Langgam Kreasi Alam
Dari sudut ruangan di lantai dasar Jakarta Convention Center, tempat pameran kerajinan tangan Inacraft 2018 diselenggarakan, ada satu stan unik dari suku Baduy. Meski kecil, namun ada kekayaan budaya luar biasa di dalamnya. Mereka memperlihatkan proses pembuatan kain tenun, tas, gelang, dan peralatan makan khas suku Baduy, Banten, yang semuanya dari bahan alam.
Asinah (29) saat itu sedang duduk di lantai. Di pangkuannya ada pakara tenun atau perlengkapan alat menenun. Ia adalah salah satu karyawan di Baduycraft, sebuah kelompok usaha kecil menengah dari Baduy Luar.
Pakara tenun memiliki beberapa komponen penting, seperti cangcangan atau sebilah kayu untuk memperkuat benang. Kayu ini juga menciptakan bunyi dan irama agar si petenun tidak bosan. Lalu ada taropong, tempat memasukkan benang yang terbuat dari bambu. Barera merupakan alat pemukul agar benang lebih rapat. Ada juga suri atau sisir, alat untuk membereskan benang yang sisir. Terakhir adalah jinjingan, alat untuk memisahkan benang sehingga mudah membuat pola.
Motif kain tenun Baduy sangat beragam. Namun, ada dua motif yang paling laris dibeli, yakni motif adu mancung dan motif suwat. Motif adu mancung merupakan bentuk segitiga seperti sedang beradu. Segitiganya bisa berbentuk segitiga sama sisi atau juga sama kaki.
Sementara motif suwat lebih ke garis kotak-kotak memanjang yang menempel satu sama lain. Ujung kain biasanya merupakan benang sisa yang dibiarkan menjuntai dan dipilin.
Pendiri Baduycraft bernama Narman Nasinah, pemuda Baduy Luar dari Kampung Marengo, Banten. Ia juga merupakan perajin dan pengepul produk masyarakat Baduy Luar, yang kemudian menjualnya kembali.
Narman menjelaskan, dahulu kala tenun suku Baduy hanya memiliki dua warna, yakni hitam dan putih. Namun, seiring perkembangan zaman, suku Baduy yang terkenal eksklusif mulai bermain warna.
Akhirnya, muncul warna-warna seperti biru, coklat, kuning gading, hitam, dan putih. Meskipun bereksplorasi dengan warna, mereka tetap bertahan menggunakan bahan alam.
Sumber alam
Di wilayah Baduy, menenun merupakan pekerjaan perempuan. Menenun diajarkan oleh ibu kepada anak perempuannya di tiap generasi. Jadi, semua perempuan asli Baduy pasti bisa menenun. Alam memberikan mereka semua bahan-bahan untuk menenun, mulai dari benang yang dibuat dari kapas sampai pewarna alami.
Sebagian besar warna berasal dari beberapa pohon yang tumbuh di sekitar kampung mereka, seperti mahoni (Swietenia mahagoni), pohon nangka, daun indigo atau indigofera yang disebut tarum oleh warga sekitar, juga pohon rengrang.
Proses pewarnaan meliputi beberapa tahap, seperti penumbukan, perebusan, hingga akhirnya dipilin menjadi benang. Dipadukan dengan warna yang menarik, produk syal, selendang, kain taplak, kain untuk pakaian, dan lain sebagainya menjadi elegan dan mulai digemari masyarakat luas.
Selain kain tenun, Baduycraft juga memproduksi dua jenis tas, yakni tas koja dan tas jarog. Terdapat kemiripan dari dua tas ini, yaitu sama-sama berjaring dan terbuat dari kulit kayu tanaman keras.
Namun, sebenarnya ada perbedaan mendasar dari kedua tas ini. Tas jarog biasa dipakai untuk ritual adat, misalnya untuk membawa seserahan, seperti sirih pinang. Adapun tas koja dipakai seperti biasa untuk membawa barang.
”Ada kepercayaan, kalau untuk ritual adat tidak boleh menggunakan tas koja, ada ceritanya juga dari tetua adat. Jadi, tidak sembarangan,” kata Narman.
