Tempe Berbiji Plural
Mencintai Indonesia dapat dilakukan dengan memuliakan kelimpahan bahan pangan lokal, termasuk berbagai biji-bijian. Berbagai macam biji-bijian yang tumbuh di bumi Indonesia dapat dirupakan menjadi tempe, tak hanya kedelai. Lalu, dari tempe berbiji plural itu pun, berbagai masakan serba ”ngepop” dihadirkan penuh siasat.
Eksperimen tempe dari berbagai macam biji-bijian itu ditempuh Albert Arron Pramono, pengelola Arumdalu Lab, sebuah kebun laboratorium untuk observasi dan eksperimentasi tanaman pangan di Serpong, Tangerang Selatan.
”Ini baru lima jenis biji-bijian yang diolah menjadi tempe warna-warni. Semua biji-bijian itu bahan pangan lokal, bukan dari impor,” ujar Albert, Sabtu (19/5/2018) di Arumdalu Lab.
Albert menjamu makan siang di kebun Arumdalu Lab. Kebetulan digandenglah tim dari Cook&Bake Jakarta untuk melengkapi sajian hidangan lainnya berbahan tempe.
”Tempe-tempe yang diolah, misalnya, menjadi tempe bacon gyoza, itu rasanya mengecoh seperti bukan tempe lagi. Rasa tempe itu dibuat seperti bacon daging,” ujar Benedicta Althea Meidiastri, atau yang akrab disapa Astri, chef atau kepala juru masak Arumdalu Lab.
Astri menyajikan hidangan pembuka. Potongan lima jenis tempe sebagai kudapan disuguhkan. Kelima jenis tempe itu dengan bahan campuran lima banding satu untuk kedelai lokal dan campuran biji lainnya. Komposisi ini salah satu uji coba untuk melihat kerekatan tempe dalam proses fermentasinya.
Tempe pertama, dengan campuran biji kedelai hitam atau kedelai yang biasa digunakan untuk bahan kecap. Tekstur tempenya lebih padat. Warnanya menjadi lebih gelap. Rasanya tidak seperti tempe kedelai biasa, karena muncul aroma rasa kedelai hitam dan tekstur padat yang membuat kelembutan tempenya lebih keras menggumpal.
Jenis tempe kedua dengan perpaduan kedelai lokal dan biji koro. Biji koro lazim digunakan sebagai bahan tempe koro. Ini masih banyak dijumpai, misalnya, di daerah Kulon Progo, Yogyakarta. Tempe koro di Kulon Progo dikenal juga dengan istilah tempe benguk. Biji koro itu berukuran lebih besar dibandingkan dengan kedelai atau biji-bijian lainnya. Aromanya juga punya nuansa karakter tersendiri.
”Biji koro di sini disajikan spesial. Bijinya direbus terlebih dahulu dengan bunga telang yang berwarna keungu-unguan,” ujar Astri.
Tempe ungu
Sajian tempe perpaduan kedelai lokal dan biji koro memberi warna tersendiri. Biji koro memberikan warna keungu-unguan pada setiap potongan tempenya. Tekstur dan warna tempe itu pun menjadi unik.
Tempe ketiga, dengan perpaduan kedelai lokal dan biji kacang merah. Ini juga sama uniknya. Ketika dikunyah, tempe dengan biji kacang merah ini berbeda dengan kedua jenis tempe sebelumnya. Tempe dengan biji kacang merah terasa lebih empuk. Tempe ini terasa mudah lumer di lidah. Tidak jauh berbeda lagi dengan tempe berikutnya, yaitu tempe dengan perpaduan jenis kedelai lokal dan kedelai edamame.
”Jangan dikira jenis kedelai edamame ini diimpor dari Jepang, ya.... Memang Jepang yang mempopulerkan jenis kedelai ini dengan nama edamame. Namun, kita punya jenis lokalnya dari daerah Jember, Jawa Timur,” ujar Astri.
Menurut Astri, kedelai jenis edamame dari Jember itu sudah sejak lama diekspor ke Jepang. Kemudian Jepang mempopulerkan edamame ke sejumlah kota lainnya di Indonesia.
Perpaduan tempe edamame dan kacang merah jauh lebih empuk. Inilah pilihan bagi yang menyukai segala makanan empuk-empuk.
Tempe kelima disajikan tempe kedelai lokal tanpa campuran dengan jenis biji-bijian lainnya. ”Ini tempe biasa yang mudah kita temui, meskipun bahan kedelainya berbeda,” ujar Albert.
