Diplomasi Bakwan dan Tahu Isi di Dubai
Sajian di Restoran Hotel Novotel Suites di ruas Jalan Al Barsha, Dubai, Uni Emirat Arab, selama sepekan pada April lalu terasa tidak asing di lidah. Sepiring penuh bakwan dan tahu isi bergantian menjadi salah satu menu di restoran bintang 3 tersebut. Tak ketinggalan, soto, ayam bakar, ayam serundeng, dan bubur ayam juga ada.
Sesosok pria bertubuh gempal dengan senyum lebar menyapa hangat rombongan delegasi Indonesia yang menuju tempat sarapan. Para delegasi yang sedang menginap di hotel tersebut mengikuti pameran wisata Arabian Travel Market (ATM) ke-25 pada 22-25 April 2018. Delegasi yang berjumlah 80 orang itu terdiri dari staf Kementerian Pariwisata, pelaku industri pariwisata, seniman tari, seniman henna, peracik minuman tradisional, jurnalis, dan pengisi acara lainnya.
”Selamat pagi. Bagaimana, apakah semalam bisa tidur nyenyak?” sapa pria itu yang ternyata adalah koki asal Indonesia. Mengenakan baju seragam warna abu-abu, di dadanya tercantum nama Rijadhus Solihin. Ia adalah executive chef atau kepala koki yang bertanggung jawab atas makanan yang dihidangkan di restoran hotel tersebut.
Hari itu, Selasa (24/4/2018), Rijadhus atau Adhus (43) menyajikan soto ayam sebagai makanan utama, di samping deretan roti dengan keju dan selai ala Eropa. Sebuah wadah lainnya berisi nasi putih dan di sampingnya adalah ayam serundeng atau ayam yang ditaburi bumbu dari parutan kelapa yang digoreng. Di bagian meja lainnya tersedia bakwan jagung yang dilengkapi cabai hijau.
Delegasi Indonesia lahap menyantap makanan dengan cita rasa Indonesia itu. Sekalipun berada ribuan kilometer dari negeri tercinta, anggota delegasi tetap bisa menikmati kuliner Tanah Air yang akrab di lidah. Kehadiran camilan bakwan jagung, bakwan sayur, dan tahu isi yang selama sepekan itu dihadirkan bergantian membuat delegasi seperti makan di rumah sendiri.
Sementara sang koki, Adhus, terlihat berbincang santai dengan rekannya, pekerja hotel asal India, di bagian depan restoran.
Para pelayan dengan wajah Asia menawari teh dan kopi kepada delegasi. Selintas perawakan fisik mereka tak berbeda dengan orang Indonesia. Umumnya, para pekerja dan pelayan di hotel tersebut berasal dari Filipina, sebagian lainnya adalah orang Vietnam.
”Orang dari berbagai negara ada di sini. Indonesia tergolong jarang, dan acap kali kami dibayar lebih mahal karena untuk memperoleh pekerja asal Indonesia tidak mudah. Kualitas pekerja Indonesia juga dikenal baik karena pekerja keras dan ulet,” kata Adhus.
Sudah hampir 20 tahun Adhus bekerja di Dubai. Ia telah beberapa kali berpindah hotel, dan kini ia tergolong koki senior yang membawahkan tiga hotel sekaligus di Dubai, di bawah jaringan hotel Grup Accor. Ia bisa bertahan begitu lama di Dubai berkat tekad dan keuletannya belajar dari koki-koki lainnya di negeri itu.
”Sedikit orang bisa menguasai masakan Asia Tenggara. Koki dari China, misalnya, biasanya hanya bisa masak makanan China, sedangkan keahlian yang sama bisa dikuasai koki Indonesia. Makanan dengan cita rasa Indonesia pun terbukti bisa diterima orang dari berbagai negara. Hari ini saya masak masakan Indonesia, dan tidak ada komplain dari tamu lain,” ungkap Adhus.
Tamu Hotel Novotel Dubai sehari-harinya memang bukan hanya orang Indonesia. Sebagian besar tamu justru ekspatriat dari Eropa, Amerika, India, Pakistan, dan negara Timur Tengah lainnya. Mereka datang ke kota megah di tengah gurun itu untuk kepentingan bisnis, bertemu relasi, bekerja, atau sekadar transit dan liburan.
Tidak ada permintaan khusus dari delegasi Indonesia agar ada makanan Indonesia di meja makan. Pimpinan hotel melihat jumlah delegasi Indonesia yang menginap di hotel itu relatif besar, maka pilihan untuk menghadirkan lebih banyak makanan Indonesia pun diambil.
