Burung Pelatuk dan Salvador Dali di Rumah Psikolog Alexander Sriewijono
Harum bunga sedap malam menghiasi setiap sudut rumah psikolog Alexander Sriewijono (41). Rumah tanpa tembok beratap ilalang ini tak hanya dihuni Alex. Di sana tinggal burung pelatuk, tupai, kupu-kupu, capung, dan seekor anjing kecil bernama Salvador Dali.
Dari jendela kamar di lantai dua rumahnya, Alex dengan mudah bisa mengamati perilaku cerdik burung pelatuk. Setahun dua kali pelatuk itu membangun sarang tepat ketika muncul bunga pertama pohon petai di halaman belakang.
Begitu buah petai membesar dan ulat-ulat bermunculan, burung pelatuk menikmati limpahan sumber makanan tanpa harus pergi jauh dari anak-anaknya yang sudah menetas di sarang. ”Ada polanya,” kata Alex tentang tingkah laku si pelatuk.
Tak hanya pelatuk, tupai-tupai juga sering bertandang dari dahan pohon rambutan yang menjulur ke kaca kamar. Dari teras kamar yang berlantai kayu dan beratap langit, Alex bisa menikmati bulan, bintang, dan hujan.
Dari teras itu pula ia hanya perlu menjulurkan tangan untuk memetik sawo, mangga, dan bunga kamboja. ”Hingga detail terkecil, saya ingin mengambil semua yang ada di alam. Aroma bunga, bunyi air, dan angin,” kata Alex.
Nuansa pedesaan dengan mudah bisa dihirup di rumah Alex yang adem. Padahal rumah mungil di atas lahan seluas 140 meter persegi ini berada di pusat kemacetan Kota Bekasi dan bisa ditempuh hanya 5 menit dari pintu tol.
Pintu kayu berukiran Bali menjadi gerbang yang memisahkan kesemrawutan jalan raya dengan rumah Alex yang dijuluki rumah ilalang itu. Untuk masuk ke rumah Alex, tamu-tamunya harus meniti bebabatuan di atas kolam air.
Suara gaduh lalu lintas segera tergantikan gemercik air. Limpahan oksigen dari pepohonan membuat suasana semakin sejuk. Ruang di lantai bawah sengaja dibuat tanpa dinding dan disokong tiang-tiang gelondongan pohon kelapa.
Semilir angin yang bertiup membuat Alex betah berlama-lama duduk membaca buku di ruang tamu. Dulu di sofa empuk di ruang tamu itu, Alex, yang menggeluti profesi psikolog, sering menerima pasien-pasien yang ”mengejarnya” ke rumah.
Hingga kini, Alex memilih tak menerima pasien karena keterbatasan waktunya. Jika klien perorangan ingin bertemu dengannya, setidaknya butuh tiga bulan mulai dari pertama membuat janji hingga akhirnya bertemu.
Lewat organisasi Dailymeaning yang didirikannya, Alex lebih banyak mengisi kelas pengembangan sumber daya manusia di sejumlah perusahaan, seperti Garuda Indonesia dan Pertamina. Ia rutin diundang mengajar materi kepemimpinan hingga ke Sri Lanka dan Ukraina.
”Lumbung jineng”
Untuk merealisasikan mimpi memiliki rumah tropis yang nyaman, Alex sempat mengambil libur selama lima bulan. Ia cuti dari padatnya jadwal pekerjaan sebagai psikolog serta presenter radio dan televisi.
”Saya sangat ingin menjadi arsitek, tetapi enggak kesampaian. Dua tahun berturut-turut nyoba kuliah arsitektur, malah diterima di psikologi,” ujar Alex.
Berbekal pengetahuan arsitektur yang dibacanya dari buku, Alex membangun sendiri rumahnya. Ia memulainya dengan belajar teknik fondasi dari pamannya yang insinyur teknik sipil. Alex mengadopsi rumah ilalang dari konsep lumbung jineng di Bali. Tujuh tahun menghabiskan masa kecil di Bali, Alex sering melihat kebiasaan orang Bali yang menyimpan padi di atas lumbung dan membuat balai-balai tempat istirahat di bawahnya.
Agar lumbung jineng yang dibangunnya bisa kuat untuk bangunan dua lantai, Alex memperkuat fondasi rumah dengan campuran bahan yang tepat. Sebelum rumah didirikan, Alex menyuntik tanah dengan formula antirayap.
Kayu kelapa didatangkan langsung dari Minahasa, Sulawesi Utara. Agar bertahan hingga lebih dari 25 tahun, kayu kelapa harus benar-benar kering. Alex mengaku jatuh cinta dengan tekstur pohon kelapa. ”Saya pengin punya rumah yang tidak dibatasi tembok, tetapi pohon, pengin menyatu dengan alam,” kata Alex.
Hutan kecil
Agar lebih menyatu dengan alam, Alex membuat kamar mandi tanpa atap yang lebih mirip taman. Dari sela-sela dinding bambu ia bisa memandangi sinar bulan sambil mendengar musik klasik.
Alex juga menciptakan hutan kecilnya sendiri. Dengan hiasan aneka macam pohon, Alex merasa setiap sudut halaman menjadi bagian dari rumahnya. Di kursi panjang di bawah pohon sawo atau di samping rumpun bambu, ia biasa tiduran sambil membaca atau mengetik.
Colokan listrik bertebaran di setiap sudut halaman sehingga ia bisa mengetik di mana pun. Alex sudah meluncurkan empat buku karyanya. Ia kini berusaha menyelesaikan buku ke-5 berjudul Finding The Meaning yang sudah ditulis selama sembilan tahun dan seharusnya menjadi buku pertamanya.
Lorong-lorong angin di samping rumah sengaja dihadirkan sehingga terjadi percepatan angin. Udara menjadi semakin sejuk setelah debu-debunya disaring oleh rumpun bambu. Angin sepoi-sepoi itu pula yang menebarkan bau harum bunga sedap malam ke seluruh penjuru ruangan.
Kupu-kupu dan capung bebas beterbangan dan sesekali hinggap di atas bunga kecombrang yang diletakkan di dapur. Alex pun bisa berhenti sejenak dari hiruk pikuk dunia dan merenungi hidup sambil menyaksikan lotus yang bermekaran.
”Bukan masalah jumlah waktu, melainkan bagaimana kita menikmatinya. Rasanya seperti berhibernasi jika pulang ke rumah ini,” ujar Alex.