Panggung Dunia untuk Batik
Batik datang ke ”rumah” pengukuhannya sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda di Kantor Pusat UNESCO di Paris, Perancis. Lewat peragaan busana dan pameran bertajuk Batik for the World, tiga perancang mode Indonesia memanggungkan batik ke kancah internasional agar warisan itu tak sekadar menjadi piala pajangan. Batik yang dikenal di Tanah Air haruslah juga dikenal dunia.
Hujan mengguyur Paris sepanjang Rabu (6/6/2018) petang. Namun, tamu-tamu undangan dan pengunjung terus mengalir memenuhi Hall Salle 1 tempat digelarnya Batik for the World. Di ruangan itulah, tiga perancang mode, yakni Oscar Lawalata, Edward Hutabarat, dan Denny Wirawan, menggelar peragaan busana batik rancangan mereka.
Setelah tarian pembuka yang menjadi semacam ”penggoda” bagi mata terhadap indahnya kain batik, tamu dan pengunjung disuguhi video dokumenter tentang Indonesia secara umum dan proses pembuatan batik secara khusus. ”Biar bagaimanapun, ada orang yang belum tahu Indonesia. Jadi, melalui batik ini kami bercerita tentang Indonesia,” ujar Oscar yang menggagas Batik for the World.
Masing-masing perancang membawa delapan koleksi yang ditampilkan dalam peragaan busana. Oscar memilih batik dari enam daerah di Jawa Timur, yakni Trenggalek, Sidoarjo, Kediri, Ponorogo, Madura, dan Tuban untuk busana cocktail yang simpel dan busana siap pakai.
Batik warna alam dengan nuansa lembut hadir dalam terusan tanpa lengan yang longgar, juga atasan berupa outer yang bisa dipadu-padan dengan rok dan kemben. Kesan yang muncul adalah batik yang ringan dan bisa dipakai untuk aktivitas sehari-hari.
”Orang sering melihat batik dipakai untuk seremoni. Ini juga bisa dipakai untuk sehari-hari. Desainnya sangat simpel, jadi orang akan melihat sesuatu yang loose and light. Tidak selalu dibuat untuk acara khusus,” tutur Oscar.
Dia juga mengedepankan batik dengan pewarna alam yang digandrungi orang, terutama Eropa yang sangat menghargai produk ramah lingkungan. Nuansa musim panas juga ditonjolkan lewat motif flora yang membawa keceriaan. Oscar menambahkan elemen bordir dan manik-manik untuk mempercantik tampilan.
Kasual dan glamor
Segmen kedua menampilkan karya Edo yang mengusung batik cirebon dan batik pekalongan untuk busana pengantin kasual dan busana pantai. Motif mega mendung dan sawunggaling dengan perpaduan motif garis yang menjadi ciri khas Edo tampil semarak karena disesuaikan dengan musim panas di Eropa.
Gaun lebar dan longgar dengan palet warna merah, kuning, ungu, dan biru memunculkan gaya santai dan ringan. Presentasi itu dilengkapi dengan topi anyaman lebar yang dihiasi bunga warna-warni dan aksen garis di tepiannya, senada dengan tepian gaunnya.
”Koleksi saya fun. Saya bayangkan, ketika dia mengatakan ’I do’, di depannya terhampar laut. Batik yang saya pakai batik pesisir. Jadi, saya kembalikan dia ke pantai,” tutur Edo.
Koleksi itu, lanjut dia, tidak semata untuk busana pengantin, tetapi bisa juga untuk ke pesta. Edo ingin memberikan alternatif kepada orang-orang Eropa untuk mengenakan batik secara kasual, ditambah dengan riasan tipis sehingga nuansanya natural dan tanpa beban. Ini gaya Eropa, tetapi berakar Indonesia, katanya.
Pada segmen terakhir, Denny menampilkan busana malam yang mewah dan elegan dari batik kudus. Dia melanjutkan tema koleksi terakhirnya, Wedari, tetapi dengan gaya berbeda. Seri Wedari bergaya ningrat sehingga busana yang ditampilkan malam itu juga terlihat mewah, anggun, elegan, dan terkesan royal. Ditambah dengan perhiasan koleksi EPA Jewel karya Eliana Putri Antonio, tampilan batik kudus malam itu terlihat semakin glamor.
Denny memilih motif flora dan fauna khas corak batik kudus, seperti seruni, anggrek, juga merak dan bangau. Motif tersebut dibuat berukuran besar, mendominasi kain warna dasar hitam dan merah, serta diaplikasikan di atas bahan sutra, shantung, dan jacquard yang bertekstur sehingga kian menonjolkan kemewahannya.
”Gayanya oversized yang sekarang sedang digemari. Karena audiens Paris, saya buat busana European style. Teknik tradisional bukan berarti tidak bisa tampil modern,” ujar Denny.
Tak sekadar mode
Seusai peragaan busana, pengunjung dibawa ke Hall Miro dan Hall Segur untuk melihat pameran kain batik dari sejumlah daerah di Indonesia, antara lain Yogyakarta, Solo, Madura, Pekalongan, Cirebon, dan Kudus. Ada sekitar 100 lembar kain batik yang dikurasi bersama oleh Yayasan Batik Indonesia, Rumah Pesona Kain, dan Oscar Lawalata Culture yang menampilkan keragaman dan kekuatan motif batik lawas hingga batik modern.
Pengunjung tampak antusias mengamati dan bertanya tentang batik yang ditampilkan, baik dalam pameran maupun peragaan busana. Selama pameran yang berlangsung hingga 12 Juni, digelar pula lokakarya tentang batik Indonesia dan perkembangannya, juga pemakaian kain batik. Pengunjung juga bisa melihat proses pembuatan batik.
”Tidak mudah untuk berpameran di UNESCO. Seluruh dunia ingin pameran di sini. Berhubung yang memberi penghargaan terhadap batik adalah UNESCO, saya lalu membuat presentasi tentang dunia batik, industri batik, kehidupan pembatik, dan hubungannya dengan dunia mode,” papar Oscar, yang membuat konsep pameran selama dua tahun.
Setelah diakui dunia, ujar dia, jangan sampai batik didiamkan saja, seperti piala yang ditaruh di lemari. Menurut Oscar, busana batik bukan sekadar mode. Batik for the World bisa menjadi sekelumit bukti bahwa sejak dikukuhkan sebagai Warisan Budaya Dunia pada 2009, batik terus berkembang.
Berbicara tentang adibusana, sudah jelas batik masuk kategori tersebut, terlebih dilihat dari proses pembuatannya yang rumit dan lama, semuanya menggunakan tangan. Itulah sebabnya batik seharusnya lebih dihargai prosesnya, bukan hanya desainernya.
Ketiga perancang menawarkan gaya masing-masing dalam mengolah kain batik sehingga memperlihatkan keragaman dan kekayaan batik Indonesia. ”Baru tiga desainer yang menampilkan saja sudah terlihat kaya sekali ragamnya. Bayangkan kalau lima atau 10 orang, seperti apa gaungnya. Sayang kalau berhenti di sini,” tutur Renitasari Adrian, Direktur Program Bakti Budaya Djarum Foundation.