Daun Kopi yang Meredam Konflik
Bunyi kentongan yang bertalu-talu di tengah kebun di sekitar Danau Kerinci, Jambi, bukanlah pertanda bahaya. Bunyi itu menandai saat petani menyudahi kerja, lalu sejenak menikmati kebersamaan ditemani minuman hangat dari olahan daun kopi.
Lewat tengah hari, ketika matahari mulai bergeser, suara kentongan terdengar dari kejauhan. Bulyadi (54) segera menyelesaikan petikan terakhir buah merah kopi. Dia pun membalas suara dari kejauhan itu dengan menabuh kentongan miliknya dan kemudian bergegas menuju ke sebuah saung kecil di tengah kebun kopi.
Setiba di kebun milik John Afrizal (40), tempat asal suara kentongan memanggil itu, para petani menyambutnya. Di dalam saung tersaji minuman hangat dalam sebuah tabung bambu. Dari wadah itulah minuman hangat tersebut dituangkan ke dalam tempurung kelapa. Satu per satu terisi, minuman pun siap.
”Inilah nikmatnya minum bersama. Kalau sendiri, rasonyo tidak enak,” ujar Bulyadi, petani dari Desa Jujun, Kecamatan Keliling Danau, Kabupaten Kerinci, Jambi, saat ditemui Kompas, beberapa waktu lalu.
Sekejap saja minuman hangat itu habis diteguk. Namun, rasa dahaga mereka belum lagi lepas.
Pekerjaan hari itu sungguh berat. Mereka pun kembali menyiapkan setumpuk daun kopi. Daun-daun itu layu dijemur semalaman di langit-langit saung. Ujung daun dijepitkan pada bilah bambu, lalu disalai atau diasapi di atas perapian.
Daun itu tidak boleh terkena api langsung karena bisa hangus dan cita rasanya tidak lagi baik. Setelah kering kerontang, daun diremas-remas menjadi serpihan. Bagaikan daun teh, tumpukan daun kopi itu pun dijerang dalam ceret.
Air jerangan pun berubah kehitaman. Aroma kopi menyeruak lembut ke udara. Setelah matang, minuman kembali dibagi-bagikan. Rasanya sedikit pahit. Para petani ini pun menikmatinya tanpa gula.
Di Kerinci, minuman hangat hasil olahan daun kopi ini disebut kawo. Sementara di negeri tetangganya, Sumatera Barat, biasa disebut kawa. Dalam bahasa Melayu, kawa ataupun kawo berarti daun kopi.
Apa yang menarik dari minuman itu? Tak ada rasa manis di sana. Rasa pahitnya pun tak nendang. Minuman itu barangkali lebih pas disebut teh ketimbang kopi.
Kebiasaan kumpul
Minuman itu rupanya melebur bersama tradisi berkumpul orang-orang yang tinggal di sekeliling Danau Kerinci, Kabupaten Kerinci. Setiap pagi selepas bangun tidur, para petani pun berkumpul di salah satu rumah. Di situlah minuman kawo itu siap diseruput.
”Mata rasanya belum terbuka kalau belum minum kawo,” kata Efri Efendi, petani kopi lainnya.
Setelah perut terasa hangat dan semangat mulai menyala, barulah mereka siap berangkat kembali ke kebun. Selanjutnya, istirahat siang hari pun dilalui dengan berkumpul dan minum kawo di kebun. Begitu pula malam harinya, mereka berkumpul dan minum bersama.
Sembari menyeruput minuman hangat itu, berbagai diskusi mengalir, mulai dari masalah tanaman terserang hama, harga bahan kebutuhan pokok, isu politik, hingga kegemaran berburu babi. Topik terakhir yang kerap seru dibahas mulai dari perlengkapan yang akan dibawa berburu hingga penetapan lokasi perburuan.
Setelah berburu, obrolan pada malam hari biasanya lebih seru. Mengemukalah pengalaman mengejar babi, tersandung batu dan kayu, atau jatuh tertubruk warga lain saat berlarian. Penutur biasanya bercerita sembari tertawa terpingkal-pingkal, membayangkan adegan yang dialaminya. Bagai gayung bersambut, cerita pun terus mengalir dari satu kisah ke kisah lain.
