Membaca Kearifan Panji
Panji lahir dan berkembang dengan warna lokal yang amat pekat. Mengingat banyaknya sumber dan varian lokal tersebut, panji kemudian berkembang sedemikian variatif. Masing-masing membawa kerifan-kearifan seperti sendang yang selalu menampung dan mengalirkan kebajikan-kebajikan.
Tujuh penari pria berseragam merah masuk ke panggung. Mereka membawa cambuk dan kuda-kudaan yang mereka tunggangi seperti kuda sungguhan. Diiringi alunan gamelan bertempo rancak, para penari pria itu memperagakan gerakan-gerakan cepat dan gagah ala prajurit pilih tanding.
Tak lama kemudian, seorang lelaki berwajah merah masuk ke barisan prajurit tersebut. Mukanya sangar, dengan dua gigi taring putih yang muncul di mulutnya. Inilah Prabu Klana Sewandana, raja dari Kerajaan Bantarangin, yang terkenal dengan cambuk saktinya.
Saat itu, Klana Sewandana baru saja menculik Dewi Sekartaji, putri Kerajaan Kadiri, untuk dijadikan istri. Tentu saja, tindakan itu tak bisa diterima oleh Panji Asmarabangun, putra mahkota Kerajaan Jenggala yang telah mempersunting Dewi Sekartaji. Maka, perang besar antara Panji Asmarabangun dan Klana Sewandana pun tak terhindarkan!
Begitulah garis besar cerita tari Jathilan Asmarajati yang dipentaskan di Pagelaran Keraton Yogyakarta, Jumat (6/7/2018) malam. Tarian yang dibawakan oleh Bale Seni Condroradono, Yogyakarta, itu digelar dalam rangka pembukaan Festival Panji Internasional di Yogyakarta.
”Judul ’Asmarajati’ itu berarti cinta sejati. Jadi tarian ini menggambarkan cinta sejati antara Dewi Sekartaji dan Panji Asmarabangun,” ujar koreografer Jathilan Asmarajati, Kuswarsantyo,
Tari Jathilan Asmarajati menggambarkan perang Panji Asmarabangun beserta pasukannya melawan Prabu Klana Sewandana yang didukung oleh para prajuritnya, termasuk dua raksasa dengan kostum singa barong. Dalam tarian itu, Kuswarsantyo juga menghadirkan dua pembantu Panji Asmarabangun yang bernama Penthul dan Tembem.
Warna lokal
Kuswarsantyo, yang merupakan Ketua Jurusan Pendidikan Seni Tari Universitas Negeri Yogyakarta, menuturkan, tarian tersebut merupakan karya baru yang pertama kali dipentaskan di Festival Panji Internasional. Meski begitu, cerita yang melandasi tarian itu diambil dari cerita panji yang sudah lama ada di Nusantara. Sementara itu, koreografi dalam tarian tersebut mengambil gerakan-gerakan tari tradisional Jathilan yang sudah lama dikenal di sejumlah wilayah Pulau Jawa.
Warna lokal bukan hanya pada koreografi seperti lakon di atas. Pada cerita ”Ande-ande Lumut” yang disutradarai Entong Kisam dari Ratna Sari Studio, sebagaimana terlihat saat tampil di Taman Ismail Marzuki, Selasa (10/7/2018), ekspresi lokal terlihat pada gaya dialog. Mereka menggunakan bahasa lokal Betawi dan selingan humor selayaknya lenong dan diiringi musik gambang kromong. Dengan cara ini, penampilan cerita panji terkesan lebih segar dan meriah.
Meski demikian, pesan kebajikan dalam cerita tetap kuat. Misalnya dalam adegan tiga gadis yang rela dicium Yuyu Kangkang demi bisa menyeberangi sungai dan mengikuti sayembara merebut cinta Ande-ande Lumut. Namun, Ande-ande Lumut tak memilih seorang pun dari mereka dengan alasan ada aroma Yuyu Kangkang pada diri gadis-gadis tadi, melainkan memilih Klenting Kuning, gadis yang tak sudi dicium Yuyu Kangkang. ”Pesannya kita jangan sampai rela mengorbankan harga diri dan kehormatan untuk mendapatkan sesuatu. Harus menjaga prinsip,” begitu kata Endang Suwandi yang
berperan sebagai Ande-ande Lumut.
Di beberapa daerah, ekspresi panji pun beragam. Di Bali, cerita panji menjadi sumber penciptaan enam kesenian tradisional, antara lain dramatari Gambuh dan tari Legong Keraton. Seniman dan akademisi I Wayan Dibia menyebutkan, terdapat dua tari legong yang kisahnya bersumber dari cerita panji, yakni tari Legong Lasem dan tari Legong Prabangsa.
