Membuka Cakrawala
Jika orangtua jungkir balik berusaha menumbuhkan minat anak terhadap buku. Bagaimana dengan pihak lainnya, seperti guru, perpustakaan, dan penerbit buku? Apa kiat mereka untuk mengajak anak tertarik membaca sekaligus membendung penurunan minat membeli buku?
Satu jam menjelang tengah malam, pengunjung masih mengerumuni bertumpuk-tumpuk buku. Saat itu, hari terakhir pameran Big Bad Wolf yang akan berakhir tepat tengah malam di awal April lalu. Pameran ini menyajikan buku-buku impor dan sedikit buku terbitan lokal dengan potongan harga menggiurkan. Di antara pengunjung berjubel itu juga terselip anak-anak kecil.
Tahun ini, buku-buku anak yang dijual juga lebih banyak dan lebih variatif dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, seperti diamati Caecilia Rilis (39), pengunjung yang datang bersama putrinya, Kinanti (3). ”Hampir separuh venue isinya buku anak,” ujarnya.
Kinanti dengan suka ria memasukkan buku-buku yang disukainya ke dalam troli. Kebanyakan adalah buku aktivitas, seperti buku yang sepaket dengan pensil warna, stiker, berbahan spons, buku berikut puzzle, juga pop-up book. ”Dia mengambil buku Princess, Little Pony, Barbie, Dora, Frozen, buku-buku dengan karakter yang sering dia tonton,” kata Rilis.
Setelah Kinanti memilih buku yang diinginkan, giliran Rilis menyortir buku-buku itu, sesuai usia, isi, dan manfaatnya. Dia menambahkan buku-buku cerita klasik, seperti karya Enid Blyton, untuk bacaan ketika anaknya lebih besar. Keduanya pulang membawa 40 judul buku, 14 judul di antaranya untuk Kinanti.
Di Indonesia, keputusan memilih dan membeli buku masih ditentukan oleh orangtua, terutama ibu sebagai pemegang keuangan keluarga, seperti diungkapkan Benny Rhamdani, Manajer Redaksi Buku Anak dan Remaja Mizan Pustaka. ”Penjualan buku anak masih naik, tetapi kecil sekali, tidak setinggi tahun 2000-an yang mencapai 10 persen,” ujarnya.
Bagi penerbit, buku anak termasuk bisnis yang bagus karena isinya tidak basi sehingga selalu bisa dijual kapan pun. Untuk mengikuti perkembangan zaman, pihaknya memperkaya buku dengan teknologi augmented reality (realitas tertambah) dan pena elektronik bluetooth untuk menambah materi animasi atau video. ”Ke depan, kami akan tambahkan juga dengan virtual reality. Namun, sejauh ini, penjualan buku yang diperkaya ini biasa saja. Begitu juga dengan buku elektronik atau e-book anak, orang belum terlalu berminat. Tidak seperti e-book dewasa yang peningkatannya signifikan,” kata Benny.
Pihaknya juga menggelar kunjungan ke sekolah-sekolah. Selain untuk merekrut calon penulis anak, juga untuk promosi buku. Ada pula Konferensi Penulis Cilik Indonesia yang digelar setahun sekali. Salah satu seri yang dikeluarkan Mizan adalah Kecil-kecil Punya Karya (KKPK) yang ditulis oleh anak-anak kelas I-VI SD. Setiap bulan, Mizan menerbitkan 4-6 judul buku KKPK. ”Naskah yang masuk lebih banyak, bisa antre setahun. Sayang ruang display di toko buku terbatas,” kata Benny.
Buku elektronik
Penerbit Gramedia Pustaka Utama juga memanfaatkan teknologi augmented reality untuk buku mewarnai bergambar hewan-hewan dinosaurus yang sangat digemari anak-anak. Setelah gambar diwarnai, anak dengan bantuan dan gawai milik orang tuanya bisa mengambil foto dan memindai kode QR (kode batang) yang ada di lembaran kertas mewarnai tadi. Dengan aplikasi khusus yang telah diunduh, anak bisa menyaksikan gambar dinosaurus tadi tampil sebagai gambar tiga dimensi dengan warna-warna yang mereka goreskan. Gambar dinosaurus yang sudah diwarnai juga bisa menjadi karakter dalam permainan (gim) sederhana, yang juga tersedia di aplikasi.
”Cara interaktif ini sudah kami kami terapkan di dua judul buku mewarnai sejak setahun lalu, bekerja sama dengan perusahaan aplikasi asal Korea Selatan. Sasarannya untuk anak-anak usia lima tahun ke atas,” kata Nina Andiana, editor Penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU).
Uniknya, peminat buku ini terbilang biasa saja, jika mengingat anak-anak sekarang yang terbiasa dengan gawai. Demikian pula dengan e-book.Jumlah penjualan e-book masih jauh lebih kecil ketimbang buku konvensional.
Setiap tahun, GPU menerbitkan 150-200 judul buku anak, sekitar 30 persen di antaranya karya penulis lokal, sisanya terjemahan. Rentang usia buku yang diterbitkan antara 3-12 tahun sementara untuk jenis buku anak yang paling banyak penjualannya di kisaran usia 5-10 tahun.
