Jebakan Zaman Modern
Budaya berburu ”meramu” masyarakat Punan di Kalimantan menuju akhir. Dari hidup berpindah-pindah di rimba raya, mereka kini hidup menetap dan mengadopsi pola hidup modern. Namun, perubahan ini tak sepenuhnya meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan mereka.
Transisi itu terlihat jelas di meja makan, saat ikan segar hasil menombak di sungai dan sayur pakis meramu di hutan dibumbui dengan monosodium glutamate alias MSG. Pergeseran juga terjadi dari konsumsi pangan pokok sagu ke beras.
”Kalau tidak pakai penyedap (MSG), tidak percaya diri. Nanti tidak enak, suami dan anak tak mau makan,” kata Liun, perempuan Punan Aput dari Desa Long Sule, Kecamatan Kayan Hilir, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Tak hanya masakan sayur-mayur, bahkan saat Liun dan para tetangganya membuat rujak dari buah kecombrang siang itu, Rabu (23/5/2018), segenggam MSG pun ditaburkan, kemudian diulek bersama cabai rawit.
Selain MSG, mereka juga boros menggunakan garam dan gula. Rata-rata masakan mereka begitu asin, sementara kopi atau teh menjadi teramat manis. Padahal, hingga sekitar tahun 1970-an, jangankan MSG, orang Punan Aput belum mengenal gula, bahkan garam pun jarang dipakai.
”Orang Punan dulu hanya makan apa yang disediakan hutan; sagu, umbi-umbian, daun-daunan, dan berbagai macam binatang serta ikan sungai. Tanpa garam atau gula,” kata Kepala Lembaga Adat Besar Punan Kayan Hilir Jingom Padai. ”Kalau sudah makan sagu, bisa kuat masuk hutan. Seharian tidak makan bisa tahan.”
Menurut kajian Edmond Dounias dan tim yang dipublikasikan di jurnal Food and Nutrition Bulletin (2007), sagu merupakan sumber pangan utama yang menopang kehidupan pemburu peramu Kalimantan di masa lalu. Hal ini mengingatkan pada pola makan orang Papua dan Maluku di timur, maupun juga Mentawai di bagian barat yang menunjukkan bahwa sagu memang merupakan makanan awal nenek moyang di Nusantara.
Penelitian oleh SE Jones dari Universitas Queen’s Belfast, Inggris (2013), menemukan bukti arkeologis bahwa tanaman sagu jenis Eugeissona telah diolah masyarakat di dataran tinggi Kelabit, Serawak sejak 2.300 tahun lalu. Sagu yang bisa tumbuh di dataran tinggi ini diketahui merupakan tanaman endemis Kalimantan dan Thailand. Sekalipun sama-sama memiliki pati di batangnya, tanaman sagu ini berbeda dengan genus Metroxylon, jenis sagu yang banyak tumbuh di dataran rendah Papua.
Menurut Liun, mereka memiliki banyak cara untuk mengolah pati sagu, di antaranya linur (sejenis bubur), isak lok (dipangang), uk (dicampur daging dan dimasak dalam bambu), lalai (dimasak dengan kuah daging), tok-tok (taburan tepung sagu dicampur daging cincang yang dibungkus daun kemudian dipanggang).
Namun, kini mereka hanya makan sagu rata-rata setahun sekali saat pesta tahun baru. ”Sekarang sehari-hari makan beras. Apalagi anak-anak muda, tidak mau makan kalau tidak ada beras,” ujar Jingom.
Perubahan pola makan dari sagu ke beras ini menandai babak baru dalam kebudayaan orang Punan di Kalimantan. Dari pemburu peramu yang berpindah-pindah di belantara, mereka beralih bercocok tanam dan menetap di kampung. ”Kami mulai menanam padi ladang sekitar tahun 1960-an. Dapat benihnya dari orang (Dayak) Kenyah,” kata Jingom.
Babak baru
Sekali pun mulai menetap, tetapi pada tahun-tahun itu, masyarakat Punan Aput masih tinggal terpisah dalam kelompok kecil dengan 10-15 kepala keluarga yang terpencil di tengah belantara. Hingga tahun 1970-an, Merang Iban, Camat Kayan Hilir saat itu, meminta masyarakat Punan Aput mencari lokasi untuk landasan bandar udara pesawat perintis.
Akhirnya, dipilih satu daerah di perbukitan di dekat Sungai (Long) Sule yang cukup datar sehingga bisa dijadikan landasan pacu. Beberapa kelompok masyarakat Punan pun pindah ke Long Sule sehingga membentuk dua desa, yaitu Metun atau yang lebih populer disebut sebagai Long Sule dan Long Pipa. Kini, total jumlah penduduk dua desa ini mencapai sekitar 1.000 jiwa.
Selain mendatangkan pesawat terbang yang menghubungkan orang Punan Aput dengan dunia luar, keberadaan bandar udara ini juga menjadi pintu masuk penyebaran agama Kristen di kawasan ini. Hingga saat ini, bandara ini dilayani oleh pesawat milik misionaris, Mission Affiliation Fellowship (MAF).