Di Kediri, panji muncul dalam bentuk wayang kulit, sebagaimana yang dimainkan di Candi Tegowangi. Adapun di Blitar, panji berupa tari seperti tari Ledhek Jimbe dan sendratari Kasetyaning Tresna Jati. Penata tari dari Sanggar Pendopo, Novyta Mijil Purwana, mengatakan, ada sejumlah kesenian di Blitar dan sekitarnya yang mengandung spirit panji, mulai dari tari hingga drama. Dongeng seperti Ande-ande Lumut dan Entit juga mengandung unsur panji.
Panji berkembang sebagai sebuah kantong budaya tersebar dalam berbagai rupa ekspresi di Nusantara. Selain hidup sebagai cerita rakyat, panji muncul dalam seni wayang topeng, wayang beber, wayang kulit, bahkan relief cerita di dinding berbagai candi di Jawa. Dongeng dua pendeta Bubuksah dan Gagangaking di relief Candi Penataran, Blitar. Ada juga relief kisah perjalanan di akhirat pada relief Candi Jajagu (Candi Jago) di Malang. Di Malang, persisnya di Padepokan Asmoro Bangun di Pakishaji, selain tari, juga terdapat aktivitas pembuatan topeng panji.
Dari Indonesia
Mewakili Direktorat Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Nunus Supardi mengatakan, ada tiga teori bagaimana panji bisa menyebar ke Thailand dan Kamboja. Versi pertama diduga sejak zaman Majapahit. Kehadiran Putri Campa di Majapahit menunjukkan bahwa sudah ada komunikasi antara Majapahit dan Campa.
Versi kedua, panji masuk ke negara itu melalui Malaysia. Orang Jawa pergi ke Malaysia, lalu oleh Malaysia cerita itu diterjemahkan ke bahasa Melayu pada abad ke-17 dan ke-18. Cerita itu kemudian mengalir ke daerah perbatasan Malaysia dan Thailand. Sehingga akhirnya diketahui oleh orang Thailand dan dibawa ke dalam kerajaan.
Versi ketiga, tulisan etnografi Adolf Bastian (yang memopulerkan nama Indonesia). Bastian menyebut di Kamboja ada wanita tua, muslimah, yang kemudian disebut Yai Yavu. Yai diduga merupakan nama lain Nyai, sedangkan Yavu berasal dari kata Jawa.
Teori ketiga ini diperkuat cerita di Keraton Surakarta. Bahwa dulu ketika Raja Chulalongkorn dari Kerajaan Siam datang ke Keraton Solo, dia pulang membawa seorang pembantu, yang tiap sore menceritakan tentang panji kepada anak asuhnya. Tambahan lagi, ketika Raja datang ke Keraton Solo, oleh Raja disiapkan gending ”Ladrang Siyem”. ”Gending itu masih populer,” ucap Nunus.
Lydia Kieven, peneliti panji asal Jerman, dalam bukunya Menelusuri Panji dan Sekartaji (2018) menyebut bahwa kisah panji bisa dilihat dalam tiga bentuk, yaitu sastra lisan, seni (pertunjukan dan visual), serta ritual.
Hal itu tampak dalam gelaran Festival Panji Internasional 2018. Selain menyuguhkan seni pertunjukan tari dan teater, acara juga dipadu dengan pameran relief panji di beberapa candi di Jawa Timur (seni visual). Dari relief candi, sosok panji diidentikkan dengan pria bertopi tekes.
Adapun kisah panji dalam bentuk ritual, menurut Lydia, bisa ditemukan dalam pertunjukan wayang saat ritual ruwatan misal dalam bersih desa. Panji dan Sekartaji merupakan simbol kesuburan. Di Jawa, Lydia mencermati bahwa kisah keduanya menjadi mitos tentang Sadono dan Sri, yang dianggap perwujudan Dewi Sri dan Dewa Wisnu. Penyatuan keduanya adalah simbol kesuburan tanah.
Dari ragam cerita dan asal-usulnya, begitu juga dalam beragam ekspresinya, panji senantiasa mengandung nilai-nilai kearifan. Panji makin mengemuka setelah ditabalkan sebagai ”Ingatan Dunia” oleh UNESCO. Semoga saja kearifan panji tidak hanya topeng panggung, tetapi juga membumi dalam kehidupan sehari-hari.
(MHF/HRS/WER/DIA/NIT/COK/ODY)