Apa yang terjadi ketika populasi, teknologi, dan ekonomi dunia mencapai titik kritis dan mulai runtuh? Barangkali yang tersisa hanya jejak bahwa manusia pernah menjadi penghuni paling estetik dan rakus di sebuah planet melayang bernama Bumi. Sambil merenungkan berbagai jawaban, Anda boleh berjalan di Harbour Arts Sculpture Park, Hong Kong.
Pertanyaan eksistensial itu bermula dari karya seniman Hong Kong, Matthew Tsang Man Fu, bertajuk ”Before Collapse”, yang seolah menyaingi cakrawala gedung-gedung pencakar langit Hong Kong. Karya ini ”hanya” berwujud sepasang kaki besar dalam ukuran tak sama lantaran keropos. Sepasang kaki itu mengenakan sandal jepit sebagai simbol kedekatan dengan tanah yang dipijaknya. Tak perlu khawatir menangkap pesan dari patung fenomenal ini. Anda cukup buka aplikasi Harbour Arts Sculpture Park dan seorang pemandu virtual akan bercerita mengenai taman ini.
Pada awalnya, kata sang pemandu, kaki manusia adalah sugestif tentang kemanusiaan, tetapi dalam keadaan yang berubah, mereka adalah tanda-tanda kerapuhan, melankolis, ketidakhadiran, dan kehilangan. Patung kaki terbuat dari karbon, sebuah media yang mewakili keadaan fisik antara kayu padat dan abu. Karbon, tambah dia, menjadi material paling penting dari semua bentuk kehidupan.
Matthew sesungguhnya sedang berbicara tentang material dasar yang menyusun fisik makhluk hidup yang ada di bumi. Taman di tepi Teluk Victoria Hong Kong yang dibuka tahun 2011 itu dihuni oleh berbagai ”makhluk”, dari rumput, bunga-bunga, pohon, kupu-kupu, capung, burungburung, serta puluhan sosok patung. Tentu saja kemudian para pengunjung bernama manusia yang secara bebas bisa mengakses karya seni dari para seniman berkaliber dunia.
Sebenarnya pada titik awal, jika kita berjalan dari trotoar di Victoria Harbour, ada karya bertajuk ”The HK Eye” yang didesain oleh Sin Koren Chi-kei, Leung Siu-lun, dan Kan-lo. Karya berbahan stainless steel ini memberi keleluasaan kepada Anda untuk menyaksikan cakrawala Hong Kong. Anda bisa melongokkan kepala ke dalam sebuah lubang di tengah-tengah karya, lalu pandanglah Hong Kong. Anda akan menyaksikan Hong Kong dengan gedung-gedung tinggi dan membayangkan kepadatan populasi penduduknya dan pencapaian ekonominya yang makmur. Hanya dari sebuah mata, Anda diajak untuk memahami lanskap sebuah negeri yang sesungguhnya diam-diam menyimpan kerapuhan.
Lalu seniman Inggris, Mark Wallinger, mencoba menempatkan ”White Horse” di tengah taman. Kelihatannya seekor kuda putih yang jinak, teman anak-anak bermain di tepi teluk dengan angin yang halus di musim panas, akhir Maret 2018. Karya ini cukup menghibur seolah melengkapi kehijauan taman di ujung kota.
”Taman ini dibangun untuk mengakomodasi kebutuhan publik akan ruang terbuka,” ujar Senior Manager Hong Kong Tourism Board Amy Lam. Taman patung yang berlokasi di Central and Western District Promenade Hong Kong ini mencoba mentransformasi kesan pelabuhan yang sumpek menjadi destinasi yang lebih ramah, indah, dan lapang.
Kerinduan
Sidney Luk dari Hong Kong Tourism Board, yang memandu rombongan jurnalis dan seniman dari Indonesia, mengatakan, sebagai negeri kecil, Hong Kong selalu berusaha menghadirkan ruang terbuka. Ruang-ruang di atas tanah sangat dibutuhkan untuk menyelaraskan kehidupan bertumpuk di Hong Kong. ”Lantaran kontur tanahnya yang berbukit dan sempit, kehidupan di sini bertumpuk-tumpuk menuju langit. Maka, kita perlu menginjak tanah,” katanya.
Taman hijau dengan warnawarni bunga ini menjadi penting keberadaannya. Tidak saja sebagai wahana rekreasi untuk melapangkan pikiran yang sumpek, tetapi juga menjadi media berpikir yang mewadahi ide-ide kreatif. ”Oleh sebab itu disebut sculpture park,” kata Amy Lam. Ia yakin lewat seni yang semakin mudah diakses oleh semua orang, kerinduan orang Hong Kong akan keindahan peradaban semakin hari semakin terobati.
Karya yang sangat populer adalah ”Pumpkin: big” dari Yayoi Kusama (Jepang). Karya ini sangat ikonik, bahkan seolah menjadi identik dengan Harbour Arts Sculpture Park. Hampir semua pengunjung taman tak akan melewatkan kesempatan berswafoto di sekitar patung labu berwarna oranye ini.
Di masa remaja, begitu kata pemandu virtual itu lagi di telinga saya, Kusama pernah mengalami mual-mual saat mengonsumsi labu. Hebatnya, justru karena itu ia tidak pernah melupakan bentuk tidak beraturan dari labu. Kusama kemudian menggabungkan bentuk organik labu dengan bahan hasil proses produksi kimiawi. Ia mempresentasikan patungnya dengan pola psikedelik mutan, dasar oranye bertotol-totol hitam. Itulah yang membuat karya ini menjadi amat ikonik. Kata Kusama, ini menggambarkan sifat lentur dari alam ketika berhadapan dengan berbagai budaya modern. Labu akan tetap menjadi labu yang menemani hidup manusia dari zaman ke zaman dengan rasanya yang kadang memualkan perut.
Tak jauh dari karya-karya yang mengajak kita berpikir, kapal-kapal hilir-mudik melayari Teluk Victoria. Sementara di sisi luar dari terminal pelabuhan Victoria Harbour, sejumlah lelaki paruh baya sibuk memilah-milah koran yang akan dikirim ke berbagai distrik di Hong Kong.
Mungkin seperti itulah gambaran hidup kekinian dari sebuah taman kota. Hilir mudik pengunjung membawa pikiran iseng masing-masing. Pikiran-pikiran iseng itu kemudian melekat sebagai ingatan. Kau tahu, ingatan-ingatan itulah yang senantiasa menghampiri kita setiap hari lewat kabar yang disebarkan koran.