Cari Celah di Kelas Menengah
Tidak ada kata istirahat dalam industri ponsel pintar pada tahun 2018 ini, terlebih lagi di tataran ponsel menengah. Tak kurang dari tujuh ponsel dari berbagai pabrikan diluncurkan dalam lima bulan terakhir. Para produsen berlomba-lomba memasarkan fitur unik sebagai pembeda guna mencari celah di tengah persaingan yang semakin ketat.
Salah satu produsen yang meluncurkan ponsel kelas midrange ini adalah produsen ponsel asal China, Oppo, yang meluncurkan ponsel terbarunya, F7 Youth. Dijual dengan harga Rp 3,8 juta, ponsel ini menawarkan sistem dalam cip (SoC) Mediatek kelas atas, Helio P60 (octa-core 2.0 Ghz), kapasitas RAM 4 gigabit dan memori penyimpanan 64 gigabit.
F7 Youth yang diluncurkan pada Rabu (23/5/2018) diposisikan sebagai ”adik” dari F7, yang pada April 2018 baru saja diluncurkan. Dengan harga Rp 400.000 lebih mahal, F7 memiliki resolusi kamera depan dan kamera belakang yang lebih besar.
F7 memiliki kamera belakang 16 megapiksel dengan aperture f/1.8 dan kamera depan 25 megapiksel dengan aperture f/2.0. Adapun F7 Youth memiliki kamera belakang dengan resolusi hanya 13 megapiksel dengan f/2.2 dan kamera depan dengan sensor 8 megapiksel dan f/2.2. Layar F7 pun lebih besar; 6,2 inci, dibandingkan 6 inci pada F7 Youth.
Namun, jeroan F7 tidak jauh berbeda dengan F7 Youth, sama-sama menggunakan SoC Helio P60. Kedua ponsel ini pun juga memiliki kapabilitas Beauty AI 2.0. Kemampuan ini memungkinkan kamera ponsel mengenali 296 titik wajah lalu membagi wajah dalam foto menjadi beberapa zona untuk efek beauty yang lebih akurat dan natural.
Jika F7 Youth dan F7 memiliki spesifikasi yang identik, lain halnya dengan duo Samsung Galaxy A6/A6 Plus, yang dirilis pada awal Mei 2018. Walaupun sama-sama memiliki nama A6, spesifikasi yang ditawarkan kedua ponsel cukup berbeda. A6 Plus memiliki SoC Qualcomm entry level, yakni Snapdragon 450 (octa-core 1.8 GHz Cortex-A53), sedangkan Galaxy A6 memiliki SoC Samsung Exynos 7870 (octa-core 1.6 GHz). Exynos 7870 bahkan telah berusia dua tahun, pertama kali dipasang pada tablet Samsung Galaxy Tab A 10.1 pada Mei 2016.
Perbedaan ini pun tecermin pada label harga. A6 Plus dijual dengan harga sekitar Rp 4,9 juta, sedangkan A6 dijual dengan harga Rp 3,8 juta. Label harga yang tergolong premium itu datang bersama dengan kapabilitas audio Dolby Atmos dan aplikasi augmented reality (AR) inovatif dari Samsung, Bixby Vision. Khusus pada A6 Plus, kamera ganda di bagian belakang mampu memberikan efek simulasi bokeh yang natural.
Sementara itu, Xiaomi dan Asus berusaha menarik konsumen dengan SoC Qualcomm kelas menengah mutakhir, yakni Snapdragon 636 (octa-core 1.8 GHz Kryo) yang terpasang pada Xiaomi Redmi Note 5 dan Asus Zenfone Max Pro M1. Xiaomi bahkan menjadi pabrikan pertama yang membawa SoC tersebut ke Indonesia pada pertengahan April 2018.
Snapdragon 636 diklaim mampu memberikan kinerja 40 persen lebih cepat dibandingkan pendahulunya. Redmi Note 5 dijual dengan harga Rp 2,5 juta; sedangkan Zenfone Max Pro M1 memiliki banderol harga Rp 2,8 juta.
Vivo pun pada Maret 2018 juga telah meluncurkan V9, dengan harga Rp 4 juta. Ponsel ini akan menggunakan SoC Snapdragon 450 dan juga kamera ganda pada bagian belakang. Adapun di bagian depan, terpasang kamera dengan sensor 24 megapiksel untuk memenuhi kebutuhan swafoto dengan baik.
Kelas primadona
Segmen ponsel kelas menengah tampaknya menjadi primadona para produsen pada saat ini. Segmen tersebut memang menunjukkan peningkatan penjualan yang luar biasa dalam tiga tahun terakhir.
Berdasarkan International Data Corporation (IDC), penjualan ponsel kelas menengah (cakupan harga Rp 2,8 juta-Rp 5,6 juta) menunjukkan peningkatan lebih dari 100 persen pada kuartal II-2017 dibandingkan pada kuartal II-2016. Pada kuartal II-2017, tercatat ada 2,2 juta ponsel yang terjual, dibandingkan hanya 1 juta unit pada 2016 dan 684.000 unit pada 2015.