Pada hari-hari biasa ketika tidak banyak tamu Indonesia di hotel tersebut, makanan Indonesia tetap dihidangkan sebagai variasi makanan.
”Dulu atasan saya orang Perancis selalu minta dibuatkan rendang. Dia dan istrinya suka sekali rendang. Hanya saja rendangnya tidak mau terlalu pedas,” ujar Adhus.
Diplomasi ”kuliner”
Khusus untuk membuat makanan Indonesia, Adhus meminta rekannya, Euis Sutianah (39), membantunya di dapur Novotel. Euis baru bekerja di Dubai selama 8 tahun. Adhus pulalah yang merekrut Euis, yang sebelumnya bekerja di sebuah kedai makanan di suatu mal Dubai. Masakan Euis dinilai layak untuk restoran hotel. Euis pun menerima ajakan Adhus untuk berpindah kerja ke hotel.
”Hasil bekerja di sini lumayan, bisa untuk membantu sekolah anak. Anak saya sekarang sudah mau masuk kuliah,” ujar Euis, ibu dari seorang putri yang tinggal di Bandung tersebut.
Euis sehari-harinya bekerja di Novotel di Deira City Centre. Ia diperbantukan sementara di Novotel Suites, Jalan Al Barsha, yang lokasinya berdekatan dengan Mall of the Emirates untuk membantu Adhus menyajikan makanan Indonesia.
Bisa menyajikan makanan Indonesia untuk tamu dari berbagai negara bagi Euis suatu kebanggaan tersendiri. Gambaran diri sebagai orang Indonesia ikut terangkat karena sebagai minoritas di negeri orang, makanan Indonesia ternyata bisa tampil di meja-meja makan restoran dunia.
”Saya lebih merasa sebagai orang Indonesia ketika di Dubai daripada ketika saya pulang kampung. Kalau makanan Indonesia bisa dinikmati tamu dari berbagai negara, tentu bangga sekali,” kata Adhus.
Duta Besar Indonesia untuk Uni Emirat Arab, Husin Bagis, mengatakan, ada 102.000 orang Indonesia di negeri Timur Tengah itu. Umumnya warga Indonesia bekerja di sektor informal. Kesempatan bekerja di Dubai cukup menjanjikan karena Dubai aman untuk investasi, pajak rendah, dan dukungan bagi kehidupan pekerja yang baik. Setiap pekerja di Dubai mendapatkan fasilitas perumahan dan gaji yang relatif tinggi.
”Setiap bertemu dengan pejabat UAE, saya selalu memberi mereka flash disk berisi profil singkat Indonesia. Saya ingin mereka mengenal Indonesia. Sebaliknya, kalau ada persoalan dengan TKI, saya ikut bertanggung jawab karena ini menyangkut juga nama negara,” kata Bagis.
Apa yang dilakukan Bagis lazim dikenal sebagai bagian dari upaya diplomasi. Namun, melalui tangan Adhus dan Euis yang melahirkan rendang, soto ayam, dan ayam serundeng di meja makan hotel internasional, sejatinya mereka juga telah mengenalkan Indonesia, seperti halnya yang dilakukan diplomat. Peran-peran diplomasi juga dilakukan Adhus dan Euis yang konsisten menampilkan kuliner Indonesia di meja makan internasional.
Begitu juga para seniman yang menampilkan kesenian Indonesia dalam ajang ATM Dubai. Mereka tidak semata-mata menghibur pengunjung, tetapi juga sebagai duta kebudayaan.
John W McDonald dalam tulisan berjudul ”The Institute for Multi-track Diplomacy” dalam Journal of Conflictology (2012), mengatakan, diplomasi berkembang tidak hanya dilakukan oleh negara dan aktor-aktornya, tetapi juga organisasi, badan usaha, pebisnis, individu, ataupun kelompok lainnya. Aktor-aktor negara tidak menjadi satu-satunya duta negara karena segala hal yang menyangkut nilai kenegaraan atau kebangsaan bisa diemban siapa saja, termasuk individu warga negara.
Dengan konsepsi itu, tak salah apabila wajah Indonesia yang kaya hadir dalam sepotong bakwan dan tahu isi. Di Dubai, melalui tangan Adhus dan Euis yang ulet itulah, cita rasa kuliner Indonesia yang kaya rempah dinikmati warga dunia.