Berlebaran dengan Wastra
Tenun dan batik kerap menjadi sumber inspirasi yang kemudian digunakan, baik sebagai material utama maupun sekadar diadopsi motifnya ke dalam karya busana. Dalam derajat minimal, setidaknya ada yang terus-menerus mengangkat wastra Nusantara agar masyarakat tetap menyadari keberadaannya.
Satu hingga dua bulan menjelang Idul Fitri, para desainer dengan gencar menyajikan karya-karya terbaru mereka yang didedikasikan sebagai koleksi hari raya. Mulai dari busana bersahaja (modest fashion) hingga baju syari.
Tiga desainer, yakni Itang Yunasz, Ghea Panggabean, dan Wignyo Rahadi, memilih tenun dan batik sebagai material dan inspirasi motif busana. Ghea Panggabean memilih motif sembagi dengan warna utama merah dan biru seperti umumnya dijumpai.
Motif hias dekorasi bunga-bunga dengan ujung-ujung berupa motif tumpal atau pucuk rebung ini dalam sejarahnya terinspirasi oleh kain sembagi yang disebut juga chintz dan berasal dari pesisir Coromandel di India. Di sana, motif kain dibuat dengan teknik block print.
”Para bangsawan Sumatera sering memesan kain dari India ini untuk keperluan pernikahan putri-putrinya dan digunakan sebagai kain dan kerudung,” ungkap Ghea yang tampil dalam Ramadhan In Style, Plaza Indonesia, pekan lalu.
Dalam perkembangannya, kain sembagi kemudian diproduksi sendiri dengan cara memesannya kepada para pembatik di Cirebon. Kain batik sembagi banyak ditemukan di Jambi, Palembang, dan Lampung.
Ghea tidak hanya menggunakan kain batik sembagi. Ia juga memanfaatkan motif sembagi dengan mencetaknya ke atas bahan sutra dengan teknik print screen dan cetak digital. Selain sutra, ia juga menggunakan bahan sifon, jersey, dan satin.
Dari motif sembagi, terciptalah, antara lain, tunik, kaftan, dan kebaya modern yang bervariasi panjang pendeknya. Beberapa dipadukan dengan celana panjang. Potongan longgar dengan sedikit draperi serta tambahan bordir dan prada yang menjadi ciri khas Ghea masih terlihat. Busana-busana ini disajikan dalam gaya folklore bohemian sesuai tema yang diusung dan masing-masing potong busana bisa ditukar padu padannya.
”Printed legging shoes”
Itang Yunasz juga mengambil gaya bohemian dengan motif sumba yang diterapkan dengan teknik cetak digital di atas kain crepe silk, satin twill silk, dan silk-satin twill. Pada sekuen pertama yang menyajikan motif tribalux, berisi dua seri, yakni busana-busana yang didominasi warna coklat berupa tunik dengan luaran (outer) panjang dan printed legging shoes.
Legging berbahan likra ini cukup menarik perhatian para tamu yang hadir saat itu. Legging digunakan hingga menyelimuti sepatu sehingga motif sepatu menjadi sama dengan legging, yakni motif tenun ikat sumba. Penampilan pun terlihat modern dan berani dengan nuansa bohemia.
Selain seri coklat, juga ditampilkan seri merah marun, di antaranya berupa gaun bermotif tenun sumba yang dilapisi chantily lace dalam warna senada. Itang menamai koleksinya kali ini, Heaven. ”NTT adalah surga di bumi pertiwi,” ungkap Itang.
Tentang mengapa ia tidak menggunakan kain tenun sumba asli, menurut Itang, karena busananya ditujukan sebagai busana bersahaja yang sopan dan tertutup. Itang juga menginginkan busananya memberi kesan mewah melalui tampilan yang ringan dan melayang.
”Bajunya harus nyaman karena tertutup. Saya tidak mungkin memotong kain asli untuk memberi kesan melayang, selain harga tenun sumba yang cukup mahal,” kata Itang.
Selain melalui teknik cetak digital, inspirasi motif tenun sumba juga dituangkan melalui teknik bordir. Motif-motif tribal dibentuk melalui bordir di atas kain shantung twill yang mengilat.
Selain sekuen busana dengan motif tenun sumba, Itang juga menyajikan koleksinya yang semuanya putih, warna wajib untuk koleksi Ramadhan dan Idul Fitri. Bordir yang ditemukan pada busana pun dibuat dengan warna putih atau senada. Kesan mewah dicapai dengan membubuhkan hiasan berupa bebatuan berkilau dengan warna senada.
Siluet yang sederhana diimbangi dengan gaya tumpuk berupa padu padan busana dengan outer kimono atau trench coat. Tunik dihiasi dengan chantily lace dan plisket (pleats). Demikian pula dengan bahan organza katun atau sutra yang dipakai dengan cara bertumpuk untuk memberikan kesan natural. Tidak ketinggalan kaftan dan celana panjang lebar yang dipadukan dengan gaun serba putih menjadi koleksi yang tak boleh ketinggalan.
Tenun polos
Berbeda dengan Itang dan Ghea yang masih mengaplikasikan motif wastra ke atas kain dengan teknik cetak, Wignyo Rahadi menggunakan kain tenun alat tenun bukan mesin (atbm) untuk semua koleksinya. Namun, pilihannya adalah tenun polos untuk memberikan kesan netral dan tampilan modern.
”Karena ini Lebaran, saya ingin tampilan yang lebih umum, tidak terlalu menampakkan etnis tertentu. Itu sebabnya saya lebih memilih tenun polos,” kata Wignyo yang tampil pada Fuchsia Market-Ramadhan Edition di Kota Kasablanka, Jakarta.
Meski polos, agar tampilan tidak datar, Wignyo bermain pada tekstur kain tenunnya yang membentuk motif geometris. Tekstur ini diperoleh melalui teknik tenun ”benang putus”, anyaman bintik, dan salur bintik yang menjadi ciri khas tenun kreasi Wignyo. Kesan etnik tetap dihadirkan secara halus melalui permainan detail, seperti lipit dan patchwork yang membentuk motif seperti garis-garis atau bidang geometris.
Tenun yang digunakan Wignyo adalah produksinya yang dibuat di Sukabumi, Jawa Barat, di bawah bendera Tenun Gaya. Semuanya berbahan sutra dengan tampilan terlihat mengilat sehingga memberikan kesan mewah mengingat akan digunakan pada suasana istimewa.
Seperti temanya, Violetaria, koleksi kali ini didominasi warna ungu dengan intensitas warna bervariasi, mulai ungu muda lembut hingga ungu tua yang pekat. Warna ini diyakini Wingyo merupakan salah satu warna yang tengah tren tahun ini.
Dari tenun-tenun ungu ini dihasilkan abaya yang dipadukan dengan cape dan hoodie (tudung), serta tunik dan celana kulot. Baju-baju dikonstruksi melalui siluet yang ringan hingga struktur yang kuat dengan potongan asimetris pada beberapa busana.