Mengurai Estetika Kimono
Sejarah kimono telah terukir sejak tahun 1100. Kostum nasional Jepang ini berevolusi dari kain sederhana hingga menjadi bentuk modern yang kita kenal sekarang. Ada teknik dan dedikasi para pembuatnya yang membuat keindahan sebuah kimono tidak memudar dan bisa bertahan melewati usia 100 tahun.
Yuko Nakano dan Miyuki Ishii, dua pengajar dari Kyoto Kimono Gakuin, dengan piawai memakaikan kimono kepada model-model di atas panggung. Keduanya bergantian memberikan penjelasan tentang seluk-beluk kimono kepada pengunjung yang memadati aula The Japan Foundation, Sabtu (30/6/2018), dalam acara ”Cultural Experience through Kimono Experience”.
Ada berbagai macam jenis kimono, tergantung siapa pemakai dan apa acaranya. Dalam acara itu, diperkenalkan tiga jenis kimono yang cukup populer, yakni furisode atau kimono lengan panjang, montsuki hakama atau kimono untuk pria, dan hanayome atau kimono pengantin perempuan.
Seorang model kemudian naik ke atas panggung, mengenakan kimono berwarna kuning terang dan sebagian hitam pada lengan yang menjuntai panjang.
”Inilah furisode, kimono yang paling formal untuk dikenakan perempuan yang belum menikah. Lengannya panjang, sekitar 95 sentimeter,” ujar Nakano, yang sejak kecil mendalami kimono. Dia juga tumbuh dalam keluarga penggemar tenun Jepang, wasai, dan seni menyulam tali, kumihimo.
Umumnya, lanjut dia, kimono dikenakan saat peristiwa penting, seperti upacara minum teh, upacara kedewasaan, juga kelulusan. Umumnya terbuat dari bahan sutera, walaupun ada juga bahan katun dan wol.
Motif kimono biasanya menampilkan keindahan empat musim di Jepang, juga flora dan fauna. Namun, seiring dunia mode yang berkembang, motif abstrak serta motif kombinasi garis dan lengkung juga sudah menghiasi kimono.
Nakano lalu meminta model itu berbalik. Terlihat pita besar di bagian belakang berwarna keemasan. Pita itu dibentuk dari obi atau selempang panjang yang dililitkan di bagian perut dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kimono. Panjangnya bisa mencapai 3,4 meter dan lebar 40 sentimeter.
Nakano memperagakan cara mengenakan obi dan membuat pita dengan teknik membuat simpul, lilitan, dan selipan. Warna obi dibuat kontras dengan warna kimono, begitu pula dengan motifnya sehingga terlihat menonjol. Nuansa keanggunan dan kemewahan kimono semakin kentara berkat obi tersebut.
Kimono untuk perempuan yang sudah menikah berlengan pendek dan bersulam lambang keluarga, disebut tomesode.
Ishii, yang juga perancang kimono, mengambil alih panggung peragaan dengan menjelaskan tentang montsuki hakama, kimono formal untuk pria berwarna gelap dan bersulam lambang keluarga. Kimono ini bisa dikenakan pria yang sudah menikah dan belum menikah.
Tidak seperti kimono perempuan yang berupa satu bagian utuh, kimono pria terdiri atas atasan (montsuki) dan celana (hakama). Montsuki hitam bisa dipadukan dengan hakama abu-abu. Lambang keluarga disematkan di bagian lengan depan dekat dada dan di bagian belakang.
Serba putih
Pengunjung dibuat terkagum-kagum dengan kimono pengantin yang berwarna putih seluruhnya, dari kepala hingga kaki, termasuk segala aksesorinya. Nakano dan Ishii bersama-sama memperagakan pemakaian hanayome atau disebut juga shiromuku.
”Shiromuku memiliki arti tak bernoda. Kelak kimono putih ini akan dicelup dan diberi warna-warna lain sesuai perjalanan hidup sang pengantin saat berumah tangga,” kata Nakano.
Pengantin mengenakan dua lapis pakaian dalam sebelum mengenakan shiromuku berbahan sutera. Setelah panjang kimono disesuaikan tinggi tubuh pengantin, lipatan kain diikat dengan tali, lalu ditutup belitan semacam stagen lebar atau datemaki.
Datemaki ini kemudian ditutup lagi dengan obi bercorak khusus pengantin yang disebut honbunko. Obi khusus ini sudah dikenal sejak abad ke-14. Simpul honbunko yang rumit dibuat sedemikian rupa agar tidak merusak lipatan kimono saat kaki melangkah.
”Obi dibentuk pita di bagian belakang. Di bagian dada diselipkan semacam dompet kecil berisi cermin, sisir, dan uang logam. Diselipkan juga suehiro, kipas putih, yang melambangkan pernikahan sepasang insan yang berkembang sedikit demi sedikit seperti kipas,” kata Nakano.
Bagian kepala pengantin ditutup wataboshi, semacam topi berbahan kain halus, yang menutupi sebagian wajah, yang biasa dikenakan pengantin Jepang. Dalam peragaan ini, kedua pengajar secara khusus berkreasi membuatkan hijab dengan hiasan bunga besar sebagai modifikasi dari wataboshi.
Lebih kasual
Kimono umumnya menjadi harta yang bisa diwariskan. Harganya pun fantastis, dari sekitar 30.000 yen (Rp 3,5 juta) hingga jutaan yen. Namun, harga ini sangat pantas untuk sebuah karya seni buatan tangan yang memerlukan proses panjang dari penenun benang hingga penjahitnya.
Untuk memintal seutas benang, perlu waktu 2-3 bulan. Penenunan benang menjadi kain perlu waktu empat bulan sampai dua tahun.
Teknik yang terus dijaga untuk membuat kimono sejak awal hingga kini disebut dengan memotong kain secara lurus sehingga tidak menyisakan bahan terbuang. Kimono akan kembali ke bentuk lembaran semula jika jahitan dilepas. Ukurannya bisa diubah tanpa memotong kain, yakni dengan melipat dan menjahitnya.
”Jika dirawat dengan baik, kimono dapat dipakai hingga tiga generasi dan bertahan hingga 100 tahun,” ujar Ishii.
Oleh karena kimono formal tidak bisa sembarangan dipakai, masyarakat Jepang memiliki jenis kimono yang lebih kasual dan bisa dikenakan sehari-hari, yakni yukata. Setelah selesai dengan peragaan kimono, Nakano dan Ishii bergantian memperagakan pemakaian yukata.
Yukata bisa dikenakan perempuan dan laki-laki. Cara mengenakannya mirip kimono, tetapi lebih simpel. Bagian obi pun tidak terlalu rumit pelipatan dan pembuatan pitanya.
Ryokan, hotel tradisional Jepang, sering menyediakan yukata untuk baju tidur. Begitu pula di onsen atau pemandian air panas, orang sering mengenakan yukata. Saat festival musim panas, yukata menjadi bagian tak terpisahkan.