Indah Berkat Limbah
Ketika kita mengolah limbah polutan menjadi sesuatu yang bernilai, boleh jadi itu menjadi semacam upaya penebusan dosa kepada Ibu Bumi. Berawal dari keprihatinan akan limbah plastik, sebagian penggelut kriya mengalihrupakan limbah menjadi barang-barang indah yang diberkati.
Gelang hitam dan lentur itu terbuat dari limbah ban dalam kendaraan. Permukaannya dipenuhi motif bunga delapan kelopak dan melingkar di tangan dengan kancing embos. Gelang lainnya bermotif garis-garis atau perpaduan segitiga dan trapesium.
Limbah ban dalam juga dijadikan kalung. Ada yang bermotif daun atau tiga belah ketupat dalam susunan heksagonal. Selain itu, juga dijadikan dompet, tas, dan sabuk. Ada tas yang dibuat dari bahan perpaduan limbah ban dalam dan bekas tenda regu dari kain pylamin.
Semua produk dibuat dengan tangan atau sedikit bantuan mesin terutama mesin jahit untuk produk tas, dompet, dan sabuk. Tangan-tangan terampil itu anggota Komunitas Kreatif Tanam untuk Kehidupan (TUK) di Salatiga, Jawa Tengah. Di dalam kelompok ada Sapu Upcycle yang merupakan unit khusus industri kreatif yang fokus pada pengolahan limbah menjadi produk komersial. Mereka rata-rata pemuda pemudi berketerampilan seni yang sekaligus peduli kelestarian lingkungan.
Pendiri Sapu Upcycle, Sindhu Prasastyo, saat pergelaran Inacraft di Jakarta, akhir April 2018, mengatakan, produk komersial dari limbah itu merupakan sarana kampanye pelestarian lingkungan. ”Kami memakai daya seni untuk membuat produk yang sekaligus media penyebaran pesan kepedulian terhadap lingkungan,” ujarnya.
Isu sampah dan tantangan pengelolaan memang menjadi perhatian mereka. Pengolahan sampah menjadi produk kreatif dan bernilai ekonomi sebenarnya sudah banyak dan lazim ditemui di Indonesia. Namun, yang membedakan antara satu kelompok dan lainnya jelas sisi kreatif dan inovasi. Sapu Upcyle memilih limbah ban dalam, drum, tenda, komponen elektronik, sabuk peti kemas, dan logam.
Dari limbah dibuatlah tas, dompet, sabuk, gelang, kalung, cincin, rumah lampu gantung, penanda tas, dan miniatur untuk pajangan. Kalung dan gelang dari ban dalam bekas, misalnya, dibuat dengan cetakan, pahatan, dan ukiran. Motif dibuat dengan detail dan ketekunan luar biasa. Satu gelang atau kalung bisa menghabiskan waktu berjam-jam agar produk terlihat elegan dan menarik.
Cincin dibuat dari perpaduan bahan serpihan logam dan komponen elektronik atau sirkuit telepon bekas. Mata cincin dibuat dari potongan komponen atau sirkuit, sementara wadah dan cincin dibuat dari logam bekas, yakni besi, baja, atau aluminium.
Semua limbah didapat dari pengepul sampah dan pemasok di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pengepul limbah di Jateng memasok ban bekas yang harus dipilah terlebih dahulu. Jatim memasok drum dan sabuk peti kemas. ”Kalau tenda tentara didapat dari markas-markas. Mereka biasanya menyumbang tenda-tenda yang sudah rusak. Bagian yang masih bagus kami ubah, terutama untuk tas,” kata Sindhu.
Untuk ”mengubah” limbah karet dan kain, mereka dibantu lima mesin jahit dan satu mesin kecil untuk memotong ban. Saat memulai usaha pada 2006, hanya seorang perajin yang dilibatkan. Namun, saat ini jumlah perajin sebanyak 14 orang, yang di antaranya anggota komunitas pelestari lingkungan hidup.
Produk mereka cukup dikenal di pasar domestik dan mancanegara. Promosi ditempuh dengan memakai media sosial, yakni Twitter, Instagram, dan Facebook serta berbagai pameran, baik di dalam maupun luar negeri, antara lain Singapura, Bangkok, dan London.
Untuk pasar domestik, mereka bekerja sama dengan sejumlah toko cendera mata di Bali dan Yogyakarta. Melalui sistem konsinyasi dengan penyalur mancanegara, komunitas mengirim produk mereka ke Perancis, Jerman, dan Inggris.
Harga produk mulai Rp 20.000 sampai Rp 2 juta. Yang termurah adalah gelang, kalung, atau cincin. Yang berharga tinggi adalah tas dengan kapasitas besar.
Plastik
Dukungan terhadap pelestarian lingkungan melalui pengolahan sampah atau limbah juga ditempuh Kreskros, komunitas dan unit usaha dari Ambarawa, Kabupaten Semarang. Mereka mewujudkannya dalam tas dari sampah plastik. Tas dipandang bukan sekadar aksesori atau wadah penyimpan barang, melainkan sikap para pembuatnya terhadap isu pelestarian lingkungan.
Di antara perajin Kreskros adalah Deasy Esterina yang juga pendiri komunitas pada 2014 itu. Kreskros memiliki delapan anggota yang seluruhnya adalah ibu rumah tangga. Oleh sebab itu, para anggota tidak dibebani jam kerja harian mutlak untuk merajut ataupun membuat tas-tas dari sampah plastik.
Produk komunitas masih terbatas pada tas. Ada tas jinjing, tas panggul, tas ransel, dan tas laptop. Tas-tas itu dibuat dengan teknik dirajut dan berbahan kantong keresek jenis high density polyethylene (HDPE) yang berwarna hitam dan putih. Plastik didapat dari pengepul di Ambarawa. Dari 100 kilogram plastik bisa dihasilkan 100-150 tas.
Setelah mendapatkan plastik, benda itu dibersihkan terlebih dahulu. Selanjutnya, plastik dipotong memanjang dan dipilin untuk menghasilkan benang. Selanjutnya, benang dirajut dan direnda. Ada juga bahan lain yang terkadang digunakan, yakni kain katun organik atau kulit agar produk bisa lebih menarik, fleksibel, dan awet. Terkadang dalam membuat tas, mereka memakai teknik heat press sebagai variasi.
Edward S Ndoen, Co-founder Kreskros, mengatakan, dalam konsep bisnis mereka menyasar pasar anak muda yang gemar mengoleksi tas unik. Harga produk berkisar Rp 200.000-Rp 2 juta per tas. Selama ini mereka masih mengandalkan pameran atau festival untuk memasarkan produk. Mereka juga menggunakan media sosial untuk promosi.
Mengapa plastik? Alasan utamanya adalah keprihatinan terhadap penanganan limbah pabrik di Indonesia, khususnya di Ambarawa, yang banyak terdapat pabrik tekstil. Keberadaan pabrik secara otomatis menghasilkan limbah plastik yang melimpah. Di satu sisi, pabrik menempuh cara konservatif dalam penanganan limbahnya, yakni dibakar. Pembakaran dalam insinerator menghasilkan asap tebal berpolutan yang mencemari udara. Udara tercemar membahayakan makhluk hidup.
Untuk itu, membuat tas dari sampah plastik menunjukkan cara lain dalam penanganan limbah tersebut. ”Pesan soal menjaga lingkungan tidak hanya untuk pembeli, tetapi juga untuk kami. Di rumah, para perajin mulai menghemat menggunakan plastik kresek,” kata Edward.