Kedai Koboi ”Charles Bronson”
Secangkir kopi tak hanya bisa menyetel ulang suasana hati, namun juga menjadi medium perjalanan lintas zaman. Pengalaman itu bisa terjadi di kedai Surya Indah Top. Seduhan kopi kentalnya memberi tendangan yang membikin kita terpental ke Indonesia ”tempo doeloe”. Masa ketika Charles Bronson pun diidolakan begitu rupa.
Kedai tua yang berusia lebih dari seabad itu tak asing lagi bagi kalangan pelintas di perbatasan Sumatera Utara dan Aceh. Bahkan bisa dibilang telah menjadi kedai kopi legendaris.
Berdiri sejak era perjuangan kemerdekaan, suasana dalam kedai masih sama seperti dulu. Potret-potret bergaya koboi terpajang di dinding kedai. Meja dan kursi kayu tua pun masih tegak di tempatnya.
Sesaat kami masih mengagumi pemandangan lawas di dalam kedai, Desember 2017 lalu. Seorang perempuan datang menyapa. ”Mau pilih yang mana, kopi rasa bobot, kopi rasa puas, atau kopi rasa tenang?” ujar Ny Sinulingga, istri pengelola kedai tersebut.
Bagi pendatang baru seperti kami, tiga pilihan menu itu tentulah membingungkan. Apa bedanya? Kami balik bertanya.
Rupanya perbedaan itu terletak pada takaran bubuk kopi. Para penggila minuman kopi kental biasanya memesan rasa berbobot. Disebut begitu karena 1,5 sendok penuh bubuk kopi diseduh dalam gelas kecil berkapasitas 150 miligram air. Cukup pekat, bukan?
Sementara kopi rasa puas untuk seduhan satu sendok bubuk kopi dan kopi rasa tenang cukup setengah sendok.
Jatuhnya pilihan biasanya memengaruhi perasaan orang yang minum. Seperti tersugesti saja. Setelah meminum kopi, rasanya seperti lebih berbobot alias lebih bersemangat dan bertenaga. Bisa jadi itu pengaruh dari kentalnya kopi. Bisa pula merasa puas atau tenang setelah menikmati kopi rasa puas dan kopi rasa tenang. Bergantung pada pilihannya.
Gelas kenangan
Menu kopi rasa berbobot, rasa puas, dan rasa tenang begitu melegenda di kawasan Tigabinanga. Sejak awal kemerdekaan, menu khas itu selalu ada. Bedanya, kini seduhan kopi tak lagi disajikan dalam cangkir keramik tua buatan Jepang sebagaimana awalnya. ”Gelas-gelas tua itu telah disimpan dalam lemari. Hanya dikeluarkan jika dipesan khusus,” kata Darul Kamal (45), generasi ketiga pengelola kedai.
Gelas yang digunakan kini berkaca bening. Menurut Darul, masih ada saja beberapa pelanggan lama yang meminta sajian kopi persis seperti dulu, dengan cangkir tua yang sama. Mereka rela membayar dengan harga lebih mahal Rp 3.000 per porsi demi sebuah kenangan.
Banyak pelanggan kembali karena terkenang nama kopi yang menarik dan rasanya yang pas. Sejak dulu, kopi yang mereka gunakan adalah kopi arabika Sidikalang atau arabika Karo.
Konsep kedai dan daftar menu diciptakan oleh ayahnya, Syamsul Bahri. Almarhum Syamsul terinspirasi dari kedai dan restoran yang ia kunjungi di Jakarta tahun 1970-an. Saat itu tengah populer menu-menu unik. Selain kopi, ada pula minuman cokelat. Ia memasukkannya ke daftar menu di Surya Indah, seperti minuman hangat cokelat susu holland, setrup susu dingin, susu mambo dingin, dan kopi susu coklat.
”Waktu itu ayah memang sudah menggunakan bubuk cokelat impor dari Belanda,” kata Darul sambil menunjukkan kaleng warna coklat tua merek Van Houten yang masih digunakan sampai sekarang. Isinya masih tetap cokelat Van Houten, namun kini versi produksi dalam negeri.
