Kolaborasi Menjadi Kunci
Fashion is about change, and I like change.
I do like it like I breathe.
Karl Lagerfeld
Perubahan dalam dunia mode tak melulu menyangkut tren atau gaya busana, tetapi juga bagaimana industri tersebut bergerak. Di masa lalu, antarpelaku mode berkarya sebaik-baiknya untuk menjadi yang serba paling. Itu dulu. Kini, era kompetisi sengit di masa lalu menjalani bentuknya yang baru, yakni kolaborasi dan sinergi.
Kolaborasi, berbagi, dan sinergi, adalah kata-kata kunci saat ini. Hal itu menjadi norma berbisnis yang diampu kaum milenial. Makna kompetisi tak lagi seperti dulu ketika setiap pihak bersaing, berusaha merebut dominasi panggung, dan lampu sorot. Di dunia mode, misalnya, semua pihak sama-sama butuh porsi pasar, jadi kenapa tidak berkolaborasi saja?
Selain bentuk kolaborasi silang antarbidang, misalnya, antara dunia mode dan seni rupa, kolaborasi dalam industri mode dunia yang menggejala saat ini adalah kerja sama antara rumah mode papan atas atau high-end dengan merek pasar menengah. Kolaborasi ini mengeluarkan koleksi kapsul istimewa yang dalam perjalanannya selalu memiliki pesona tersendiri.
Legenda mode Karl Lagerfeld yang dijuluki ”the king of collaborations” adalah sosok yang mempopulerkan model kolaborasi demikian dengan gebrakannya di tahun 2004. Ketika itu, ia berkolaborasi dengan merek busana ritel H&M asal Swedia. Sejak itulah, hampir saban tahun H&M sukses menggaet sederet desainer dunia ternama untuk mengeluarkan koleksi kapsul hasil kolaborasi. Lagerfeld yang menggagas konsep affordable luxury atau kemewahan yang terjangkau ini juga diikuti oleh berbagai merek mode papan atas lainnya.
Tak ketinggalan di Indonesia. Koleksi hasil kolaborasi yang baru-baru ini diluncurkan, yaitu antara Cotton Ink dan Mel Ahyar First (MAF). Cotton Ink merupakan merek mode lokal busana siap pakai kasual, sementara MAF adalah salah satu dari merek busana siap pakai garapan desainer Indonesia, Mel Ahyar. Kedua merek ini memiliki perbedaan karakter yang signifikan.
Cotton Ink yang telah memasuki usia 10 tahun dikenal dengan koleksinya yang kasual, berdaya pakai tinggi, minimalis, serta siluet sederhana dan basic. Sementara MAF yang dirancang Mel Ahyar dikenali dengan karakter yang eksentrik, jenaka (playful), eksplorasi detail yang kuat, serta siluet yang bervolume.
Bagi kedua merek mode ini, kolaborasi sebenarnya bukan hal baru lagi. Cotton Ink sejak beberapa tahun lalu sudah kerap menjalani kolaborasi, misalnya, dengan ilustrator Diela Maharanie, desainer Dian Pelangi, juga penyanyi Raisa. Demikian pula dengan Mel Ahyar, yang sebelumnya sempat berkolaborasi dengan pelukis maestro Jeihan Sukmantoro.
Ria Sarwono, salah satu pendiri Cotton Ink mengatakan, kolaborasi merupakan semacam upaya untuk membuat merek mereka tetap relevan untuk ditengok di tengah amat banyaknya pilihan mode saat ini. Koleksi kolaborasi yang jumlah dan rentang waktunya terbatas justru memberi gairah tersendiri di luar koleksi reguler. Koleksi dari kolaborasi memberi nilai lebih pada masing-masing merek yang pada akhirnya menjadi pelumas pemasaran.
”Kita punya karakter yang jauh berbeda, antara Cotton Ink dan MAF. Walaupun kami yang mengajak kolaborasi, kami justru ingin Mel Ahyar-nya yang tampil terlihat, yang memberi nilai tersendiri dalam koleksi Cotton Ink,” kata Ria.
Menekan ego
Kolaborasi di antara dua merek yang berbeda karakter cukup jauh tentunya menjadi tantangan tersendiri saat dijalani. Masing-masing harus sudi menakan egonya dan menemukan jalan tengah dalam porsi yang tepat. Mel Ahyar mengaku, proses itu baginya cukup menarik dan menantang. Sejak awal, ia dan Cotton Ink telah siap untuk berargumen secara sehat. Sebab, justru dengan demikian proses kreatif menjadi matang dan menghasilkan karya yang kuat.