Perubahan kebiasaan
Pemimpin Redaksi Grup Majalah Kompas Gramedia Lucia Triundari menengarai adanya perubahan kebiasaan membaca. Sebelum era internet dan gawai, untuk keperluan tugas sekolah, anak akan mencarinya dari bahan tertulis, seperti majalah, koran, dan buku. Ini membutuhkan proses membaca. Sekarang mereka mencarinya dari internet. Dengan bantuan mesin pencari, hasil pencarian dengan cepat tersaji. Sering kali bahan yang ditemukan tidak dibaca seksama, hanya sekadar disalin.
”Membaca, kan, tidak instan, harus ada proses. Ini yang membentuk kebiasaan membaca. Jika anak belum terbentuk kebiasaan membacanya, tetapi langsung terpapar gawai, akibatnya anak tidak terbiasa membaca,” kata Lucia. Diakui Lucia, dalam dua- tiga tahun terakhir terjadi penurunan oplah majalah Bobo sekitar 5 persen. Padahal, oplah Bobo di Belanda (pemegang lisensi) yang tidak terpengaruh perkembangan teknologi digital dan gawai.
”Di sana budaya membacanya sangat kuat, selain ada proteksi dari orangtua dan pemerintah. Anak-anak diperkenalkan dengan gawai dan manfaatnya, tetapi tidak diizinkan menggunakannya untuk sehari-hari. Anak-anak usia SD harus membaca buku dan tidak boleh memiliki gawai,” kata Lucia.
Untuk mendorong minat baca, pihaknya kemudian menggelar lomba, seperti Jurnalis Muda dan Bobo Friends’ Story. Pihaknya juga mengembangkan situs Bobo.id selain program Bobo Goes to School berupa pelatihan menulis untuk guru. Pihaknya juga terbuka untuk kunjungan guru dan murid. ”Kalau berkunjung, anak-anak kami beri aneka majalah. Saat itu, mereka suka dan berminat, tetapi apakah di rumah mereka membaca setiap hari?” kata Lucia.
Peran orangtua tampaknya memang menjadi penentu minat baca anak, seperti dialami Heru Permadi. Ia kerap meminta anaknya membaca. Suatu saat anak bungsunya yang duduk di kelas II SD Ilman Mufid, ”mengkritik” karena jarang melihat ayahnya membaca. Untuk menghadirkan atmosfer membaca, ia kemudian rutin membawa kedua anaknya ke Rimba Baca, perpustakaan kecil yang dikelola swasta di Fatmawati, Jakarta Selatan.
Perpustakaan ini nyaman, luas, dan berpenyejuk udara. Pengunjungnya pun kerasan. Di situ, Ilman bisa asyik bermain sambil membaca buku cerita. Perpustakaan Rimba Baca memiliki koleksi buku cukup banyak, baik yang berbahasa Indonesia maupun asing. Menurut Dewi, salah seorang pengelola, saat ini terdapat sedikitnya 1.000 koleksi buku untuk anak, terbagi dalam kategori 0-3 tahun, 4-8 tahun, dan 9-12 tahun.
Peran guru
Doktor Sastra Anak dari Universitas Indonesia Murti Bunanta meyakini, buku konvensional tidak akan mati. ”Secara kuantitas sudah cukup banyak. Hanya saja dari segi kualitas masih harus ditingkatkan,” kata Murti.
Ia menunjuk pada segi isi, bahasa, ilustrasi, penyajian, separasi warna, hingga judul. Selain itu, ada banyak tema-tema terkini yang belum digarap. Misalnya, soal narkoba, anak yang harus berpindah karena bencana, perang, konflik agama, atau anak yang ibu bapaknya bercerai atau dipenjara. Belum lagi isu korupsi, lingkungan, dan pemanasan global. Tentu saja semua bisa disesuaikan dengan usia anak.
”Ada realitas yang tidak digarap. Tema-tema yang muncul lebih banyak mengulang, tentang pengajaran agama atau cerita rakyat yang itu-itu saja. Dari dulu Bawang Merah Bawang Putih atau Malin Kundang. Padahal, masih banyak lagi cerita rakyat lainnya,” kata Murti.
Murti mengapresiasi program Membaca 15 Menit. Namun, ia berharap program ini tidak sekadar formalitas dan harus dikonsep lebih baik. Guru perlu memegang peranan penting. ”Saat membaca, gurunya ke mana. Bukunya dipilihkan atau tidak. Apakah setelah itu, buku boleh dibawa pulang dan anak diminta melanjutkan membaca. Kalau tidak, dalam 15 menit mungkin hanya habis untuk membolak-balik buku saja,” kata Murti.
Sayangnya, menurut Murti, hingga kini Ilmu Sastra Anak sebagai bekal guru meningkatkan minat baca anak, belum diakomodasi dalam kurikulum institusi pendidikan guru. Padahal, dengan ilmu itu, guru akan paham cara memanfaatkan buku dengan efektif, misalnya, diulas, dianalisis, ditulis kembali, didiskusikan, dijadikan pertunjukan sandiwara, dikembangkan untuk bermain peran, animasi, dan dikaitkan dengan ilmu lainnya.
Begitulah, banyak pihak bertanggung jawab atas kapasitas membaca anak-anak. Mulai dari orangtua, pendidik, masyarakat, hingga pemerintah.
(FRANSISCA ROMANA NINIK/ WISNU DEWABRATA/ SRI REJEKI)