Lika-liku Sang Penulis
Membuka jejaring dunia literasi di luar negeri tak semudah membalik telapak tangan. Para penulis yang memiliki kesempatan untuk lebih dulu membuka jaringan di luar negeri pun harus melewati lika-liku panjang. Sementara sebagian lainnya bahkan tak tahu harus memulai dari mana. Inilah pekerjaan rumah penting jika Indonesia ingin diperhitungkan di gelanggang literasi internasional.
Mengikuti jejak sedikit dari penulis Indonesia yang karyanya telah diterbitkan di luar negeri, penulis Intan Paramaditha turut menorehkan catatan penting dalam perjalanan literasi Indonesia di panggung internasional. Hak cipta dua buku fiksi karya Intan, Apple and Knife dan Gentayangan: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu, dibeli oleh Harvill Secker, salah satu penerbit buku pada grup Penguin Random House yang berpengaruh di Inggris. Dua buku itu akan diterbitkan di Inggris dan sejumlah negara.
Berita gembira itu menjadi salah satu agenda di ajang London Book Fair (LBF) 2018, April lalu. Editor Harvill Secker, Ellie Steel, dan Kelly Falconer dari Asia Literary Agency, yang merupakan agen sastra Intan, hadir di stan Indonesia di LBF untuk mencatatkan kerja sama tersebut. Sayang, Intan tak hadir di sana.
Melalui surat elektronik, Intan menuturkan, di balik keberhasilan itu, ada perjuangan yang harus dilalui. Intan, yang kini berdomisili sebagai dosen di Australia, merintis jalan itu sejak tiga tahun lalu. Intan bercerita, jejaring yang ia peroleh berawal dari keterlibatan Stephen J Epstein. Ia adalah associate professor di Victoria University di Wellington, Selandia Baru. Stephen juga Director of the Asian Studies Programme di universitas itu, sekaligus Presiden New Zealand Asian Studies Society.
”Semuanya berawal dari proyek kecil-kecilan. Stephen J Epstein berniat menerjemahkan satu kumpulan cerpen saya pada tahun 2015. Sebelumnya, dia sudah menerjemahkan empat cerpen sebagai sampel untuk
Frankfurt Book Fair, bagian dari proyek ’buku mini’ BTW Books Lontar Foundation, empat cerpen, tiga bahasa (Indonesia, Inggris, Jerman),” papar Intan.
Intan dan Stephen lalu melanjutkan kolaborasi di proyek Apple and Knife yang mencakup cerpen Sihir Perempuan (2005), Kumpulan Budak Setan (2010), dan satu cerpen baru yang belum terbit dalam bahasa Indonesia. Setelah penerjemahan selesai pada akhir 2016, keduanya sepakat mencari penerbit Australia. Pertimbangannya, Intan tinggal di Australia dan Stephen di Selandia Baru.
”Stephen menawarkan Apple and Knife ke beberapa penerbit. Ada yang menolak, ada yang tidak merespons,” kata Intan.
Sejak proyek itu dimulai, banyak orang berkata jarang ada penerbit yang mau menerbitkan kumpulan cerpen. Penerbitan karya sastra terjemahan juga tak banyak. Di Amerika Serikat, misalnya, hanya sekitar 3 persen. Kondisi ini sedikit banyak jadi kendala, apalagi Intan juga tidak diwakili oleh agen saat itu.
”Aneh jika saya harus merasa inferior karena medium. Menurut saya, cerpen, puisi, drama, dan novel punya nilai sama. Tapi, memang kenyataannya, ada rezim novel di dunia perbukuan global. Menyebalkan. Tapi ini membuat saya tak terlalu peduli pada soal di mana menerbitkan (buku) ataupun besar-kecilnya publik. Yang penting penerbit menyukai karya itu dan punya komitmen memperjuangkannya meski peredarannya tak terlalu luas,” kata Intan.
