Bersemi di Lapau Kawa
Kedai-kedai yang menyajikan minuman olahan daun kopi atau kerap disebut kawa belakangan marak di ”Tanah Minang”. Berbagai aktivitas warga pun dimulai dan disudahi dari lapau kawa itu. Pada kawa, ada refleksi perjalanan orang Minang melintas zaman.
Langit mulai gelap di atas kedai kawa milik Nursalmah (55) di Nagari Tabek Patah, Salimpaung, Tanah Datar, Sumatera Barat, beberapa waktu lalu. Bukannya sepi, kedai yang berada di tepi sawah itu malah semakin ramai, termasuk oleh serombongan pemburu babi yang beranjak masuk.
Sekejap saja, hidangan air kawa sudah tersaji di atas meja kayu. Wadah minuman itu menggunakan batok kelapa dengan tatakan bambu. Tanpa menunggu lama, kawa pun segera diseruput. ”Badan langsung terasa segar dan bertenaga,” kata Sutan Prapatiah (70), pemburu babi tertua dalam rombongan itu. Ia pelanggan setia minuman kawa di kedai itu.
”Lihat sendiri, usia saya sudah 70 tahun, tapi masih sanggup berburu babi,” kata Sutan disambut gelak tawa teman-temannya.
Bagi mereka, meneguk air kawa dapat membakar semangat, meningkatkan stamina, dan menjaga kebugaran. ”Kalau di Korea ini minuman ginseng, kalau di Minang, ya, kawa,” lanjutnya.
Sutan bersama delapan temannya baru pulang dari berburu babi. Anjing pemburu dibawa untuk mengejar babi yang belakangan merajalela memasuki kebun-kebun petani sehingga banyak kebun porak poranda.
Di tengah kedai, Sutan dan teman-temannya membahas pengalaman mereka berburu. Menurut Sutan, sudah menjadi kebiasaan, selepas berburu mereka mampir di kedai untuk minum kawa hangat ditemani bakwan dan pisang goreng. Penat dan lelah pun lepas. Pikiran kembali segar. Mereka pun membahas rencana berburu berikutnya.
Tak jauh dari Sutan dan rombongannya, di sudut lain kedai itu, Danusril (52) menikmati minuman serupa dengan istri dan anaknya, Waskariani (46) dan Reza Vahlevi (15). Pesanan di atas meja tampak beragam. Danusril memesan kawa murni, sedangkan Reza lebih suka kawa susu.
Kawa murni berarti rebusan daun kopi tanpa dicampur gula, sedangkan kawa susu berarti minuman dicampur susu putih agar lebih manis dan kental. Di atas meja, minuman kawa ditemani dengan pisang goreng, tahu, dan tempe. Tanpa menyeruput minuman kawa, Danusril selalu merasa ada yang kurang. ”Paling tidak 2-3 tiga kali seminggu mampir. Ini sudah seperti minuman wajib bagi warga Minang di sini,” katanya.
Batok hitam
Bagi yang belum terbiasa, air kawa lebih tampak seperti teh rasa kopi. Rasanya agak sepat seperti teh yang berwarna pekat. Ada sedikit rasa kopi, tetapi tidak tebal sebagaimana minuman dari seduhan bubuk kopi.
Namun, bagi sebagian besar orang Minang dan Kerinci, menikmati kawa menimbulkan kesegaran. Apalagi jika disajikan dalam wadah batok kelapa, terasa lebih nikmat.
Di kedai kawa milik Nursalmah (55), kawa tersaji dalam batok kelapa. Warna batok hitam mengilap. Tatakannya dari potongan bambu. Gaya tradisional sekilas memberi kesan magis. Namun, bagi warga setempat, itu membangkitkan semangat menjaga warisan nenek moyang.
Kedai-kedai kawa di Tanah Minang tumbuh semarak sejak 2007. Ketika pariwisata tengah naik daun di Tanah Minang, pengusaha kopi ”Kiniko” Satrio Budiman (44) terpikir ingin mengangkat oleh-oleh khas dari Tanah Datar.
Kawa pernah menjadi minuman tradisi di sana, tetapi cukup lama meredup. Cukup lama kebiasaan berkumpul dari rumah ke rumah untuk menikmati kawa hangat menghilang dari keseharian masyarakat Minang.
Satrio pun ingin mengangkat lagi kawa menjadi kuliner kebanggaan orang Minang. Ia mengajak petani-petani di kebun mengolah kawa, lalu hasilnya dikemas dan dijual dalam gerai miliknya di Tabek Patah, Tanah Datar. Ia menyediakan minuman kawa gratis bagi siapa saja yang datang. Akhirnya semakin banyak bus-bus pariwisata datang silih berganti mengantar wisatawan untuk mencicipi minuman itu.
