Si Kuning dari Gorontalo
Nasi kuning ini bukan sembarang nasi kuning. Di Gorontalo, nasi kuning tidak jarang disantap dengan kuah. Unik. Makanan ini menjadi salah satu menu paling populer yang bisa ditemui sejak pagi hingga tengah malam di sana.
Nasi kuning sebenarnya menu yang juga dikenal hampir di seluruh wilayah Tanah Air. Di Gorontalo, nasi kuning awalnya merupakan sajian pada ritual khusus, seperti tujuh bulanan bayi, ulang tahun, pembacaan doa sholawat, atau resepsi walimah.
”Nasi kuning melambangkan rasa syukur. Biasanya dalam sebuah acara, nasi ini disajikan dengan tiliaya atau campuran telur, santan, dan gula merah yang dikukus hingga mengental seperti puding cair,” kata Funco Tanipu, sosiolog dari Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo.
Mari cicipi beberapa nasi kuning yang cukup terkenal di Gorontalo. Nasi kuning dari Rumah Makan (RM) Bambang Biawu, misalnya, kami cicipi ketika berkunjung ke Pulau Saronde bersama rombongan Jelajah Cita Rasa Gorontalo. Nasi gurih ini disajikan bersama suwiran ikan cakalang, laksa masak kecap, dan sambal. Ini masih ditambah dengan kering kentang, yakni kentang yang diiris tipis bagai lidi lalu digoreng, serta taburan bawang goreng. Irisan mentimun yang menyertai memberikan rasa segar dan menyeimbangkan menu yang cukup berat ini. Nasi ini disantap saat sarapan di Pulau Saronde setelah sebelumnya jauh-jauh dibawa dari Kota Gorontalo.
Pengalaman berbeda ditemui ketika berkunjung ke RM Sabar Menanti dan RM Om Deno. Di sini, nasi kuning disandingkan dengan semacam sop yang kuah kaldunya berlimpah. Cara menyantapnya bebas, bisa dengan menuangkan kuah ke atas nasi kuning atau memakannya berselang-seling.
Lapis rasa
RM Sabar Menanti menempati bangunan berusia 130 tahun dengan fasad bangunan bercat kuning dan hijau. Tegel lamanya masih tetap dipertahankan. Bentuk bangunannya memanjang ke belakang yang berujung pada dapur. Kita bisa mengintip proses memasak nasi yang menggunakan dandang logam dan kayu bakar. Masakan ini menggunakan beragam rempah, antara lain kunyit, jahe, serai, dan lengkuas, juga daun pandan dan santan. Aroma sedap menguar dari aronan yang tengah diaduk.
Nasi kuning di sini terasa pulen dan gurih dengan lapis-lapis rasa rempah yang halus, tetapi cukup mengesankan. Di atas nasi ditaburkan abon tuna, irisan tipis telur dadar, dan bawang goreng. Sementara sopnya berisi telur rebus bulat, irisan daging ayam, dan soun atau sering disebut orang setempat laksa. Jika suka, bisa menambahkan kucuran jeruk nipis dan sambal cabai pedas ke dalam kuah yang membuat acara makan semakin bersemangat.
Rumah Makan Sabar Menanti yang lebih dikenal sebagai nasi kuning hola ini sudah mengarungi pasang surut selama 65 tahun. Liliana mewarisi usaha ini dari orangtuanya. Cik Lili, begitu ia disapa, menjalankan bisnis ini bersama sang suami. Rumah makan yang terletak di Jalan Sutoyo ini buka sejak pukul 07.00.
”Bagi masyarakat Gorontalo, awalnya sarapan yang praktis adalah makan bubur ayam, nasi kuning, atau bubur kacang hijau. Nasi kuning tentu paling mengenyangkan. Orang Gorontalo itu kalau soal makan yang penting banyak nasinya. Lauk bisa seadanya dan sayur jarang hadir. Kalaupun ada, pasti kangkung yang tersedia, karena stoknya banyak di danau. Jadi, semakin ke sini, nasi kuning yang lebih banyak dipilih,” kata Funco.
Sepanjang hari
Menu nasi kuning bisa dijumpai hampir di setiap ruas jalan di Kota Gorontalo, mulai dari penjual rumahan yang hanya bermodalkan meja dan kursi, bernaungkan pohon, hingga warung dan rumah makan mentereng. Tidak sedikit orang setempat yang memulai dan menutup hari dengan nasi kuning karena makanan ini bisa ditemui hampir 24 jam.
Usaha Nasi Kuning Tenga Malam atau Nasi Kuning Om Pecko yang dijalankan seorang pria yang dipanggil Om Pecko bersama ibunya melayani pesanan nasi kuning hingga dini hari secara daring. Ia mengantarkan nasi kuning langsung ke rumah-rumah pemesan hingga pukul 03.00.
Begitu fenomenalnya nasi kuning di Gorontalo, sampai-sampai dibahas khusus dalam Bincang Ringan Seputar Nasi Kuning Gorontalo oleh Omar Niode Foundation yang memberikan perhatian khusus pada kuliner Gorontalo. Pesertanya mulai dari akademisi, mahasiswa, hingga praktisi kuliner. Di dalamnya, antara lain, terungkap soal potensi ekonomi nasi kuning. Jika sedikitnya ada 50.000 orang dari total satu jutaan penduduk Gorontalo yang sarapan nasi kuning dengan harga rata-rata Rp 7.500 per porsi, dalam sebulan ada perputaran uang minimal Rp 7,5 miliar di provinsi itu hanya dari nasi kuning.
”Di Gorontalo, setiap ada usaha yang dipandang sukses, cepat untung, dan praktis, pasti akan diikuti banyak orang. Seperti bentor dulu, mulai dari puluhan hingga kini puluhan ribu unit di jalan. Begitu juga dengan nasi kuning,” kata Funco.
Jika masih ingin menyantap nasi kuning lain lagi, mari ke RM Om Deno. Menu di sini bahkan lebih ”berat” karena nasi kuning disajikan dengan sate atau sop kambing. Bagi yang tidak suka daging kambing, bisa menggantinya dengan daging sapi. Warung ini sudah ramai dikunjungi sejak pagi hari.
Di akhir pekan, agak sulit menemukan kursi kosong. Pengunjung tak segan-segan memesan sate kambing atau sop sumsum yang dinikmati dengan cara menyedot sumsum dari lubang-lubang tulang. Jangan sungkan untuk makan dengan tangan karena sulit untuk ”memereteli” daging yang menempel pada tulang hanya dengan sendok dan garpu.
Asap dari arang yang dinyalakan untuk membakar sate menyertai kehadiran pengunjung masuk ke ruang dalam. Bangunan rumah makan yang berlokasi di Jalan P Diponegoro, Kota Gorontalo, ini rumah tinggal dengan sekat-sekat ruang yang masih dipertahankan.
”Nasi kuning dengan kuah sebenarnya tidak banyak. Kira-kira ada empat di Kota Gorontalo. Ini pengembangan dari nasi kuning yang ada,” ucap Funco.
Nasi kuning gorontalo mirip dengan nasi kuning manado. Tidak heran, karena wilayah ini berdampingan. Bedanya, nasi
kuning gorontalo biasanya dibungkus dengan daun pisang, sedangkan nasi kuning manado dibungkus dengan daun woka atau daun nira muda. Dalam perkembangannya, beragam material pembungkus digunakan.
Jadi, mau mencicipi yang mana, nasi kuning dengan kuah atau tanpa kuah?