Persinggahan favorit
Surya Indah menjadi persinggahan favorit bagi para pelintas dalam perjalanan dari Medan menuju Aceh atau sebaliknya. Kedai itu berada di Jalan Besar Tigabinanga, Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo. Jaraknya 110 kilometer di barat daya Medan.
Memasuki kedai, waktu seolah berjalan mundur ke masa lampau. Duduk di kursi dan meja kayu yang sudah tua dengan pemandangan dinding-dinding kedai yang dipenuhi foto dan gambar dari zaman dulu. Dinding kayu dihiasi lukisan dua penari berpakaian Karo menari Perkolong-kolong sebagai sambutan selamat datang bagi pengunjung. Lukisan itu hasil karya almarhum Syamsul.
Ada pula sebuah papan peringatan yang masih menggunakan ejaan lama, ”Barang2 ketjil supaja diurus sendiri”. Semua itu menjadi penanda perjalanan panjang Surya Indah.
Kedai itu juga menyimpan sejarah perjuangan kemerdekaan. Kedai itu pertama kali dibangun pada 1911 oleh kakeknya, Rembak Malem Sebayang. Tempat itu awalnya tak semata kedai kopi, tetapi menjual beragam kebutuhan makanan sehari-hari, mulai dari beras, gula, bubuk kopi, dan teh.
Yang istimewa, kedai ini menjadi tempat para pejuang kemerdekaan berkumpul. Di sana mereka menyusun siasat melawan penjajah sembari ngopi. Bahkan, kedai pun jadi tempat berutang. ”Kakek juga sering memberi bantuan bahan pokok kepada para pejuang,” kata Darul.
Ketika Agresi Militer Belanda II tahun 1949, para pejuang membakar kedai-kedai dan rumah yang ada di pusat kota Tigabinanga, termasuk kedai milik Rembak. Bangunan-bangunan di pusat kota sengaja dibakar agar tidak bisa digunakan oleh tentara Belanda.
Kedai kopi pun tak beroperasi selama tiga tahun. Kedai baru kembali dibangun oleh ayah Darul tahun 1952. Kedai yang tampak sekarang adalah hasil pembangunan setelah pembakaran.
Charles Bronson
Hingga kini tak ada yang berubah dalam kedai, termasuk foto-foto dan lukisan yang memenuhi hampir seluruh bagian dinding kedai. Itu semua merupakan warisan dari sang ayah. Darul menceritakan, ayahnya pernah lama tinggal di Jakarta. Ia bekerja sebagai tukang foto keliling. Syamsul sangat mengidolakan aktor laga Charles Bronson yang pernah tampil sebagai koboi. Karena itu, ia pun gemar bergaya ala koboi. Selain itu, Syamsul pandai melukis. Hasil pengelanaannya di Jakarta turut dibawa serta ke tanah Karo.
Dalam kedai itu berjejer foto-foto hasil jepretan serta lukisan Syamsul, termasuk foto dirinya tengah bergaya ala Bronson: berkemeja dan rompi, topi koboi, serta berkumis tebal. Foto Syamsul ala Bronson yang terpampang besar-besar di dalam kedai hingga kini kerap mengecoh pengunjung. Mereka selalu mengira foto itu adalah wajah sang aktor. ”Padahal bukan. Itu almarhum ayah,” ujar Darul.
Tradisi ngopi memang sudah lama hidup di tengah masyarakat Karo. Sebelum berangkat ke ladang, sekitar pukul 05.00, warga Karo biasanya singgah ke kedai untuk minum segelas kopi atau kopi susu. ”Pengunjung juga bisa main catur seharian di kedai meski hanya memesan segelas kopi,” kata Darul.
Kedai tua itu bertahan meski zaman kian modern. Tradisi ngopi di kedai ”Charles Bronson” itu pun mengikuti zaman. Kedai tidak lagi buka pukul 05.00, tetapi sekitar pukul 07.00. Papan catur juga sudah tidak ada di sana. Namun, kedai kini menyediakan fasilitas Wi-Fi. Tak hanya orang tua, kini kedai pun ramai dikunjungi kalangan muda yang memesan minuman kopi sembari berselancar dengan gawainya.