Perbedaan mencolok yang bisa dilihat mata adalah pada pegangan tas. Tas jarog memiliki pegangan dengan banyak benang, sedangkan tas koja hanya satu benang pegangan yang merupakan pilinan atau rajutan dari beberapa benang.
Narman tidak sendirian. Usaha yang sudah dibangun sejak tiga tahun lalu itu saat ini sudah memiliki 25 karyawan dengan omzet Rp 15 juta hingga Rp 30 juta per bulan.
Kain tenun dijual sesuai ukurannya. Untuk kain ukuran 100 sentimeter (cm) x 200 cm, harganya Rp 450.000 per lembar. Syal berukuran 20 cm x 170 cm dijual Rp 75.000 per lembar. Adapun ikat kepala baik yang lebar ataupun kecil dihargai Rp 50.000. Harga tersebut termasuk murah untuk produk asli kerajinan tangan etnik.
Sementara harga tas juga bervariasi. Harga tas koja berkisar Rp 30.000 sampai Rp 250.000. Semakin besar ukurannya semakin mahal harganya. Kisaran harga yang sama juga dibanderol untuk tas jarog.
Sistem pemasaran Narman bertumpu pada penjualan daring. Sistem ini ia gunakan setelah mengenal internet tiga tahun lalu. Sebelumnya ia hanya menunggu pengunjung datang ke kampungnya dan membeli produknya.
Baduycraft memiliki situs khusus yang bernama sama untuk menjual produknya. Ia juga kerap diundang untuk pameran di beberapa tempat.
Ruaya
Ruaya, sebuah usaha rumahan asal Yogyakarta, juga menggunakan bahan alami dalam membuat produknya. Ruaya memproduksi speaker, tas tangan, dompet, tempat kartu nama, dan barang-barang lain yang semuanya terbuat dari kayu.
Dody Andri, pendiri Ruaya sekaligus perajin kayu otodidak ini, membuat kreasi menggunakan bahan baku yang diambil dari pohon mindi (Melia azedarach L) dan kayu sonokeling atau java palisander. Kayu yang disebut terakhir sudah jarang digunakan Dody karena sulit ditemukan.
Kayu mindi memang sangat cocok sebagai bahan dasar tas karena teksturnya yang lembut dan ringan, lebih ringan dibandingkan kayu sonokeling. Akan lebih sulit ketika tas sudah berat lalu ditambahi barang lagi, tentu pembeli akan berpikir dua kali sebelum membeli.
Kayu-kayu itu Dody dapat dari petani asal Bantul, DI Yogyakarta, tempat ia tinggal. Pria lulusan teknik sipil di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta ini juga dipengaruhi lingkungannya dalam berkreasi.
Produk tas dari Ruaya memang terlihat sangat halus dan rapi. Dody dan perajinnya sangat teliti hingga membuat desain elegan dengan sentuhan kulit untuk penutup tas atau hiasan lainnya.
Satu tas dengan ukuran besar bisa dikerjakan selama dua sampai tiga hari. Namun, ketika ada pameran atau pesanan, ia mampu membuat 70 sampai 100 tas per bulan.
Dody sampai saat ini sudah keliling di beberapa daerah untuk mengikuti pameran. Ia bahkan sudah pernah memamerkan produknya ke Manila, Filipina. Di sana, semua produk yang dia bawa ludes diborong saat pameran.
Dody bisa menghasilkan omzet hingga Rp 30 juta per bulan dengan biaya produksi tak sampai Rp 15 juta. Ia sudah memiliki empat karyawan atau perajin yang ia latih sendiri untuk membuat produknya.
”Ini hobi yang kemudian saya tekuni. Awalnya hanya speaker, tetapi karena responsnya besar, itu jadi tanggung jawab saya untuk memenuhi hingga akhirnya saya punya merek sendiri,” ungkap Dody.
Baik Baduycraft maupun Ruaya melihat peluang bisnis dengan memanfaatkan bahan-bahan alami. Dengan sentuhan dan kerja keras, barang-barang itu menjadi produk elegan bernilai tin