain Malam Sureq atau malam puisi, komunitas ini juga sering mengadakan Tudang Sipulung dan Ngobrol Puisi. Malam Sureq terakhir mereka adakan sekitar Februari lalu. Saat ini, mereka belum menentukan kapan Malam Sureq akan diadakan lagi.
”Masalahnya sudah banyak yang terpisah jarak. Ada yang ke Jakarta atau sibuk dengan urusan sehari-hari,” kata Ibe.
Wahyu menambahkan, dirinya secara pribadi ingin agar ruang diskusi lebih intens dengan para anggota komunitas. Diskusi bisa tentang puisi masing-masing, geliat sastra di Makassar, atau membedah satu-satu puisi para anggota.
Malam semakin larut dan perbincangan semakin hangat. Dua anggota komunitas lainnya turut datang menambah variasi pembicaraan yang semakin liar. Kami berpindah kedai kopi yang buka 24 jam, menambah kopi, dan mencicipi pisang goreng. ”Ini sebenarnya juga sudah seperti Malam Sureq,” kata Ibe. (Saiful Rijal Yunus)