Kedai Para Perintis
Meja di salah satu sudut ruangan penuh terisi. Papan tulis putih pun dipenuhi coretan angka-angka. Agenda merintis bisnis bagi anak-anak muda tengah berlangsung di Korintji Heritage, Kota Sungai Penuh, Jambi, Januari 2018.
Salah seorang pengelola tempat tersebut, Musnardi Moenir, bertugas sebagai mentor. Sementara pesertanya adalah para petani yang ingin membangun usaha baru, Salah satunya Ricky Arfani (30), yang tengah merintis usaha pengolahan kulit kayu manis (Cassiavera). Ada pula sejumlah pemula wirausaha kentang dan kopi. Semuanya telah siap belajar dan berbagi pengalaman.
Mereka pun membahas macam-macam, dimulai dari besarnya keuntungan mengolah hasil panen menjadi produk
siap olah. Musnardi Moenir mencontohkan, sebatang kulit kayu manis dapat bernilai jual tinggi jika diolah lebih lanjut. Ternyata, katanya, Cassiavera dapat diolah menjadi bermacam-macam, sebut saja stik cinnamon, bubuk (cinnamon powder), dan sirop.
Bubuk cinnamon kerap digunakan di dapur sebagai bahan penambah aroma dan cita rasa pada masakan. Stik dan siropnya diseduh untuk minuman hangat.
Jika dijual hanya dalam bentuk batangan kulit, kata Musnardi Moenir, harganya tidaklah kompetitif. Karena penghasilannya rendah, petani akan bergantung pada tengkulak. Ketika dibeli langsung di kebun, tak jarang harga kulit kayu manis dipatok jauh di bawah harga pasaran. Karena itu, lanjutnya, perlu ada terobosan untuk menciptakan nilai tambah komoditas itu.
Mereka pun melanjutkan diskusi. Selain membahas peluang usaha, diskusi menyasar hitung berhitung ongkos produksi hingga proyeksi pasar.
Kedai kopi
Korintji Heritage, yang dibangun pada Mei 2016, sebenarnya merupakan kedai kopi yang dilengkapi beragam jenis menu masakan dan minuman. Tak ingin sekadar menjadi kedai, Budi Isman, sang pemilik, membangunnya berkonsep kedai inkubator bagi calon wirausaha.
Maka, di Korintji Heritage, pengunjung tak sekadar dapat memesan makanan dan minuman sembari menikmati pemandangan Bukit Barisan yang menghampar di sekitar kedai. Di pojok-pojok ruangan kedai itu kerap pula menjadi tempat petani-petani muda berkumpul. Mereka berdiskusi dan berbagi pengalaman. Jika ingin mengadakan diskusi yang lebih serius, mereka dapat pindah ke sebuah ruangan di tengah kedai. Di situ ada fasilitas proyektornya.
”Prosesnya selalu dimulai dari yang sederhana, minum kopi sembari berdiskusi, hingga menggelar kelas-kelas khusus. Dari sini dapat lahir calon-calon wirausaha,” kata Budi. Petani pun semakin berdaya dan menghasilkan komoditas yang bernilai tambah. Ujung-ujungnya adalah tercapainya kesejahteraan.
Ricky adalah anak seorang petani kulit kayu manis. Selama ini penghidupan keluarganya pas- pasan dengan hanya mengandalkan penjualan hasil panen. Yang terjadi bahkan sering kali harga jual sangat rendah. Ia pun akhirnya menyadari, kalau petani mau berusaha lebih mengolah hasil panennya sendiri, banyak peluang bisa diraih. Sebatang kulit kayu manis bisa diolah, misalnya, menjadi sirop, stik, dan bubuk. Dari sebatang kulit kayu manis seharga Rp 60.000 per kilogram, jika diolah menjadi bubuk cinnamon, harganya akan menjadi Rp 250.000.
