Merawat Kesadaran Literasi, Tak Sekadar Mencetak Pengarang
Oleh
Mohammad Hilmi Faiq
·4 menit baca
Kalangan berkebutuhan khusus kerap dianggap sebagai beban. Padahal, bisa jadi mereka memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang-orang secara umum. Lewat latihan dan komitmen yang kuat, kelebihan itu semakin mencuat sebagai sesuatu yang layak disanjung.
Itu, antara lain, yang menjadi tekad Fairuz Nurul Izzah, salah satu peserta Kelas Cerpen Kompas 2018. Fai, begitu dia biasa disapa, kebetulan termasuk gadis berkebutuhan khusus karena sindrom Asperger. ”Menulis penting karena saya ingin membagi-bagi hobi. Saya berkebutuhan khusus. Saya ingin semua orang tahu bahwa anak-anak berkebutuhan khusus mempunyai kelebihan di balik kekurangan mereka,” kata Fai yang kini memasuki masa kuliah sebagai mahasiswa baru.
Siang itu, Jumat (29/6/2018), Fai serius menyimak paparan pemateri Agus Noor yang menjelaskan tentang cara mengembangkan ide, gagasan, dan imajinasi dalam menulis cerpen. Agus, antara lain, menyarankan peserta Kelas Cerpen untuk jangan berhenti menulis. Tulis saja apa yang terlintas. Semua bisa diedit belakangan. Sesekali Fai dan juga selusin temannya tertawa saat Agus melucu.
Kelas Cerpen Kompas 2018 digelar oleh Kompas Institute. Sebenarnya sejak tahun 2012, harian Kompas telah menggelar lokakarya atau kelas menulis bagi umum. Seiring dengan kelahiran Kompas Institute, tahun ini Kelas Cerpen 2018 ditangani secara lebih khusus.
Kompas Institute menjaring peserta lewat karya-karya yang mereka kirim. Terdapat 107 pendaftar dan setelah diseleksi, tinggal 54 peserta. Mereka kemudian dibagi ke dalam tiga kelas berdasarkan tingkat kebutuhan masing-masing. Para peserta ini diampu oleh mentor-mentor yang mumpuni dan kompeten dengan karya-karya yang menjadi rujukan banyak penulis. Mereka adalah Ahmad Tohari, Martin Aleida, Agus Noor, Triyanto Triwikromo, Dewi Ria Utari, dan Linda Christanty. Juga dibantu fasilitator dari harian Kompas, yakni Putu Fajar Arcana, Frans Sartono, dan Sarie Febriane.
Para peserta ini memiliki latar belakang sosial dan profesi yang beragam. Begitu juga dengan rentang usia, mulai dari usia 13 tahun sampai 62 tahun. Salah satunya Felixianus Ali (36), yang lahir dan besar di Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.
Dalam dua tahun terakhir dia kuliah di sebuah universitas swasta di Malang jurusan ilmu komunikasi. Dia juga gemar menulis cerpen. Saat membaca pengumuman Kelas Cerpen Kompas, dia mencoba mengirim karyanya dan ternyata lolos seleksi. Masalahnya, dia tidak memiliki cukup uang untuk biaya mengikuti Kelas Cerpen dan membeli tiket Malang-Jakarta pergi-pulang. ”Saya lalu meminta bantuan Bupati Atambua, ternyata dikasih uang tiket dan biaya ikut Kelas Cerpen,” ujar Felix.
Makin percaya diri
Setelah dua hari mengikuti Kelas Cerpen Kompas 2018, Felix semakin percaya diri. Dia berniat menyelesaikan novelnya yang hampir rampung. Oleh karena itu, dia juga mencari informasi tentang cara menerbitkan novel. ”Saya juga lirik-lirik, siapa tahu ada yang tertarik,” ujar lajang yang ingin punya pacar ini penuh percaya diri.
Selain rasa percaya diri, Kelas Cerpen juga memicu peserta didiknya lebih leluasa mengembangkan imajinasi. Ini setidaknya dirasakan Inez Gazali (27). ”Saya lebih leluasa dan jauh lebih longgar dalam mencurahkan gagasan dibandingkan, misalnya, ketika mempraktikkan psikologi terapan,” kata sarjana psikologi ini.
Hal serupa dirasakan Herlina Rifa Paramartha (15) yang baru lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri 8 Yogyakarta. Sejak kelas VII SMP, dia mulai tertarik menulis karena dengan demikian dia bisa berimajinasi. Kelas Cerpen menguatkan dorongan dalam dirinya untuk mengembangkan cara membangun cerita lewat imajinasi. Dia memiliki obsesi menulis novel fiksi-ilmiah.
Obat kegelisahan
Jika Rifa dan Inez terdorong untuk mengembangkan imajinasi, Risfa Munir (62) merasa menemukan cara menjawab kegelisahan batinnya. Sebagai seorang planolog, dia melihat pembangunan dipaparkan secara kaku, hanya menyinggung tentang fisik bangunan. Padahal, di luar itu ada orang-orang yang terdampak oleh pembangunan. ”Perlu suatu cara yang plastis dalam menjelaskan itu,” kata Risfa yang kemudian sejak dua tahun terakhir mempelajari teknik menulis fiksi, terutama cerpen.
Dari Kelas Cerpen, dia juga makin sadar bahwa beralih dari teknik menulis nonfiksi ke fiksi tidak mudah. Dia perlu mengasah penciuman, pendengaran, dan penciuman, selain penglihatan. Sebagaimana yang diajarkan Triyanto, dengan melibatkan banyak indera, deskripsi atau bangunan cerita akan lebih kuat.
Secara umum, Triyanto melihat para peserta Kelas Cerpen, setidaknya untuk kelas yang dia ampu, sudah mampu mengonstruksi ulang sebuah gagasan. Dengan kata lain, mereka memiliki cukup ilmu dan alat untuk menjadi penulis bagus. Kuncinya, mereka perlu lebih banyak latihan. Kelas Cerpen Kompas menjadi ajang yang sangat membantu bagi para sastrawan dan calon sastrawan.
Ini sebangun dengan penilaian Ahmad Tohari. Bagi dia, Kelas Cerpen seperti harapan para fiksiwan, begitu dia menyebut para penulis fiksi, dalam mengembangkan bidang humaniora. Dia juga senang harian Kompas memikirkan wadah penampung karya peserta Kelas Cerpen Kompas, yakni buku. ”Perlu juga ditampung di media digital dengan editor sastra di (platform) digital,” kata penulis Ronggeng Dukuh Paruk ini.
Kelas Cerpen Kompas 2018 mencoba mencetak pengarang yang bukan saja sekadar menguasai teknik menulis. Diharapkan mereka juga menularkan kesadaran literasi bagi orang-orang di sekelilingnya.