Kalau ingin melihat wajah kejam dunia, cobalah kunjungi akun media sosial milik para pesohor. Caci maki dengan kata-kata kasar dan jorok dilontarkan ribuan akun warganet tanpa putus. Jempol yang ”gatal” mengisi kolom komentar pun bisa beraksi tanpa ingat ajaran tata krama dan norma sosial.
Sejumlah selebritas mengungkapkan pengalaman mereka dihujani caci maki di akun media sosial. Sebagian memilih diam, sebagian lain menanggapi dengan santai. Salah satunya cerita penyanyi Yuni Shara yang dihujani komentar negatif saat mengunggah fotonya yang mengenakan tenun ulos. Balutan ulos yang cantik itu menampakkan bahunya.
Yuni menerima sangat banyak komentar menghina secara fisik, juga tudingan ketidakpantasan terkait usia, bahkan agama. ”Aku sudah bisa menghadapi komentar semacam itu. Kalau mau kutanggapi, kulihat dulu beberapa hal. Aku lihat dulu akun yang komentar. Kalau akun bodong, ya enggak aku tanggapi,” ujar Yuni.
Pengalaman pahit mendapat komentar negatif juga dilontarkan penyanyi Riafinola Ifani Sari yang akrab disapa Nola B3. Beberapa waktu lalu, film perdana putrinya, Naura, yang berjudul Naura dan Genk Juara dituding mendiskreditkan umat Islam oleh sebuah akun media sosial (medsos) milik seorang perempuan. Pemilik akun itu lalu menyerukan agar tidak usah menonton filmnya. Nola lalu menelisik akun tersebut dan memilih untuk tidak menanggapi komentarnya.
Contoh lain adalah pengalaman aktris Dewi Sandra yang menerima komentar negatif tentang kehidupan pribadinya yang pernah gagal dalam berumah tangga. Dewi terbuka menerima komentar dari siapa pun di medsos, juga tidak anti berdebat, karena ia meyakini pandangan dan pendapat orang tak bakal sama. Namun, komentar itu seharusnya disampaikan dengan sopan.
”Memang fakta kalau saya pernah gagal berumah tangga. Namun, jangan dibilang itu dilakukan sengaja untuk mencari sensasi. Mereka berkomentar seolah lebih tahu dari apa yang saya alami,” ujar Dewi.
Iseng
Di sisi seberang, ada para pemilik akun yang berkomentar di akun pesohor. Sebenarnya apa yang mendorong mereka menuliskan kata-kata di kolom komentar itu?
Barbie Shine (30), warganet asal Solo, memberi komentar pada postingan baju Yuni Shara. Menurut Barbie, dia hanya menimpali komentar warganet lain. ”Aku, kan, cuma beropini. Aku sih enggak merasa itu menyinggung. Kalaupun aku tulis nanti dia akan operasi plastik, seperti kata warganet lain, buatku itu, kan, sesuatu yang biasa dilakukan banyak artis,” katanya.
Barbie mengikuti akun medsos milik sejumlah artis lain walau tak terlalu intens. Dia pilih-pilih dalam memberi komentar. Terhadap artis yang dinilainya selalu konfrontatif dalam menjawab penggemarnya, dia tak ingin berkomentar. Dia pun sebenarnya khawatir komentarnya di medsos akan mendatangkan dampak buruk, misalnya persoalan hukum.
Sementara Ahmad Zaki (30) merasa tak ada hal lain yang terlintas di benaknya selain iseng belaka tatkala menaruh komentar di akun medsos para pesohor. Namun, ada kalanya, dia gusar dengan tingkah laku pesohor yang dinilainya tidak pada tempatnya. Risiko dicaci balik pun sudah siap ditanggungnya.
”Kebanyakan cuma iseng, tetapi ada beberapa (komentar) yang gemas karena artis itu pamer atau sok pintar. Komentar pun jadi nyinyir,” tutur Zaki, karyawan swasta di Jakarta.
Zaki mencontohkan, ia pernah berkomentar di akun seorang pembawa acara stasiun televisi swasta yang tidak menjaga sopan santun saat shooting di situs cagar budaya di Yogyakarta. ”Saya komentar ’belagu orang Jakarta, gak tau diri’,” ujarnya.