Setelah beberapa bulan mencari tanpa hasil, April 2017, Intan dan Stephen akhirnya menemukan Brow Books, divisi penerbitan buku dari majalah sastra The Lifted Brow di Melbourne yang tertarik pada Apple and Knife. Dari Melbourne, buku Intan berpindah jalur ke Inggris setelah Intan berjumpa dengan Kelly pada Oktober 2017 saat peluncuran Gentayangan di Ubud Writers & Readers Festival, Bali.
Kelly kemudian menjadi agen sastra Intan selang dua bulan sejak pertemuan mereka, awal 2018. Ia menawarkan Apple and Knife dan Gentayangan ke beberapa penerbit. Dari situ mereka sepakat bekerja sama dengan Ellie. Brow Books pun menjual hak penerbitan Apple and Knife kepada Harvill Secker untuk wilayah Inggris dan wilayah Commonwealth untuk diterbitkan Desember 2018. Adapun Gentayangan akan diterbitkan di Inggris dan Commonwealth, tahun 2020.
Menurut Ellie, salah satu alasan ketertarikan Hervill Secker pada karya Intan adalah karena ceritanya yang sangat menarik.
”Ada isu universal di mana setiap orang di seluruh dunia bisa terhubung. Intan mengangkat isu itu dari sudut pandangyang sangat menarik. Jadi, ini bagus, ada penulis baru di dunia internasional yang masih segar, tapi mengusung isu familier di dunia sehingga semua orang bisa terhubung. Ini adalah magic mix yang kami cari dari para penulis,” papar Ellie.
Belum lazim
Jalan Intan ke panggung internasional bisa jadi sudah terbuka. Namun, di Tanah Air, masih banyak penulis yang ingin membuka jaringan internasional, tetapi tak tahu harus mulai dari mana.
”Aku tentu akan senang kalau karyaku diterbitkan di luar negeri. Tapi, aku tak tahu harus memulai dari mana,” ujar Dewi Ria Utari, penulis buku Rumah Hujan, The Swan, dan Kekasih Marionette.
Begitu pun dengan Ni Made Purnamasari, peserta program Residensi Penulis Komite Buku Nasional (KBN) yang tahun lalu mengikuti residensi ke Melbourne, Australia. KBN adalah lembaga di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
”Selama ini saya tak banyak tahu seperti apa tahapan dan peluang untuk menerbitkan buku di luar dan kebanyakan penulis Indonesia pasti begitu. Sangat sedikit akses yang bisa didapat, bahkan untuk sekadar tahu jalur atau cara menawarkan buku kepada penerbit luar. Kesadaran untuk menerjemahkan juga belum intens,” ujar Purnama.
Program residensi, ujar Purnama, cukup membantu karena memungkinkan peserta mendapatkan akses penerbit dan membuka pandangan bahwa alih bahasa atas karya sastra penting dilakukan bagi penulis era kini agar sastra Indonesia bisa dibaca lebih luas. Namun, kembali lagi, semua sangat bergantung pada upaya dan inisiatif setiap penulis.
Di luar negeri, penulis lazim memiliki agen sastra. Namun, tidak di Indonesia. Masih banyak penulis yang menggantungkan harapan kepada penerbit mereka, begitu pula dengan keberadaan agen yang memang belum lazim.
Thomas Atasana dari Borobudur Agency menuturkan, di Indonesia ada agen, tetapi lebih banyak menjual hak cipta karya dari luar ke dalam negeri. Semacam perantara untuk penerbit luar negeri yang menjual hak cipta karya ke Indonesia.
”Kalau sifatnya solo belum ada, baru Borobudur. Beberapa penerbit punya orang yang melakukan fungsi agen. Tapi, kebanyakan penerbit memang baru (pengalamannya) kalau berjualan, lebih banyak membeli (dari luar negeri),” kata Thomas.
Penerbit di dalam negeri kadang tak terlalu peduli dengan pasar luar negeri karena penjualan di dalam negeri umumnya sudah bagus. Pasar luar negeri dianggap belum jelas sehingga tak terlalu diperhitungkan.
Ruang dialog
Intan pun sebenarnya tak punya keinginan menjadi penulis laris. Dia hanya ingin karyanya dibaca publik yang tertarik pada sastra dan gagasan yang dia angkat. Terciptanya dialektika budaya lintas bangsa melalui karya fiksi baginya lebih menarik ketimbang sekadar kuantitas pemasaran.
