Ladang Kemuliaan
Bagi sebagian orang, kini makan tak cuma sekadar enak dan kenyang. Makan dikategorisasi sebagai bagian utama dalam memperhatikan kesehatan dan kemuliaan. Oleh sebab itu, merunut asal-usul makanan menjadi penting. Sekelompok orang tak segan-segan menyusup ke perut desa, berbaur dengan suku-suku lokal, serta menikmati makanan di tempat asalnya.
Aku Cinta Makanan Indonesia, ACMI, bersama komunitas Pelangi Benua mengajak sejumlah eksekutif dari berbagai kota untuk menyusuri desa-desa di sekitar Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara, 10-12 Mei 2018. Sewaktu tiba di Desa Ngaon, Jumat (11/5/2018), tiba-tiba sejumlah peserta menjerit-jerit. Mereka menyaksikan padi ladang milik petani setempat, Rudi Basai (55), yang siap dipanen. ”Ahai padiiiii…” seru mereka.
Tentu saja jeritan itu sepintas seperti tidak masuk akal. Bagi kebanyakan orang, padi bukanlah tanaman yang asing di negeri di mana makanan utamanya adalah nasi. Namun, jeritan itu sesungguhnya meluncur dari kesadaran tentang ”penemuan” bahan pangan lokal, yang selama ini dikonsumsi masyarakat lokal.
”Saya jadi tahu bagaimana padi ladang itu tumbuh, dipanen, dan diolah menjadi nasi, dan itu sumber makanan pokok kita,” kata seorang peserta perjalanan kuliner ini. Tak berhenti di situ, menurut Tissa Aunila, salah seorang peserta, makanan menjadi unsur penting dalam mempelajari kebudayaan satu kelompok masyarakat.
Ia tertarik mengikuti perjalanan bertema Unveiling Jailolo itu karena ingin langsung berbaur dengan masyarakat lokal dan menyelami cara hidup mereka. ”Dari kebudayaan, kita tahu karakter manusianya,” kata Tissa.
Di Desa Ngaon, selain turut memanen padi di ladang, peserta juga melihat langsung bagaimana makanan diolah dari bahan pangan lokal, yang selama ini luput mereka perhatikan. Fery Madundang (63) sedang mengupas sirsak di bawah pohon nangka. Tak jauh darinya seorang perempuan sedang mengaduk sayuran di atas wajan. Di belakang mereka bumbung-bumbung bambu sedang dibakar. Ada pula Mama Oktovina (60) yang sedang mengindang padi di atas sebuah nyiru.
Kesibukan para petani di ladang Rudi Basai menarik perhatian peserta. ”Ini sumber makanan kalau beras tak ada,” kata Fery sembari terus mengupas buah sirsak. Setelah dikupas, sirsak dipotong dan dimasukkan ke bumbung bambu, lalu dibakar. ”Ini kan pengolahan makanan yang amat sederhana sehingga kandungan gizinya tidak banyak yang hilang,” kata Ketua ACMI Santhi Serad.
Rata-rata makanan suku Sahu, yang mendiami Desa Ngaon, termasuk raw food, istilah yang saat ini ngehits di kalangan urban untuk menyebut masakan yang minim proses pemasakan. Buah terubuk (sejenis tebu), misalnya, hanya diberi kuah santan lalu ditaburi cabe, bawang merah, dan beberapa jenis sayuran. Memasaknya pun menggunakan kayu bakar di atas tungku di halaman rumah.
”Ini rasanya seperti telur ikan. Seger banget,” kata Irka Laksmirianti, peserta lain yang konsultan hukum di Jakarta.
Terubuk, yang disebut sebagai sayur lilin oleh warga setempat, memiliki bentuk dan tekstur seperti telur ikan tuna. Menu ini menjadi menu favorit di antara seluruh peserta.
Saat dijamu makan malam dalam ritual orom sasadu, Jumat (11/5/2018) malam di Desa Taboso, sayur lilin juga selalu diburu. ”Saya enggak nyangka saja ada sayuran lezat seperti ini,” kata Evie Mariaty, peserta asal Makassar.
Memburu otentisitas
Gambaran kekaguman para peserta perjalanan ini sesungguhnya bisa dibaca sebagai akibat dari kekuatan media sosial. Menurut pakar kuliner William Wongso, pemburuan otentisitas kuliner menjadi identifikasi diri yang amat menentukan posisi seseorang di media sosial.
”Jadi, kini penting memberi label diri lewat jenis makanan yang kita makan,” katanya.