Dari beberapa keisengannya berkomentar nyinyir di medsos pesohor, Zaki sering mendapat komentar balik dari penggemar si pesohor. ”Paling fans si artis komentar balik. Pernah juga dikata-katain ’bego’,” ucap Zaki sembari tertawa.
Muti Ara (29) juga pernah mengalami hal serupa. Karyawan swasta di Jakarta ini pernah iseng berkomentar di akun medsos seorang penyanyi. ”Gara-gara cuma nanya kok mau jadi duta produk minuman keras, padahal selama ini dia mengagung-agungkan hidup sehat. Niatnya iseng saja. Eh, malah diserang sama fans si penyanyi,” tutur Muti.
Kata-kata jorok, hujatan, dan sumpah serapah pun diterima Muti akibat komentarnya. Ada juga yang mencoba membongkar akun Instagram miliknya yang diatur privat, atau istilahnya digembok. Namun, akhirnya posting si artis dengan latar logo minuman keras itu dihapus.
”Sebenarnya saya enggak sering komentar di medsos. Kadang-kadang saja kalau ada postingan artis yang menggelitik. Misalnya, dia komentar soal isu terkini atau update soal kegiatannya. Kadang buat bercanda dengan teman saat artis idola mengunggah foto kece. He-he- he,” ungkapnya.
Iwan Setyawan, CEO Provetic Indonesia, perusahaan jasa konsultasi strategi komunikasi dan big data, menilai, medsos memberi peluang pada siapa pun untuk mengekspresikan pikiran dan ide, termasuk kegelisahan, kapan saja dan di mana saja.
Literasi digital
Loncatan perubahan dalam dunia komunikasi digital terjadi sangat cepat dan drastis. Sayangnya, hal itu tidak diimbangi dengan pendidikan literasi digital yang kuat. ”Akibatnya, tidak semua orang bisa mengungkapkan pemikiran secara elegan di medsos. Kedalaman berpikir sering dikalahkan kecepatan jari-jemari kita,” papar Iwan.
Mengapa warganet cenderung ”cerewet” di medsos, menurut dia, karena banyak isu bergulir cepat dan memancing, membuat jempol pembacanya ”gatal” untuk segera menuliskan komentar.
Hanya segelintir orang yang sadar bahwa medsos bukan diskusi di ruang tertutup dengan audiens terbatas. Bahasa tulis di medsos tidak disertai intonasi, ekspresi wajah, dan tatapan mata sehingga interpretasinya bisa bermacam-macam. Maksud positif pun bisa tertangkap dan dirasakan negatif.
Medsos sekarang jadi semacam panggung tempat mengumumkan diri dengan tujuan agar dilihat orang banyak. Namun, pengguna medsos belum sepenuhnya menyadari bahwa perilaku di medsos juga bisa berimbas ke dunia nyata.
”Kita sekarang ada di persimpangan jalan. Rambunya belum jelas. Orang jadi saling bertabrakan. Setelah mencaci, lalu minta maaf. Orang sedang kaget dengan media sosial. Akibatnya, mereka jor-joran, kebablasan. Sekadar regulasi tidak akan cukup. Perlu gerakan massal untuk membenahinya,” ungkap Iwan.
Dalam pandangan Direktur Indonesia New Media Watch Agus Sudibyo, masyarakat seharusnya belajar tentang batas-batas yang jelas antara bentuk komunikasi interpersonal, komunikasi dalam kelompok kecil, dan komunikasi publik.
”Mereka mengira apa yang disampaikan sebatas bentuk komunikasi antarorang. Padahal, media sosial adalah bentuk hibrid yang bisa menyebarkan pesan antarpersonal ke ranah publik,” papar Agus.
Tak heran, tambahnya, saat menggunakan medsos, ciri-ciri manusia modern bisa hilang. Tak peduli orang berpendidikan, pejabat, atau pemuka agama, mereka bisa jadi orang yang berperilaku jauh dari predikat luhurnya.
(WISNU DEWABRATA/TATANG MULYANA SINAGA/FRANSISCA ROMANA NINIK)