Kebutuhan berubah
Tak hanya mengubah pola makan dan pola hidup berpindah menjadi menetap, keberadaan bandara mulai mengenalkan orang Punan dengan sistem ekonomi pasar yang bertumpu pada transaksi uang. ”Sebelumnya kami hanya mengenal sistem barter, itu pun sangat terbatas,” ujar Arung Ajo (44) warga asal Long Sule yang kini menjadi Kepala Kepala Seksi Pemasaran Dinas Pariwisata Malinau.
Kios pertama di Long Sule dibuka pertengahan 1970-an oleh pedagang dari Kalimantan Tengah, Esau Elbar, yang kemudian menikah dengan kakak Arung. ”Awalnya dia berjualan baju, gula, garam, dan lain-lain untuk ditukar dengan gaharu, emas, dan batu guliga—sejenis batu di dalam perut monyet atau mamalia lain. Perlahan-lahan dia buka toko dan mulai mengenalkan uang,” kata Arung.
Perubahan semakin cepat ketika sebuah perusahaan kayu membuka jalan dari Muara Wahau di Kalimantan Timur hingga ke Kayan Hilir pada 1997. Pembukaan jalan kayu terhenti sekitar 20 kilometer dari Long Sule, karena operasi perusahaan itu terhenti menyusul jatuhnya Orde Baru. Sekali pun jalan tersebut rusak parah dan sangat sulit dilalui, tetapi masih menjadi jalur utama keluar dan masuknya barang.
Tiba-tiba, gula dan garam menjadi kebutuhan utama. Demikian juga rokok, pakaian, termasuk MSG dan berbagai kebutuhan lain. Bahkan, warga Punan yang sebelumnya hanya mengenal perahu dayung kemudian memesan mesin tempel atau disebut sebagai ketinting.
Padahal, harga-harga barang di dua desa yang dihuni sekitar 900 jiwa ini sangat tinggi. Gula mencapai Rp 30.000 per kilogram, minyak goreng Rp 40.000 per liter, minyak tanah dan bensin Rp 38.000 per liter, sedangkan semen bisa mencapai Rp 1,2 juta per sak.
Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru ini, orang Punan Aput pun semakin giat meramu hasil hutan dengan tujuan untuk mendapatkan uang. Perburuan gaharu, emas, batu guliga, dan belakangan enggang gading untuk diambil paruhnya, semakin menjadi.
”Sekarang semakin susah mencari gaharu karena terlalu sering ditebang. Kita harus jauh masuk ke hutan untuk mendapatkannya, itu pun untung-untungan,” kata Jingom. ”Seberapa pun kerja keras kami dari mencari gaharu atau emas di hutan, habis juga untuk kebutuhan bahan pokok yang sangat mahal.”
Orang Punan Aput di Long Sule mulai merasakan jerat hidup modern. Bahkan, beberapa di antara mereka mulai terlilit utang kepada para juragan gaharu. Sebelum masuk hutan biasanya mereka meminjam bahan makanan, seperti gula, kopi, teh, beras, minyak goreng, hingga rokok untuk bekal di hutan. Sebagian lain diberikan untuk keluarga yang ditinggalkan. Namun, tak jarang setelah masuk hutan hingga berbulan-bulan, mereka pulang dengan tangan hampa. Utang pun menumpuk.
”Bagaimanapun gaharu akan habis. Emas juga. Tetapi, kami belum punya jalan keluar untuk masa depan anak-anak,” kata Jingom.
Tak hanya persoalan ekonomi, menurut penelitian Dounias dan Levang (2007), perubahan budaya Punan yang sebelumnya berbasis berburu meramu ke pola hidup modern justru menurunkan kualitas kesehatan mereka, terutama karena menurunnya keberagaman makanan.
Penyakit
Selain itu, beberapa penyakit menular dan penyakit karena gaya hidup, seperti diabetes dan darah tinggi yang dulu tak mereka kenal, mulai menjadi persoalan baru.
Perubahan pola makan, menurut peneliti senior Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Safarina G Malik, akan mengubah mikroorganisme di dalam saluran pencernaan manusia. Misalnya, penelitian tim Eijkman di populasi Denpasar, Bali, menemukan orang gemuk memiliki keragaman mikrobioma saluran pencernaan lebih rendah.
Sejumlah penelitian juga telah membuktikan bahwa pola konsumsi masyarakat pemburu peramu atau populer disebut sebagai paleo diet tenyata lebih sehat dibandingkan dengan pola hidup masyarakat modern. Beberapa jenis penyakit, termasuk kanker, juga diketahui semakin berkembang di era saat ini.
Kajian Dounias E (2007) menyebutkan, kunci diet sehat masyarakat pemburu peramu adalah karena makanan mereka tinggi protein, kaya serat, serta minim garam, gula, dan susu. Selain itu, budaya berburu membuat aktivitas fisik mereka menjadi sangat tinggi.
Ketika sebagian masyarakat kota saat ini mulai kembali ke paleo diet, justru masyarakat pemburu peramu terakhir Kalimantan terobsesi dengan pola makan kalangan serba instan, tinggi karbohidrat, gula, garam, dan MSG....