Galeri Tungga "Menyayangi" Barang Bekas
Barang yang dianggap sampah bisa menjadi harta bagi orang lain. Ungkapan itu berlaku bagi Ida Bagus Foriyana (35). Dari tangannya, bahan-bahan bekas yang kerap dianggap tak berguna menjelma menjadi produk-produk baru yang tak hanya memenuhi nilai estetik, tetapi juga bernilai guna tinggi.
Lampu-lampu gantung berdesain unik adalah beberapa di antara produk-produk berbahan daur ulang yang diciptakan Fori. Bahan bakunya bermacam-macam. Utamanya dari bahan baku kayu sisa atau kayu bekas yang bentuknya kadang tak beraturan, dikombinasikan dengan berbagai material di luar kayu, seperti besi, kaca, hingga kuningan, yang juga material sisa atau bekas.
Karya-karya hasil kreativitas Fori itu beberapa di antaranya dipajang di Galeri Tungga miliknya yang letaknya bersisian dengan restoran yang dikelola Fori bersama sang istri, Ida Ayu Andrayuga (30), di kawasan Mas, Ubud, Gianyar, Bali. Beberapa di antaranya juga diletakkan di dalam restoran sehingga dapat dinikmati oleh pengunjung sebagai bagian interior restoran.
Benda-benda indah itu antara lain lampu gantung yang terbuat dari roda delman bekas dikombinasikan dengan botol-botol kaca sisa suvenir perkawinan Fori dan Ayu.
Ada juga lampu gantung dari kayu bekas yang dikombinasikan dengan kepala Buddha berbahan kuningan, hingga lampu gantung dari kayu bekas talang air dari rumah-rumah lama yang dikombinasikan dengan pipa-pipa bekas rak yang tak lagi terpakai.
Dibuat pula hiasan dinding berbahan kayu bekas dikombinasikan dengan botol-botol kaca yang digunakan sebagai media tanam bagi tanaman air. Hiasan yang diletakkan di dinding restoran itu, selain menghadirkan nuansa estetik, juga sekaligus menyajikan nuansa kesegaran.
Begitu pula dengan kaca pada wastafel yang dibingkai kayu bekas bantalan rel kereta api. Ada lagi alas wastafel terbuat dari kayu bekas yang didapat dengan harga sangat murah karena sudah tak laku dijual oleh pemiliknya. Di tangan Fori, produk-produk dari bahan-bahan bekas tersebut menjelma menjadi produk bernilai estetik sekaligus memiliki nilai guna.
Ketertarikan Fori menciptakan karya-karya dari barang-barang bekas itu muncul sekitar 10 tahun lalu, saat baru menikah dengan Ayu. Semula ia menjajal membuat karya-karya dari kaca bekas, kemudian Fori melompat pada pengolahan material kayu.
Seni pahat
Hal ini tak lepas dari kecintaannya pada dunia pahat yang diwarisinya dari para leluhurnya. Di dalam darahnya mengalir bakat sebagai seniman pahat yang berasal dari sang kakek, Ida Bagus Nyana, serta sang ayah, Ida Bagus Tantra, keduanya seniman pahat populer dari Bali.
Fori sudah tertarik pada dunia seni pahat sejak SMP. Tahun 1995-2000, setiap pulang sekolah, Fori tekun mengasah bakatnya.
Ia lantas sekolah perhotelan di Swiss selama 3,5 tahun. Pernah pula terjun mengurusi bagian makanan dan minuman di hotel yang dikelola keluarga. Namun, hasratnya pada dunia seni tak pernah luntur.
”Selama 1 tahun mengurusi F&B (food and beverage), kok, rasanya enggak sreg, kayak ada pertentangan di dalam (hati). Saya merasa bukan ini passion saya. Saya paksa, tapi tidak puas. Mulailah saya urus galeri,” kata Fori.
Tekadnya makin kuat karena Fori kerap bermimpi berjumpa dengan sang kakek, yang belum pernah dijumpainya selama hidup. Rasa cintanya pada dunia seni pun terus membuncah. ”Rasanya kok lebih senang ke seni, lebih suka sama yang aneh, nyeleneh. Setiap kali lihat patung, saya merasa ngerti,” ujar Fori.