Untuk itu, tampaknya setiap produk memiliki selling point yang berbeda dari kompetitornya dan mengorbankan fitur tertentu demi menekan harga.
Public Relations Manager Oppo Indonesia Aryo Meidianto mengatakan, fitur-fitur yang dibenamkan pada F7 Youth adalah representasi dari visi Oppo sebagai pemimpin segmen swafoto di Indonesia. Ia mengatakan, fitur Beauty AI 2.0 harus ada di seluruh lini produk Oppo, tidak hanya di kelas atas. ”Supaya semua orang bisa merasakan kemampuan Beauty AI 2.0 ini, termasuk di harga yang lebih bersahabat seperti pada F7 Youth,” kata Aryo.
Namun, harga yang lebih bersahabat ini membuat F7 Youth merelakan tidak memiliki beberapa fitur F7. Selain spesifikasi kamera yang lebih rendah, Oppo F7 Youth juga memiliki kekurangan lain dibandingkan ”kakaknya”, F7. Fitur keamanan pemindai sidik jari, yang menjadi fitur pada Oppo F7, tidak dimiliki F7 Youth. Padahal, pemindai sidik jari dinilai jauh lebih praktis dibandingkan sistem keamanan menggunakan kode atau kata sandi.
Aryo mengklaim, ketiadaan pemindai sidik jari dinilai tidak berarti oleh pengguna. Sebab, F7 Youth telah dibekali fitur pemindai wajah. ”Ternyata user kagum dengan fitur face unlock. Mereka tidak masalah dengan hal itu karena respons face unlock itu cepat,” kata Aryo.
Untuk menarik pangsa anak muda yang gemar swafoto, Oppo pun bekerja sama dengan perusahaan kosmetik asal Jepang, Shiseido, untuk merilis 200 paket bundling F7 Youth dengan Shiseido UV Protector. Paket ini bisa didapatkan melalui pasar elektronik Lazada.
Fitur pembeda
Sementara itu, Samsung tidak memasarkan A6 dan A6 Plus sebagai ponsel khusus swafoto walaupun memiliki kamera depan dengan resolusi tinggi, 24 megapiksel untuk A6 Plus, dan 16 megapiksel untuk A6. Corporate Marketing Director Samsung Electronics Indonesia Jo Semidang mengatakan, yang ditawarkan Samsung adalah keseluruhan pengalaman (total experience) dari A6 dan A6 Plus.
Selain dibekali Dolby Atmos dan Bixby Vision, Samsung memberikan berbagai fitur lain yang dinilai menarik pangsa anak muda yang peduli dengan gaya hidup dan fashion. Kesan stylish pun dimunculkan melalui penggunaan material logam pada badan Galaxy A6/A6 Plus. Dengan full metal body, kedua ponsel tersebut terasa padat dan kokoh dalam genggaman.
Adapun Asus dengan SoC Snapdragon 636 yang cukup bertenaga pada Zenfone Max Pro M1 memiliki pembeda dengan memasarkan produknya sebagai ponsel dengan orientasi mobile gaming. Saat ini, permainan seperti PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG) dan Mobile Legends tengah populer.
Walaupun memiliki keunggulan dan fitur unik masing-masing, sebuah tren mempersatukan tujuh ponsel kelas menengah ini, yaitu layar dengan bingkai (bezel) tipis. Hal ini menunjukkan, bezel tipis yang pada awalnya hanya dimiliki ponsel kelas atas telah dapat diadopsi segmen kelas menengah.
Layar dengan bingkai tipis ini dipopulerkan ponsel flagship Samsung dan LG, yakni Galaxy S8 dan G6, pada awal 2017. ”Dulu tidak semua orang bisa menciptakan perangkat dengan layar berbingkai tipis. Semakin ke sini semakin terjangkau, semakin banyak yang buat, sehingga semua orang bisa pakai, siapa pun itu. Layar jenis ini menjadi booming pada 2018 dan menjadi tren. Jadi, kita mencoba menawarkan hal yang sama,” kata Aryo.
Dengan bezel tipis ini, perbandingan perbedaan antara luas layar dan badan ponsel akan semakin tipis. Sebagai perbandingan, Apple iPhone 7 memiliki perbandingan layar dengan badan ponsel sebesar 65,5 persen, sedangkan Oppo F7 berada pada tingkat 85,2 persen. Aspect ratio layar pun menjadi lebih panjang dibandingkan biasanya. Jika ponsel biasanya menggunakan perbandingan 16 : 9, pada ponsel bingkai tipis ini paling tidak perbandingannya adalah 18 : 9.
Berbagai fitur premium dari kelas flagship mulai muncul di ponsel-ponsel kelas menengah pada tahun ini, dan dengan keunikan masing-masing. Butuh usaha yang lebih untuk mendapatkan ponsel yang tepat di tengah persaingan yang ketat.