Kehadiran para pemburu kelezatan semesta makanan di Desa Ngaon, Desa Taboso, dan Desa Lako Akelamo, Jailolo, menjadi begitu berarti. Di sini, teknologi yang dibawa telepon pintar, komunitas media sosial, serta hasrat akan identitas, bercampur baur menciptakan ekosistem kehadiran. Bahan bakar utamanya adalah eksotika makanan desa, yang tadinya begitu sederhana, tetapi kemudian memperoleh narasi sebagai makanan sehat dan asli.
”Inilah yang bercampur baur sehingga orang mau membelanjakan uangnya untuk melakukan perjalanan,” ujar William.
Dalam mengikuti perjalanan kuliner ke Jailolo, ACMI dan Pelangi Benua memanggil para peserta dalam pendaftaran terbuka. ”Kini banyak waiting list karena tak mungkin mengajak begitu banyak peminat,” ujar Santhi Serad. Bukan tidak mungkin, tambahnya, akan ada gelombang berikut untuk perjalanan serupa ke Toraja, Sulawesi Utara.
Di dunia kuliner, menurut Santhi, sejak beberapa tahun terakhir sedang berembus kesadaran tentang locavore. Istilah ini diperkenalkan Jessica Prentice saat merayakan World Environment Day 2005.
Locavore sendiri sebenarnya sebuah gerakan yang didorong oleh kesadaran pengurangan pemanasan global dengan mengurangi penggunaan energi. Mungkin Anda tak pernah membayangkan berapa banyak energi atau tapak karbon (carbon footprint) yang dihabiskan untuk mengonsumsi sepotong steak dengan daging impor.
Selain tidak terlacak asal-usulnya, untuk sampai di piring makan, daging harus didatangkan dari Australia atau Jepang, misalnya. Itu menghabiskan energi yang tidak kecil, mulai dari pengiriman hingga pembakarannya di restoran.
Tren kepedulian terhadap pembatasan energi itu, kata Santhi, bertemu dengan kesadaran mengonsumsi bahan-bahan yang mudah dilacak asal-usulnya, serta mengandung kesegaran. Makanan sehat, seperti padi ladang, buah terubuk, sirsak, pisang goroho, tidak mengandung risiko residu dari bahan-bahan kimia karena ditanam secara organik.
”Semua bahan ini tumbuh di ladang saya,” kata Rudi Basai. Di ladang seluas 10 hektar, Rudi menanam kelapa, pala, gaharu, pisang, kakao, padi, singkong, dan beberapa jenis sayuran.
”Semua yang dimasak hari ini baru saja dipetik dari kebun,” kata Rudi. Ketika peserta dijamu makan siang di Desa Ngaon, narasi tentang locavore itu telah hidup di benak masing-masing. Oleh sebab itulah, pisang goroho, menu yang sebenarnya berupa pisang rebus santan, menjadi sangat istimewa. Bahkan, gohu ikan tuna, menu yang diracik dari lemon cui, cabai, bawang merah, daun kemangi, serta tuna mentah ini rasanya tak kalah dari sushi di Pasar Tsukiji Jepang.
Luhur
Tidak heran kemudian ketika seluruh menu disajikan di atas meja yang dibangun di tengah halaman, para peserta saling berlomba mencobanya. Sajian nasi kembar, nasi yang dimasak di dalam bumbung bambu, menjadi pelengkap keistimewaan menu hari itu. Lebih-lebih para peserta tahu bahwa nasi yang mereka makan dipanen dari ladang di sekitar arena makan itu.
Jegatheesan Seeniappa, peserta keturunan India yang tinggal di Semarang, mengatakan, ia tertarik mengikuti perjalanan kuliner itu karena ingin berburu otentisitas makanan. Bersama istrinya, Vijay Kumari Jegatheesan, ia sudah mengunjungi berbagai negara. ”Tetapi saya baru kali ini mengikuti perjalanan yang istimewa, di mana makanan terlihat begitu luhur,” katanya.
Ia melihat para petani telah menanam kemuliaan dengan menghasilkan bahan-bahan pangan organik. Riwayat makanan yang masuk ke dalam tubuh kita, tambahnya, menjadi penting artinya dalam memelihara kesehatan, dan terutama memberi dukungan kepada petani. Mereka telah bekerja keras menghasilkan makanan bagi banyak orang, bahkan dengan merelakan hidup mereka sederhana di desa-desa. ”Ini kemuliaan yang harus disebarkan,” kata Jegatheesan.
Bagaimana? Siap mengikuti perjalanan kuliner berikut? Mari bersama menghormati para petani dengan memuliakan makanan yang mereka hasilkan dengan keringat dan, terkadang, air mata.