Dari kaca, lalu berpindah ke kayu, Fori kemudian mengombinasikan kaca dan kayu pada karya-karyanya. Dia, misalnya, membuat meja kayu, dikombinasikan material kaca di bagian kaki meja.
Tak berhenti pada material kaca dan kayu, Fori pun menjajal material lain. Dia, misalnya, pernah menyulap bath tub (bak mandi rendam) bekas menjadi sofa.
”Dari dulu saya selalu senang membuat sesuatu yang aneh, yang baru, tidak mau sama dengan yang lain. Waktu bikin patung pertama kali enggak mau sama karena kalau sama, enggak ada kebanggaan. Kalau dikasih motor, juga dimodifikasi, dibongkar, ditambahin ini-itu. Akhirnya ketika membuat sesuatu pun enggak mau sama,” tambah Fori.
Punya nyawa
Dari sisi bahan, Fori memilih menggunakan bahan-bahan bekas atau sisa karena ia merasa sayang melihat bahan-bahan bekas itu terbuang atau terbengkalai begitu saja. Selain bath tub bekas, ia juga mengumpulkan kayu-kayu yang tak terpakai, kaki-kaki meja bekas, kaki-kaki bekas mesin jahit, juga besi bekas rak yang tak terpakai.
”Prinsipnya sudah bekas, rusak. Sama kayak dulu daur ulang kaca, kan, dari pecahan-pecahan kaca, dilebur lagi jadi vas, piring, botol sirup, lalu dilebur lagi jadi barang baru. Memberikan nilai tambah,” ujar Fori.
Idenya saat membuat produk-produk itu mengalir begitu saja. Bila ide sudah ada, bisa hanya dalam satu hari Fori menyelesaikan pekerjaannya. ”Sekalipun belum finishing,yang penting udah ada bentuknya. Mau finishing, kadang copot lagi. Yang penting, udah ada bentuknya dulu,” tutur Fori.
Idenya saat membuat produk-produk itu mengalir begitu saja. Bila ide sudah ada, bisa hanya dalam satu hari Fori menyelesaikan pekerjaannya.
Saat membuat salah satu lampu gantung, misalnya, Fori menggabungkan kayu-kayu sisa dengan kepala Buddha dari kuningan.
”Kepala Buddha itu biasanya diletakkan di meja. Tapi saya senang dengan filosofinya yang menggambarkan berbagai ekspresi dalam menghadapi kehidupan. Karena saya suka, saya milih barang itu, bikin lampu gantung. Cuma saya bikin gaya rustic-nya dari yang semula kuningan dan terkesan antik. Pipa-pipanya juga enggak beli, pipa bekas pipa air aja,” katanya.
Meja wastafel yang kini terpasang di restorannya pun terbuat dari kayu bekas yang dibeli murah. ”Dapet-nya Rp 150.000 di rongsokan. Dibuang begitu aja. Sama penjualnya ditanya, eh, buat apa, emang bisa jadi meja. Ternyata bisa,” ujarnya. Saat ini karya-karyanya banyak diminati pembeli asal Arab Saudi, Australia, Amerika Serikat, Singapura, dan Malaysia.
Karena makin mahir membuat produk dari material bekas yang mampu menghasilkan produk-produk bernilai guna tinggi, Fori pun tak menolak apabila ada konsumen yang memintanya membuatkan karya-karya personal.
”Misal, ada pemilik kipas angin rusak yang ingin membuat sesuatu. Dari kipas angin bekas itu, jaringnya masih bisa dipakai, misalnya jadi lampu gantung. Baling-balingnya juga bisa dipakai jadi lampu. Barang-barang rusak jangan dibuang, kasihan,” tuturnya.
Baginya, benda-benda itu, meski bekas atau rusak, memiliki nyawa. Karena itu, barang-barang bekas pun layak dihargai, dimuliakan. ”Kayu-kayu bekas kita treat, pergunakan yang masih baik, jadi sesuatu yang berharga. Apalagi kalau kerjanya pakai hati,” tambah Fori.
Karena bekerja dengan hati pulalah, Fori tak pernah membuat barang yang sama. Setiap produk dia buat hanya satu sehingga menjadi sangat istimewa. Dia memegang teguh prinsip dalam berkarya, yaitu menghargai barang.
”Ini paling penting, bagaimana caranya barang itu menjadi sesuatu yang bisa dipakai, dinikmati, bisa dilihat dan berfungsi,” ujar Fori.