”Memang tujuan utama saya menulis untuk orang Indonesia. Tapi, publik yang lebih luas, melampaui batas negara dan budaya, akan membuka ruang dialog yang mengasyikkan. Misalnya, dalam Apple and Knife, ada pengalaman lintas budaya yang bisa ditukar terkait resistensi perempuan terhadap lingkungan yang membatasinya. Beberapa kalangan melihatnya relevan dalam konteks gerakan perempuan global saat ini, seperti Women’s March dan #MeToo,” katanya.
Menurut Intan, untuk membuka jaringan, hal yang pertama harus menjadi perhatian penerbit dan penulis adalah karya.
”Hasilkan karya yang baik, yang disunting oleh editor yang baik, setelah itu upayakan penerjemahan yang baik pula. Penulis juga bisa memulai dengan jaringan-jaringan kecil. Ini yang saya tahu dan lakukan. Mungkin penulis di Indonesia bisa memanfaatkan festival sastra di Indonesia dan Asia Tenggara, seperti UWRF, Makassar International Writers Festival, atau
George Town Literary Festival di Penang,” kata Intan.
Memang tak harus selalu memiliki agen seperti dirinya. Karena, menurut Intan, meski penerbit-penerbit besar internasional seperti Hachette, Macmillan, Penguin Random House, HarperCollins, Simon & Schuster biasanya hanya menerima manuskrip yang diwakili oleh agen, banyak penerbit independen yang mencari penulis-penulis baru tanpa mediasi agen. Karya-karya yang mereka terbitkan sering kali lebih menarik dan berani. Di Australia pun banyak penulis tak punya agen.
Intan melihat, iklim saat ini sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan saat dia mulai menulis dulu. Sekarang, KBN punya program residensi di dalam dan luar negeri. Ini bisa dimanfaatkan penulis untuk membangun jaringan.
”Dulu, program semacam ini tidak ada. Program pembiayaan penerjemahan juga tersedia. Kalau Kemdikbud dan Badan Ekonomi Kreatif ingin mendukung secara maksimal, mereka perlu lebih memahami dunia perbukuan global, bersikap fleksibel, dan memotong jalur-jalur birokrasi yang tak efektif,” kata Intan.
Hibah terjemahan
Program pembiayaan penerjemahan yang disebut Intan adalah LitRi, yaitu program penerjemahan untuk buku-buku yang diterbitkan dari bahasa Indonesia ke sejumlah bahasa asing. Program ini dikelola oleh KBN dengan tujuan mempromosikan buku-buku Indonesia di pentas dunia agar makin banyak buku penulis Indonesia diterjemahkan dalam berbagai bahasa asing, diterbitkan, serta didistribusikan secara luas.
”Untuk satu judul maksimal 7.000 dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 195 juta. Tahun ini sudah memasuki tahun ketiga,” tutur Anton Kurnia dari KBN. Sebagai bentuk sinergi dalam
Road To Market Focus LBF, tahun ini terjemahan diutamakan dalam bahasa Inggris agar bisa bisa ditampilkan di LBF 2019 di mana Indonesia menjadi market focus country.
Dukungan dan keterlibatan pemerintah seperti itu, menurut Kelly, sangat penting sebagaimana dilakukan Korea yang kini cukup diperhitungkan di panggung literasi internasional. ”Hibah akan membantu memotivasi para penulis karena meski dia bisa menjual buku best seller di Indonesia, di dunia internasional dia tetaplah seorang debutan dan harus berkompetisi di dunia internasional,” kata Kelly.
Bagi penulis, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah dengan tetap menulis, melakukan apa yang mereka sukai dengan benar, serta aktif mempromosikan diri di festival-festival literasi. ”Tak perlu menulis dalam cara tertentu untuk menarik perhatian. Jadilah penulis dengan karya yang otentik, true to yourself,” ujar Kelly.
Kelak, saat yang tepat akan tiba.