”Dalam sehari habis 2 kilogram serbuk daun kopi untuk bisa diminum gratis,” katanya. Kawa pun kian laris. Olahan daun kopi ini bersanding dengan oleh-oleh lainnya, seperti bubuk kopi dan balado keripik singkong.
Kedai-kedai lain ikut melirik tren itu, termasuk kedai Nursalmah. Warung sate, warung gorengan, hingga kedai susu kerbau/dadih turut menyediakan minuman penutup berupa kawa hangat.
Punah
Antropolog dari Universitas Andalas, Nursyirwan Effendi, mengatakan, tradisi berkumpul sembari minum kawa di rumah dan kebun sebagaimana marak di Kerinci telah punah di Tanah Minang. Bahkan sampai dengan tahun 1996, ia mengaku belum mendengar ada minuman kawa disajikan di lapau. Tren lapau kawa yang tumbuh belakangan ia sebut sebagai fenomena pinggiran. Fenomena ini terkait dengan kehidupan masyarakat Minang di masa lalu.
Minuman kawa juga menjadi bagian dari politik identitas. Pada era kolonial, masyarakat Minang memantapkan diri mereka sebagai bangsa peminum kawa, bukan peminum kopi. Hal itu sebagai penegas identitas mereka yang berbeda dari bangsa penjajah dan penindas. Mereka menyebutkan dengan tegas bahwa para peminum kawa sebagai bangsa pencinta damai dan penebar toleransi.
Sejarawan Universitas Negeri Padang, Mestika Zed, bahkan menyebut sebuah pemeo Melayu Kopi Daun. Pemeo itu ia tuangkan dalam tesisnya berjudul ”Melayu Kopi Daun: Eksploitasi Kolonial dalam Sistem Tanam Paksa Kopi di Minangkabau Sumatera Barat (1847-1908)”.
Menurut Mestika, kawa melekat dalam pengalaman sejarah ekonomi Minangkabau pada abad ke-19. Sewaktu Belanda menerapkan sistem tanam paksa kopi di Sumatera Barat, masyarakat diperintahkan menanam kopi. Panen buah kopi wajib disetor ke gudang-gudang kopi (pakhuis).
Daun penting
Mulanya tak ada masalah. Sebab, bagi orang Minang, yang sudah mengenal tanaman kopi jauh sebelum kedatangan Belanda, daun kopi lebih penting daripada buahnya. Daun kopilah yang mereka konsumsi selama turun-temurun. Sebaliknya, bagi Belanda, buah kopi lebih berharga sebagai komoditas dunia.
Ketika harga kopi naik, orang Minang pun bersedia menanam lebih banyak dari yang ditetapkan Belanda. Namun, hasilnya diserahkan sebagian saja ke pakhuis. Sebagian lagi dijual sendiri ke pantai timur sampai ke Singapura dan Malaka.
”Mereka yang pernah hidup pada zaman penjajahan dulu pastilah masih ingat bagaimana Belanda, kalau sudah kesal, gampang melontarkan ucapan: God verdomd zeg.... Melayu kopi-daun!” ujar Mestika.
Kalau diterjemahkan kira-kira begini, ”Sialan.... Dasar Melayu kopi daun”. Belanda menganggap orang Minang hanya tahu daun kopi dan menyia-nyiakan buahnya. Ucapan itu dianggap sebagai penghinaan. Warga tak rela dicap bodoh.
Pemeo itu, kata Mestika, pada gilirannya bukan lagi sekadar urusan selera, melainkan refleksi orang Minang menanggapi kekuatan besar seperti kolonialisme Belanda. Saat mereka tak mampu melawan secara langsung, mereka hadapi melalui penghindaran. Ekspresi bungkam itu ditunjukkan James C Scott dalam bukunya, Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance (1985).
Petani Minangkabau dinilai berhasil menyiasati tekanan kekuasaan politik ekonomi Belanda. Mereka bahkan cukup rasional, melirik risiko pasar dan pilihan terbaik bagi hidupnya. Terbuka atas ide-ide baru. Itu sebabnya, cara orang Minang menghindari tanam paksa kopi dengan beralih menanam komoditas lainnya. Pada akhir abad ke-19, Belanda menghapus tanam paksa. Tanam paksa dianggap gagal setelah melihat kenyataan pasokan kopi dari Sumbar terus anjlok dari semula 200.000 pikul per tahun menjadi hanya 20.000 pikul.
Sejarah membuktikan, rasa sepat dan pahit daun kopi berkhasiat membangun semangat dan memampukan masyarakat bertahan melintasi zaman.