Lukisan dalam Benda Pos
Menikmati karya seni rupa tak melulu harus langsung dari karya aslinya. Lewat benda-benda pos, seperti kartu pos dan prangko, berbagai karya lukisan bisa dinikmati dengan pendekatan berbeda yang lebih ringkas. Tak hanya estetikanya, tapi juga kisah atau sejarah di balik setiap karya tersebut bisa menjadi medium belajar.
Dengan ukuran standar sekitar 4 x 6 inci dan harga relatif murah, kartu pos sering dianggap barang remeh-temeh. Padahal, fungsinya tidak sebatas media menulis pesan. Lewat kreativitas, selembar kartu pos menjadi multifungsi, dari media kritik hingga pameran tanpa dinding. Itu menjadi daya tarik bagi sejumlah orang untuk mengoleksinya.
Agus Dermawan T, kritikus seni, menjadi salah seorang yang konsisten mengumpulkan kartu pos. Koleksinya sekitar 200 kartu pos yang dikumpulkan sejak 1990 saat dia mulai bepergian ke luar negeri.
Ketika ditemui di kediamannya di Kelapa Gading, Jakarta, Selasa (22/5/2018), laki-laki 66 tahun itu sudah menyiapkan koleksi kartu pos miliknya. Dari map plastik berwarna biru, dia mengeluarkan tumpukan kartu pos itu dan menghamparkannya di atas meja.
Sebelum berbagi cerita tentang hobinya itu, Agus menekankan, dirinya bukan deltiolog. Sebab, kartu pos yang dikumpulkan terlalu spesifik.
”Karena saya bekerja di bidang seni rupa, saya hanya mengumpulkan kartu pos bergambar lukisan, patung, dan arsitektur,” ujarnya. Kartu pos itu diperoleh dari galeri dan museum seni rupa atau di sekitar lokasi itu.
Agus mulai menggali ingatannya tentang proses mendapatkan setiap kartu pos. Ada yang dibeli, ada juga yang didapat sebagai suvenir dari pameran. Rata-rata kartu pos miliknya dibeli dengan harga di bawah 1 euro.
Ingatannya masih tajam. Saat diminta menunjukkan kartu pos pertama yang dikumpulkannya, Agus dengan cepat mengambil kartu pos bergambar lukisan berjudul ”The Good Samaritan” karya Vincent Van Gogh.
Kartu pos tersebut diperoleh dari Amsterdam, Belanda, saat menghadiri Pameran 100 Tahun Van Gogh pada 1990. Dari pameran itu, Agus menyadari, kartu pos juga dapat digunakan mengenalkan karya-karya seniman.
Di luar gedung pameran, Agus juga menemukan kartu pos dengan lukisan parodi untuk menyindir karya Van Gogh. Satu di antaranya kartu pos dengan lukisan bunga karya RAT Productions. Kartu pos itu bergambar bunga berwarna merah yang ditusuk tiga jarum suntik. Padahal, karya asli Van Gogh adalah bunga matahari berwarna kuning tanpa jarum suntik.
”Lukisan parodi itu seperti menyindir Van Gogh yang hidup dengan obat-obatan karena penyakitnya. Sindiran atau kritik dalam karya seni seperti itu tidak terlalu dipermasalahkan di Eropa,” ujarnya.
Agus juga mempunyai kartu pos bergambar karya seniman lain, dari Rembrandt, Picasso, Johann Paul Ludden, Sudjojono, Dullah, Dede Eri Supria, Abas Alibasyah, Sunaryo, Agus Kamal, Mario Blanco, Mulyadi W, Srihadi Soedarsono, hingga Arie Smit.
Parodi
Sebagai kritikus seni, Agus mempunyai perhatian khusus terhadap kartu pos lukisan parodi. Dia mempunyai lebih dari 50 kartu pos yang menggambarkan kritik terhadap karya pelukis terkenal, seperti Leonardo da Vinci dan Van Gogh.
”Lukisan parodi dalam kartu pos menambah referensi saya terkait sudut pandang kritik terhadap seni. Untuk itu, saat menghadiri pameran di galeri ataupun museum, saya sempatkan mencari karya parodi di sekitarnya,” ujarnya.
Menurut Agus, lukisan parodi pada kartu pos juga menjadi ”pameran” bagi pelukisnya. Sebab, karya tersebut cukup sulit ditampilkan dalam pameran resmi karena terbentur dana dan peminatnya yang terbatas. ”Kartu pos juga menjadi pameran tanpa dinding. Karya-karya mereka tetap bisa dilihat banyak orang meskipun tidak pernah tampil dalam pameran,” ujarnya.
