Kostumku Identitasku
Kaus dalam khazanah kostum tim olahraga adalah segalanya, termasuk dalam sepak bola. Selain sebagai identitas, kostum ini juga menjadi kebanggaan. Tidak heran jika legenda sepak bola asal Argentina, Diego Maradona, pernah mengatakan ”giving everything for the shirt”.
Dalam peristiwa olahraga, selain aksi para atlet sebagai tokoh utama, apa yang mereka pakai juga mengundang sorot perhatian. Tidak terkecuali dalam perhelatan Piala Dunia 2018. Setiap tim ”membungkus” para pemainnya dengan seragam yang dirancang khusus, dari aspek bahan hingga motif.
Pada dasarnya, kostum pesepak bola—yang kerap disebut jersi—terdiri dari kaus tangan pendek, celana pendek, kaus kaki, sepatu, dan pelindung tulang kering. Di masa-masa awal, yakni pada era Victoria, pemain tidak mengenakan seragam, hanya kaus putih dan celana pendek yang dilengkapi topi beragam warna atau scarf untuk tim tandang. Kadang-kadang pemain mengenakan celana panjang.
Baru pada tahun 1870, pemain mulai dilengkapi seragam seiring semakin populernya kejuaraan Liga Inggris. Penonton menuntut tiap tim memiliki seragam sendiri-sendiri agar mudah dibedakan dari tim lainnya.
Pada saat itu, warna seragam yang dipilih adalah yang dianggap mewakili profil klub. Tim ”sederhana” biasanya memilih warna putih, sedangkan tim ”kaya” leluasa memilih kaus berwarna dan menyediakan kaus alternatif untuk jaga-jaga agar kausnya tidak sama dengan tim lawan. Sebelum era sepak bola profesional, pemain menyediakan sendiri kausnya. Di masa kini, warna seragam tim nasional diambilkan dari warna dan ciri khas bendera tiap-tiap negara.
Misalnya, seragam tim nasional Kroasia yang khas, yakni kotak-kotak merah putih, diambil dari bendera negara itu. Demikian pula dengan timnas Perancis dengan paduan warna kaus, celana pendek, dan kaus kaki yang melambangkan bendera negara itu: biru, putih, dan merah.
Setiap tim biasanya juga akan menyiapkan kostum berbeda untuk partai tandang dan kandang. Seperti Kroasia yang untuk pertama kalinya mengenakan kostum tandang berupa kaus kotak-kotak dengan warna biru gelap dan hitam. Ukuran kotak-kotak kali ini dibuat lebih besar sebagai simbol kebanggaan pada negara.
”Dengan warna baru, kaus kedua ini benar-benar beda. Saya yakin tim dan penggemar kami akan menyukainya karena memberikan tampilan berani, percaya diri, dan tangguh. Karakteristik yang selalu menggambarkan spirit tim kami,” kata Luka Modric, kapten tim Kroasia seperti dikutip dari footballfashion.org.
Sementara kostum tandang Perancis sekilas hanya seperti kaus putih polos. Namun, jika diperhatikan lebih dekat, akan tampak warna merah dan biru tersamar. Ini sebagai dekonstruksi kostum kandang. ”Kami memaksimalkan teknologi rajut untuk menghasilkan keunikan maksimal akan benang, bahan, dan warna,” kata Pete Hoppins, Direktur Senior Desain Nike Football Apparel.
Perlawanan
Tidak jarang, kaus tim juga dijadikan sarana ekspresi, seperti pernah dilakukan klub Madureira dari Brasil. Memperingati 50 tahun kunjungan tim ini ke Kuba, Madureira memasang wajah tokoh revolusi Amerika Selatan, Che Guevara, pada bagian depan samping kanan kaus. Guevara pernah menonton pertandingan tim ini ketika tur ke Havana tahun 1963. Pada masa itu, ketika belum ada sponsor dan pemasukan iklan dari televisi, klub-klub harus menggelar tur guna mencari dana. Kostum Madureira meraup dukungan positif penggemar sepak bola dan pencinta Che Guevara dari seluruh dunia.
Klub Corinthians, juga dari Brasil, pernah memanfaatkan kostum sebagai alat perlawanan. Socrates, pemain yang juga tokoh panutan Corinthians, memerintahkan pencantuman kata ”Democracia” atau demokrasi di atas nomor punggung kaus yang kemudian dipakai pada laga-laga yang diikuti Corinthians.
Tidak saja ini sebagai pesan agar tim-tim sepak bola dikelola secara demokratis, juga pesan tentang pengelolaan negara yang saat itu dipegang rezim militer diktator. Socrates yang pernah membawa Corinthians tiga kali juara Liga Brasil juga pernah memerintahkan pencantuman kata-kata ”Dia 15 Vote” sebagai pesan agar rakyat berpartisipasi pada pemilu multipartai pertama. Apa yang dilakukan Corinthians sampai-sampai dijuluki ”Corinthians Movement”.