Derai tawa memenuhi seisi ruangan. Keakraban dan relasi sosial pun terbangun erat di sana.
Saking seringnya warga berkumpul dan minum kawo bersama, hampir tak terdengar ada konflik di desa itu. Begitu satu persoalan muncul di desa itu, atau antarwarga, akan langsung dibahas dan diselesaikan. Tidak pernah ada masalah berlarut-larut. Kedekatan dengan sesama warga juga mendorong terciptanya rasa malu untuk berbuat onar.
Meski hanya tersaji seduhan kawo, tradisi berkumpul telah sedemikian melekat dalam peradaban masyarakat di sekeliling Danau Kerinci. Istilahnya, tiada hari tanpa kawo.
Selain di Jujun, tradisi berkumpul sambil minum kawo juga semarak di Desa Keluru, Bidun, Tanjung Batu, dan Talang Lindung. Rumah dan kebun yang pemiliknya berekonomi lebih mapan biasanya menjadi tempat persinggahan petani. Namun, hanya terdapat beberapa rumah yang paling ramai disinggahi. Biasanya itu karena si pemilik rumah pandai meracik daun kopi.
Tradisi tua
Tradisi minum kawo pada masyarakat Kerinci sudah berlangsung lama. Bulyadi pun tak tahu sejak kapan persisnya kebiasaan itu mulai hidup. Yang dia ingat, sejak masih kecil, nenek dan kakeknya juga terbiasa berkumpul dengan kerabat sekitar untuk minum air kawo.
Leluhur Bulyadi adalah petani kopi. Dari mereka pula dia belajar mengolah minuman itu. ”Dahulu di setiap rumah pasti ada tabung kawa dari bambu dan batok kelapa,” katanya.
Tabung dari bambu itu berfungsi menyimpan air kawo yang telah direbus. Bagian atas bambu disumpal dengan sabut agar hangatnya minuman lebih awet.
Hampir setiap keluarga pasti memiliki tabung dan batok kelapa. Pada masa kini, tabung bambu dimodifikasi dengan ukiran.
Dia bercerita, sewaktu masih kecil, dirinya mengaji dan belajar silat, orangtuanya rutin menyuguhi minuman kawo. ”Badan terasa lebih bertenaga. Latihan silat pun tambah semangat,” ujarnya.
Perdagangan
Ketika kolonial Belanda menginjak tanah Kerinci tahun 1902, tanaman kopi sudah ada di Kerinci. Begitu juga dengan tradisi minum air kawo. Warga Kerinci meyakini, kopi didatangkan pertama kali oleh jemaah yang pulang berhaji di Tanah Suci sejak abad ke-16.
Meski kopi asal Kerinci ramai diperdagangkan pada abad ke-17, Belanda baru mengembangkan penanaman kopi di ”Sekepal Tanah Surga” itu pada 1933, dengan membangun kebun kopi mulai dari Kecamatan Batangmerangin di hilir Danau Kerinci hingga wilayah Kayu Aro di kaki Gunung Kerinci.
Iskandar Zakaria, pamong budaya asal Kerinci, menerangkan, semula warga belum mempunyai pengetahuan untuk mengolah buah kopi. Panen buah kopi langsung dijual kepada tengkulak dengan harga rendah.
Masyarakat juga tak memiliki peralatan yang memadai untuk mengolah biji kopi sehingga satu-satunya cara menikmati minuman adalah dengan memanfaatkan daun kopi. Belakangan, ketika pengolahan buah kopi mulai dikenal, warga pun belum mendapatkan harga biji kopi menguntungkan.
Dalam keterbatasan ekonomi, berkumpul sembari menikmati pahitnya air kawo seolah menjadi obat bagi warga Kerinci. Ruang sosial pun terbangun dengan sendirinya dalam tradisi itu.
Seduhan kawo bukan lagi sekadar pelepas dahaga, melainkan juga peluruh duka, perekat batin, dan penyeduh perdamaian.