Sudah 28 tahun Agus mengumpulkan kartu pos lukisan. Ia telah mengunjungi 100 kota di 44 negara. ”Karena saya mengoleksi buku seni rupa jadi saya tidak mencari kartu pos yang ada dalam buku. Akan percuma karena tidak menambah referensi,” ujarnya.
Prangko seni rupa
Saat ini, kegiatan mengoleksi prangko mungkin tak sebergairah dulu ketika aktivitas korespondensi melalui pos masih di masa jayanya. Namun, romantika soal era itu masih dirawat beberapa orang penggemar filateli. Nama ”filateli” sendiri dimunculkan oleh pengumpul prangko asal Perancis yang bernama Georges Herpin pada 1864. Nama itu diambil dari gabungan bahasa Yunani, yaitu philos yang artinya kesenangan atau ketertarikan pada suatu hal dan ataleia yang artinya bebas pajak. Fungsi utama prangko adalah pembebas bea pengiriman pos.
Mikke Susanto, kurator dan pengajar dari Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, mengatakan, daya tarik prangko adalah gambar yang terpampang di setiap lembarannya. Gambar, sebagai unsur visual, mampu memicu berbicara lebih banyak dibandingkan dengan teks.
”Daya tarik sesungguhnya dari prangko karena nilai visualnya. Gambar lebih banyak bicara daripada tulisan,” kata Mikke saat ditemui di rumahnya, Godean, Sleman, Yogyakarta, Rabu (8/5/2018).
Selain seorang pengajar, Mikke juga seorang filatelis. Saat berkunjung ke rumah Mikke, sejumlah koleksinya ia tunjukkan. Ia tidak ingat lagi berapa jumlah koleksi prangko yang ia miliki. Prangko-prangko itu dikoleksi sejak ia mengenyam pendidikan di bangku SMA sekitar tahun 1988 atau 1989.
Dua buku album dipenuhi prangko berwarna-warni dari berbagai tema yang terpasang rapi. Masih ada satu boks lagi koleksi prangko yang belum ia pilih untuk dimasukkan ke buku album. Jumlah itu pun masih ditambah dengan lebih dari 150 prangko yang belum kembali dari tempat pameran.
Belum lama ini sebagian koleksinya dipamerkan dalam pameran bertema ”Seni Rupa dalam Prangko” di Tirana Art and Kitchen, Suryodiningratan, Yogyakarta, yang berlangsung pada 14 April-6 Mei lalu.
Adapun prangko yang dipamerkan adalah seni rupa yang dijadikan sebagai obyek prangko. Sebagian merupakan lukisan era Renaisans (1300-1600), seperti ”Monalisa” karya Leonardo da Vinci. Ada pula lukisan-lukisan bertema realisme dari Gustave Coubert, surealisme dari Dali, kubisme dari Picasso, hingga kartun Disney yang sifatnya kontemporer. Dari Indonesia, lukisan dari nama-nama, seperti Raden Saleh, Basoeki Abdullah, dan Popo Iskandar, turut disajikan lewat prangko dalam pameran itu.
Bahan belajar
Hal yang ingin disampaikan Mikke melalui pameran itu adalah prangko memuat nilai pengetahuan yang bisa menjadi bahan belajar. Prangko bisa digunakan untuk mengingat sejarah kebangsaan, selera, atau estetika pemerintah penerbit prangko, hingga pergolakan publikasi harta karun nasional masing-masing negara.
”Prangko ini mengandung unsur pengetahuan umum. Setiap prangko adalah catatan dari sejarah nasional,” kata Mikke. Misalnya, penerbitan prangko seri Pelita Indonesia yang menunjukkan program kerja pemerintah dan mencatatkannya lewat prangko.
Budaya pengarsipan
Melalui filateli, Mikke menyatakan, budaya pengarsipan ikut tumbuh. Ia menilai, sejarah bangsa akan terawat dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengarsipkan dokumen-dokumen bersejarah. Prangko adalah salah satunya.
”Prangko ini adalah penanda zaman. Rangkaian peristiwa bersejarah tercatat melalui diterbitkannya suatu prangko,” ujar Mikke sambil menunjukkan prangko seri Asian Games 1962 miliknya.
Mikke menilai, keberadaan filatelis itu cukup penting. Mereka dianggap bisa memberdayakan masyarakat pengarsipan. Oleh karena itu, filateli harus terus dilestarikan. ”Tradisi mengoleksi ini berguna untuk menciptakan generasi baru yang sadar arsip,” kata Mikke.