Komersialisasi
Kaus sepak bola mulai dijahit khusus dengan model kerah bulat dan motif strip (garis-garis) vertikal ataupun horizontal pada awal abad ke-20. Bahannya dipilihkan dari serat alam yang awet. Pada pertengahan 1900-an, seragam bola mulai dibuat dari bahan sintetis yang menciptakan cikal bakal penampilan seragam masa kini yang ringan dan ramping. Muncul pula gaya ”continental” dengan kaus lengan pendek dan kerah V atau kaus berkerah ala kaus rugbi yang di kemudian hari diadopsi tim nasional Brasil dengan kaus kuning dan kerah hijaunya.
Pada pertengahan 1930-an, kaus sepak bola mulai diberi nomor, yakni 1-11, yang membedakan peran dan posisi seorang pemain dengan pemain lainnya. Nomor 1 selalu dipegang kiper, dilanjutkan dengan pemain bertahan kanan, pemain tengah, bertahan kiri, penyerang, dan seterusnya. Nomor 12 dan seterusnya diberikan untuk pemain cadangan.
Dalam perkembangannya, penentuan formasi dan nomor bisa bervariasi antarnegara. Nomor pemain lapis pertama pun tidak selalu terpaku pada 1-11, kecuali kiper. Nomor kaus bisa muncul sebagai ikon, seperti nomor 7 pada seragam tim Manchester United yang pernah dipakai pemain hebat George Best, Eric Cantona, David Beckham, hingga Cristiano Ronaldo.
Seragam bola memasuki masa komersialisasi pada tahun 1980-an ketika tim-tim mulai menjual replika kaus mereka, terutama yang dikenakan pemain-pemain terkenal, lengkap dengan logo tim dengan bahan yang ringan dan adem. Kaus-kaus makin terlihat ramping, licin, dengan warna tegas yang tetap terlihat jelas meski di bawah sorot lampu stadion.
Seragam sepak bola semakin komersial memasuki tahun 1990-an seperti terlihat saat ini. Sponsor utama menempati tulisan terbesar yang ditempatkan di dada. Sementara identitas tim lebih pada emblem dan warna kaus. Produsen perlengkapan olahraga, seperti Nike, Adidas, Puma, dan Umbro, berada di balik seragam-seragam indah tim.
Dalam perhelatan Piala Dunia 2018, boleh dibilang menjadi pertarungan antara Nike dan Adidas yang berada di balik seragam empat tim yang masuk semifinal. Nike mengurusi seragam tim nasional Inggris, Perancis, dan Kroasia, sementara Adidas untuk Belgia. Siapa pun yang menang, tampaknya Nike yang paling beruntung mengingat produsen ini berada di balik kostum tim Perancis dan Kroasia yang akan berlaga di partai final. Kemenangan ini akan diikuti konsekuensi larisnya penjualan merchandise tim pemenang.
Dalam kehidupan sehari-hari, kaus sepak bola kini menjadi bagian dari mode jalanan (street fashion). Dalam berbagai kesempatan, terutama suasana nonformal, kerap dijumpai orang-orang yang mengenakan kaus sepak bola dari tim ataupun pemain pujaannya sebagai bentuk dukungan dan kebanggaan. Tidak jarang ditemui pemandangan absurd, para pemain skateboard yang melengkapi penampilan dengan kaus bola.
Kostum olahraga kerap pula mengilhami para desainer mode papan atas, seperti Versace, Burberry, dan Virgil Abloh, yang membawa rancangan mereka ke panggung mode dunia. Produsen pakaian olahraga sering pula melibatkan desainer mode non-olahraga dalam merancang kostumnya, seperti Daniel Hechter yang menghasilkan logo ikonik untuk klub Paris Saint-Germain yang terinspirasi dari Menara Eiffel.
Adidas pernah menggandeng desainer asal Jepang, Yohji Yamamoto, guna mendesain kaus Real Madrid untuk laga Piala Eropa tahun 2014/2015. Kaus itu hitam dengan kerah pendek berwarna putih dengan aksen strip tiga lambang sang sponsor pada bagian bahu. Desain yang paling menarik perhatian ada pada bagian tengah depan kaus berupa gambar naga berwarna abu-abu.
Begitulah, kostum sepak bola yang berevolusi mulai dari kaus polos putih hingga yang terlihat seperti saat ini dengan bahan serat alam hingga sintetis yang ringan dan berpori. Dikenakan pemainnya sebagai pelindung, penanda identitas, hingga alat perlawanan. Dari lapangan, kostum ini berpindah ke panggung mode hingga menemani keseharian para penggemarnya.
(epicsports.com)