Melihat besarnya potensi kayu manis di wilayah Kerinci dan Sungai Penuh, Ricky pun tergerak. Ia rajin berkumpul di Korintji Heritage. Di sana ia kerap berjumpa dengan sesama wirausaha pemula. Sesekali mereka dipertemukan dengan pengusaha sukses. Ada kalanya pertemuan itu terjadwal sehingga kian ramai yang berkumpul. ”Manfaatnya besar. Lagi pula gratis,” katanya.
Ia pun sudah membuktikannya sendiri. Setelah kerap bergabung dengan komunitas wirausaha pemula, terbukalah ide untuk membuka usaha sendiri. Setiap kali ada kelas mentoring dibuka, ia ikuti. Beberapa kali kelas gratis itu menghadirkan pengusaha yang sudah mapan. Mereka saling berbagi pengalaman. Tak jarang mereka pun berbagi peluang pasar.
Ia akhirnya dapat memperluas jejaring. Soal perizinan usaha, Ricky pun dibantu oleh salah seorang rekan mengenai mekanismenya. ”Ternyata tidak sesulit yang dibayangkan asalkan mau memenuhi syarat-syarat untuk perizinannya,” katanya.
Sejumlah persoalan diselesaikan dari berkumpul bersama di kedai kopi itu. Menurut Ricky, usahanya jadi lebih lancar. Kendala-kendala teknis dengan cepat mendapatkan solusi, misalnya di mana bisa mendapatkan mesin penggiling atau wadah kemasan yang murah, tetapi berkualitas. Mereka juga membahas jalur ekspedisi yang paling direkomendasikan. Akhirnya, seluruh jalan menuju usaha baru pun terbuka. ”Hanya dalam enam bulan saya bisa mewujudkan usaha ini,” katanya.
Setelah mampu mengolah produk bubuk cinnamon, langkah berikutnya, Ricky dibantu membangun branding. Produk itu pun dinamai Kerinci Cinnamon Powder. Produk dikemas dalam sebuah botol kecil berkapasitas 100 gram. Produk itu kini telah mengisi gerai-gerai supermarket dan toko di Kota Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci, Kota Jambi, Kota Padang, dan sekitarnya. Tak jarang ada wisatawan atau peneliti dari luar negeri yang berkunjung ke kota itu, lalu tertarik membeli cinnamonnya dalam jumlah besar. ”Di luar negeri memang kayu manis sangat diminati sehingga pasarnya sangat terbuka di sana,” katanya.
Manfaat serupa didapatkan Suryono, petani hortikultura di Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Dari hasil sering berkumpul, usahanya kian melesat. Dari sebungkus kentang, setelah di- branding, harganya terangkat. ”Dikemas, lalu mendapatkan merek Kerinci Highland Potato,” ujarnya.
Suryono bertemu dengan Budi Isman, yang memiliki jejaring pasar luas. Budi lalu memperkenalkannya kepada Suryono. Salah satunya, Raja Farm, akhirnya berminat melihat langsung hasil kentang dari lahan Suryono di Kayu Aro. Dari situ, pesanan kentang bertambah pesat. Setiap bulan ekspornya mencapai 2 ton. Belum lagi penjualan lokal yang volumenya jauh lebih besar lagi. ”Setelah di-branding dan diperbaiki kualitasnya, harga kentangnya dihargai Rp 8.000 per kilogram, jauh lebih tinggi dari harga pasaran sekarang Rp 5.000,” katanya.
Salah satu gerakan bersama yang tumbuh dari hasil berkumpul di Korintji Heritage adalah produk kopi bermerek Kopi Alam Korintji. Sejak terbangunnya brand kopi arabika ini, semakin banyak petani terlibat. Mereka yang kini menjadi pemasok kopi belajar bareng mengolah biji kopi yang bermutu baik. Petani pun belajar memanen buah kopi yang benar. ”Yang dipanen tidak sekaligus dalam satu pohon habis buahnya, tetapi hanya dipilih yang warnanya merah saja. Itu berarti buah kopi telah matang,” ujarnya.
Dari pemberdayaan itu, kini 14 kelompok tani telah membentuk empat usaha pengolahan. Dari yang semula hanya mampu menjual buah kopi ke pasar, kini mereka bisa mengolah setidaknya sampah menjadi biji gabah.