Tempe yang kita konsumsi sehari-hari sebagian besar dengan bahan kedelai impor dari Amerika Serikat. Harga kedelai impor itu jauh lebih murah, bisa separuh harga dari jenis kedelai lokal kita sekarang.
Tekstur tempe dengan kedelai lokal sedikit berbeda dengan jenis tempe berbahan kedelai impor tadi. Aroma kedelainya pada tempe berbahan kedelai lokal lebih kuat.
Sebanyak lima jenis tempe tadi disajikan dengan cara digoreng. Cara menggorengnya tidak dengan dipotong-potong kecil. Tempe tetap dalam ukuran besar kotak memanjang lalu digoreng. Setelah lapisan permukaannya matang, ditiriskan. Kemudian barulah dipotong-potong dengan ukuran pas di mulut dan disajikan.
Penyajiannya dengan beragam jenis sambal. Ada sambal matah, terasi, dabu-dabu, dan ada acar pepaya muda. Di bagian menu lainnya, disuguhkan pula jenis acar garut. Garut sebagai salah satu jenis umbi-umbian.
Dari kelima jenis tempe yang disuguhkan, tempe pertama dan kedua, yaitu tempe dengan kedelai hitam dan biji koro, menjadi tempe beraroma paling kuat.
Aroma kedelai hitam dan biji koro menguasai rasa, meski hanya satu bagian dibandingkan dengan kedelai lokal yang lima bagian.
Hingga di sini, suguhan kudapan kelima jenis tempe itu berhasil memberi sensasi tersendiri. Namun, ini baru sebuah awal. Masih ada menu lanjutannya tentang tempe ini.
”Mengecoh”
Berikutnya, Astri menyuguhkan empat hidangan berbahan utama tempe kedelai lokal dan menu penutup es krim kedelai. Semuanya tak ubahnya masakan ala urban. Namun, Astri suka sekali menggunakan istilah ”mengecoh” menu-menu urban berbahan daging dan ikan itu dengan tempe.
Rasa daging tetap didapat, tetapi sejatinya itu tempe. Begitu pula untuk rasa ikannya tetap bisa diraih dengan tempe.
Hidangan tempe bacon gyoza pun tiba. Bacon diambil untuk sensasi rasa daging, gyoza diambil untuk sensasi bentuknya seperti pangsit. Jadilah menu bacon di dalam rupa gyoza. Bacon tempe berasa daging. Astri meyakinkan tidak ada secuil pun daging dimasukkan di dalamnya. Di situ sepenuhnya tempe.
Astri mengatakan itu setelah beberapa tamu mulai menanyakan hal itu. Para tamu rupanya terkecoh. Bacon tempe dikira terbuat dari daging. Menu kedua, tempe wing buffalo.
”Inspirasinya, dari menu chicken wings,” ujar Astri.
Mudah ditebak. Lagi-lagi para tamu untuk hidangan makan siang itu menanyakan hal yang sama. Mereka meragukan tempe wing buffalo berbahan tempe. Astri kembali meyakinkan, tidak ada secuil daging di dalam menu itu.
Menu ketiga, pepes tempe patin. Hidangan pepes tempe patin disajikan dalam bungkusan daun pisang. Di dalamnya terdapat tekstur tempe yang membalut potongan jamur merang.
Jamur merang tetaplah kentara. Namun, bagian yang melumurinya itu mengundang sensasi, seperti lembutnya daging ikan patin yang melebur dan menggumpal mengikuti bentuk bungkusan. Sensasi ikan patin dalam pepesan daun pisang tercapai. Pertanyaan senada kembali meruak.
Astri berhasil mengecoh para tamunya untuk kesekian kali. Hidangan keempat, burger tempe beef. Sekilas, tumpukan roti burger tidak ada yang aneh. Bentuknya, ya... seperti burger-burger biasa lainnya. Anehnya, tatkala menyantap burger ini juga tidak terasa sesuatu yang beda. Sama sekali biasa seperti burger yang bisa kita dapat di gerai-gerai.
Di situlah istimewanya. Rasa tempe sudah berubah. Ia menggantikan potongan daging burger. ”Semuanya menggunakan tempe. Tidak ada daging,” ujar Astri.
Sempurna. Astri mengecoh penikmat sajian tempenya. Es krim dari kedelai menutup makan siang itu.
Bagi Albert, inilah sensasi merayakan Indonesia, sensasi dari kelimpahan biji-bijian yang diberikan Indonesia. Hanya saja kita jarang berhasil merayakan hal tersebut.