”Aku sebenarnya sudah mengikuti perkembangan Cotton Ink sejak awal, sejak mereka hanya jual kaus saja. Mereka adalah contoh brand lokal yang cukup sukses. Banyak memang tawaran kolaborasi yang masuk, ketika dengan Cotton Ink saya tak pikir lama-lama dan langsung bersedia karena sudah cukup lama kenal karakternya,” kata Mel.
Dalam proses kreatifnya, Mel mengaku juga harus bisa menahan diri untuk tidak meletakkan detail terlalu banyak, tetapi tetap dapat dikenali karakter dari MAF. Mel juga menurunkan intensitas permainan tabrak warna dan print yang eksentrik seperti yang biasanya ia terapkan pada busana koleksinya sendiri.
”Saya memulainya dengan bahan yang tersedia, yang rentang harganya sesuai dengan pasar Cotton Ink selama ini. Dari bahan tersebut, apa yang bisa saya mainkan,” kata Mel.
Dengan berbagai keterbatasan, ruang eksplorasi untuk Mel tetap terbuka. Hasilnya, kolaborasi Cotton Ink X Mel Ahyar First menampilkan koleksi Lebaran yang rileks ala Cotton Ink dengan sentuhan eksentrik yang jenaka ala Mel Ahyar. Pilihan koleksi berbahan katun dan polyester ini cukup beragam. Seperti tunik panjang, jaket panjang bervolume, gaun terusan dengan potongan semi kaftan, kemeja, celana panjang dengan detail patch maupun prints, rompi panjang, hingga scarf. Koleksi ini juga dilengkapi dengan koleksi untuk anak-anak yang senapas.
Meski tidak intens, detail muncul terkontrol berupa patch atau stiker bordir dan sulaman yang manis. Motif bunga-bungaan dengan palet warna pastel menenteramkan, seperti merah jambu, biru, kuning, juga kecoklatan dan krem.
Fleksibel
Pilihan-pilihan dalam koleksi membuka ruang kreativitas untuk padu padan. Misalnya, antara tunik dengan jaket panjang dan celana panjang, kemeja dengan rompi panjang dengan aksen scarf, ataupun gaun terusan dengan jaket luaran panjang. Prinsip fleksibilitas dalam padu padan semacam itu juga cocok dengan pasar masa kini kaum milenial yang adaptif, cair, fleksibel, dan kerap dianggap cepat bosan.
”Walaupun semula kami pikir berbeda pasar, nyatanya pelanggan MAF pun banyak yang ikut memborong koleksi kolaborasi dengan Cotton Ink ini,” ujar Mel.
Di situs penjualan daring Cotton Ink memang terlihat beberapa jenis koleksi sudah habis terjual. Padahal, koleksi kolaborasi ini baru diluncurkan sekitar dua minggu saja. Setiap potong busana dari koleksi kolaborasi itu memang diproduksi antara 100 hingga 250 potong saja. Perilaku konsumen itu menunjukkan, kolaborasi di antara merek mode papan dengan merek mode pasar menengah tidak mencederai pelanggan dari merek papan atas yang menjunjung eksklusivitas.
Desain hasil kolaborasi ini memang terlihat amat memahami pasar milenial, yaitu dengan membuat peruntukan busana juga sengaja dibuat fleksibel dan cair, tanpa sekat yang rigid. Terkait itu pula, Mel lantas memahami Lebaran adalah juga liburan. Dan, liburan adalah juga bergaya. Formulasi itulah yang dilakoni kaum urban (milenial) masa kini di era media sosial yang menjunjung tinggi tampilan visual. Oleh karena itu, koleksi Lebaran Cotton Ink X MAF sengaja didesain agar pantas untuk berlebaran sekaligus manis untuk dikenakan saat liburan.
Mel terinspirasi dari lukisan karya seniman Perancis, Edgar Degas, yang berjudul L’Absinthe (1876) yang mengangkat tema the art of escapism atau seni eskapisme. Semangat menikmati jeda secara sederhana, seperti sekadar menikmati bunga-bungaan, menelepon seorang teman untuk mengobrol ringan, atau ngeteh-ngeteh cantik di kedai bersama teman, dituangkan Mel dalam desain kolaborasinya.
Di tengah berbagai hiruk pikuk ketegangan di media sosial belakangan ini, bukankah kita memang perlu jeda eskapisme yang menyehatkan semacam itu? Lupakan dulu perdebatan, selamat berlebaran….