Negara kota yang mati. Sejak lama hanya menjadi perlintasan lalu-lalang kendaraan jalur Gilimanuk menuju Denpasar. Dulu ada dua gedung bioskop yang menjadi jantung kehidupan kota, tetapi tahun 1990-an keduanya rontok, karena pengelolanya tak lagi kebagian film. Keadaan ini membuat para remaja nyaris tak memiliki ruang untuk menyalurkan kelebihan energi setelah lepas dari sekolahan.
Nanoq da Kansas (53), sastrawan yang sudah lama gelisah melihat masa depan kota yang kian hari kian mundur. Para remajanya seolah-olah berada dalam jebakan ”madesu” alias masa depan suram. Lantaran tak ada universitas yang memadai, sebagian besar remaja tamatan SMA pergi meninggalkan kota dan barangkali banyak yang tidak kembali. Ia selalu bertanya, lantas siapa yang menjadi pengelola kota ini?
Baru enam tahun lalu ia bisa membangun Rompyok Kopi di Jalan Udayana Nomor 26 Negara, Kabupaten Jembrana, Bali. Lokasi ini berada di sisi kiri jalur kendaraan dari Gilimanuk menuju Denpasar. Secara fisik Rompyok Kopi, berupa bangunan gubuk bambu beratap raab (rajutan daun nipah).
Istilah ”kopi” di sini lebih berasosiasi pada kebiasaan berkumpul sambil bercerita tentang apa saja, terutama tentang situasi kota. Rompyok Kopi tidak bisa disamakan dengan warung kopi dalam pengertian sesungguhnya. Nanoq lebih meniatkannya sebagai tempat berkumpul bagi anak-anak muda kota, yang memiliki kegelisahan yang sama, bagaimana mengisi hari-hari agar tak menjemukan.
Lagi pula, kata seniman bernama asli I Wayan Udiana ini, di sini hanya dijual makanan-makanan yang ”cuma” bisa dimasak oleh dirinya sendiri. Nanoq melakoni peran ganda. Ia koki untuk pesanan-pesanan makanan dan minuman bersama istrinya dan beberapa orang relawan, sekaligus juga ”koki” bagi para remaja yang ingin berlatih mendalami seni.
”Aku ini koki sesungguhnya, seni memasak di dapur aku implementasikan dalam seni musik, teater atau puisi,” katanya pertengahan Juni 2018 lalu.
Di Rompyok Kopi setidaknya bernaung tiga komunitas yang langsung diampu oleh Nanoq. Sore itu, sedang berlatih para remaja yang tergabung dalam kelompok musikalisasi puisi Badai di Atas Kepalanya. Para remaja setara SMA ini sedang mempersiapkan diri untuk pentas di Kota Denpasar.
Di antara mereka ada Dinda (19) yang baru saja diterima di Fakultas Sastra Universitas Ganesa Singaraja, Bali. Dinda sejak SMP sudah bergabung di Rompyok Kopi sampai akhirnya memilih kuliah di fakultas sastra. ”Seperti menemukan kawan-kawan yang seide di sini,” kata Dinda.
Gung Indra (21) yang kini kuliah di sebuah sekolah pariwisata di Nusa Dua, selalu pulang kampung ke Negara jika ada kegiatan musikalisasi puisi. Ia juga bergabung di komunitas Badai di Atas Kepalanya. ”Kangen aja sama teman-teman,” katanya.
Dua komunitas lainnya, komunitas Kertas Budaya yang lingkup kegiatannya bersastra, seperti penulisan kreatif, pembacaan puisi, termasuk di dalamnya bermain teater. Lalu khusus teater Nanoq dan kawan-kawan mendirikan Bali Eksperimental Teater (BET), kelompok teater yang mengembangkan teater melalui olah tubuh.
Relawan
Seusai berlatih dengan Badai di Atas Kepalanya, Nanoq berpindah ke panggung di halaman belakang. Ia menemani Putu Arya Putra Ardika (16) yang dikirim gurunya untuk berlatih memainkan monolog. Arya sedang dipersiapkan mengikuti Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) di Denpasar. ”Banyak siswa yang dikirim guru sekolah ke Rompyok Kopi. Aku menemani latihan saja,” kata Nanoq merendah.
Arya sendiri baru pertama kalinya mengenal teater monolog. ”Tidak pernah menonton teater, apalagi bermain teater,” kata siswa SMA 2 Mendoyo ini.
Ia sendiri kaget mengapa ditunjuk gurunya untuk mewakili Jembrana dalam lomba di tingkat provinsi.
Nanoq selalu secara sukarela melatih para remaja membaca puisi, bermain teater, atau bermain musik. ”Tidak ada janji honorarium apa pun. Pokoknya saya senang saja,” katanya.
Kendati kemudian banyak di antara kelompok dan remaja yang dilatihnya menjadi juara di berbagai ajang perlombaan, tak kebagian hadiahnya pun buat Nanoq tidak masalah. ”Artinya, kan, minimal mimpiku memberi anak-anak kegiatan positif sudah cukup,” katanya.
Puing
Rompyok Kopi dibangun dari puing-puing ketiadaan. Bangunan utama tempat ini sebenarnya rumah dinas milik Pemerintah Kabupaten Jembrana yang telah lama ditinggalkan. Nanoq kemudian merehabnya dan melengkapinya dengan fasilitas air, listrik, dan Wi-Fi. Selain mendirikan beberapa rompyok, Nanoq membangun panggung kecil di halaman belakang. Dana membangun panggung ia pinjam dari Kredit Usaha Rakyat Bank Rakyat Indonesia sebesar Rp 20 juta yang diangsur selama 4 tahun.
”Sampai sekarang saya cicil Rp 635.000 per bulan,” ujar Nanoq sembari terkekeh. Ia juga heran mengapa BRI bisa memberi pinjaman usaha, padahal uangnya ia pakai membuat panggung.
Selama dua tahun terakhir, keberadaan panggung di halaman belakang itu menjadi amat penting. Di sini kemudian tak hanya berkumpul para remaja. Para orangtua, sejawat Nanoq di SMP atau SMA dulu, sering kali menggunakan panggung itu sebagai arena bereuni.
Pada Kamis (14/6/2018) lalu, misalnya, sekelompok orangtua alumnus SMPN 1 Negara dan SMAN 1 Negara membuat reuni dadakan. ”Kita senang ada rompyok, jadi anak-anak juga bisa ketemu guru di sini,” ujar I Komang Gede Tri Usada (53), guru SMPN 2 Negara, yang mengadakan reuni malam itu.
Rompyok Kopi akhirnya tak hanya hadir secara harfiah sebagai tempat menghirup kopi. Ia tumbuh menjadi titik simpul bagi para remaja di sebuah kota mati untuk menata ulang masa depan dari puing-puing yang tersisa. Di sini, mereka seolah menemukan bekal hidup yang berguna, kelak di kemudian hari. Setidaknya pula membentengi mereka dari pengaruh negatif yang bertebaran di penjuru kota.