Bukan Sekolah ”Buangan”
Pondok Pesantren Darunnajah di Jakarta Selatan, awal pekan ini, lebih ramai daripada biasanya. Orang-orang yang menenteng berbagai macam barang tampak hilir mudik. Barang-barang itu ditempatkan di kantong plastik besar, kotak kontainer plastik, atau dibawa begitu saja, seperti bantal, guling, dan kasur. Ratusan santri dan santriwati baru berdatangan untuk memulai pendidikan mereka.
Satu di antaranya adalah Shafa yang datang ditemani ibu, bapak, dan adiknya dari Kota Banda Aceh. Shafa terlihat murung. Sesekali ia menyeka air mata dengan ujung kerudung hitamnya. Masuk pesantren adalah pilihannya sendiri yang didukung orangtua. Namun, berpisah jauh dari keluarga tak urung membuatnya sedih.
Ayah dan ibunya yakin, dalam waktu cepat Shafa pasti mampu beradaptasi. Mereka melihat kakak-kakak kelas yang tampak ceria dan bebas berekspresi saat mengikuti lomba, bersenandung, menari, serta meneriakkan yel-yel untuk menyambut dan menghibur santriwati baru.
”Rajin belajar ya Nak, rajin mengaji. Jangan lupa diminum vitaminnya,” kata Khairani, sang ibu, seraya mengendurkan pelukan kepada anaknya.
Mereka pamit meninggalkan kompleks pondok karena keesokan harinya akan terbang pulang ke Banda Aceh. Shafa harus mulai berjuang untuk belajar mandiri jauh dari orangtua, sekaligus mengejar cita-citanya menjadi ustazah. Belajar mandiri, tidak manja, menjaga perilaku dan lingkungan pergaulan adalah alasan kebanyakan orangtua dan murid memilih pondok pesantren sebagai tempat belajar.
Jika dulu pesantren kerap diidentikkan dengan tempat ”buangan” anak nakal atau bermasalah dan menjadi pilihan terakhir, tidak begitu kondisinya sekarang. Banyak orangtua dan anak sejak awal dengan sadar memilih pesantren sebagai tempat belajar sejak dini, seperti Shafa yang baru duduk di tingkat sekolah menengah pertama atau madrasah tsanawiyah.
”Anaknya tidak mau ke sekolah negeri atau sekolah umum lainnya. Maunya ke pesantren. Sekalian saja kami masukkan ke pesantren sini karena modern dan terlihat lengkap fasilitasnya. Kebetulan ada famili juga di Jakarta yang bisa dimintai tolong untuk menjenguk setiap minggu,” kata Khairani.
Ketua 1 Yayasan Darunnajah KH Mustofa Hadi Chirzin menyebutkan, banyak orangtua memasukkan anaknya ke Darunnajah karena memang ingin anaknya mengenyam pendidikan khas pesantren. Proses pendaftaran, tes, dan pengumuman penerimaan santri sudah dilaksanakan lebih dahulu dari program Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Pendaftaran gelombang pertama, misalnya, sudah dimulai Oktober 2017 dengan pengumuman pada Maret 2018. Sementara pendaftaran gelombang kedua sejak Februari dengan pengumuman pada April 2018. Tahun ini, pihaknya menerima 780 santri baru dari 1.200 pendaftar. Separuhnya berasal dari Jabodetabek.
Orangtua lainnya, Rita Febrina (41), memilih madrasah aliyah negeri (MAN) sebagai tempat melanjutkan pendidikan anaknya, Rafi Eltharik. Rita dan Rafi kemudian memilih MAN 4, Jakarta Selatan, karena dipandang memiliki kegiatan OSIS dan ekstrakurikuler yang bagus dan beragam. Rafi pun masuk diterima di kelas IPA Cambridge.
”Sudah waktunya anak saya dilepas untuk belajar mandiri. Di sekolah negeri, kan, rata-rata kondisi sosial muridnya lebih heterogen. Supaya dia belajar keluar dari zona nyamannya selama ini,” kata Rita yang tinggal di kawasan Bumi Serpong Damai.
Rafi sejak TK hingga SMP menempuh pendidikan di sekolah swasta Islam. Rita masih ingin membekali anaknya dengan bekal agama yang kuat, tetapi dalam lingkungan yang lebih heterogen agar anaknya lebih tangguh dan memahami realitas kehidupan.
Gali bakat
Agar bisa menggali bakat anak-anaknya dengan lebih dalam, ada pula orangtua yang memilih membekali anaknya dengan pendidikan melalui homeschooling. Berbasis pada komunitas, mereka bersama-sama memutuskan kurikulum pendidikan hingga mendatangkan pengajar dari luar. Beragam kegiatan belajar bersama pun digelar sehingga anak-anak bisa saling mengenal rekan-rekan seusianya.
Ketika teman-teman seusianya belajar di bangku sekolah, anak-anak yang belajar secara homeschooling pun sibuk belajar tentang nilai kehidupan yang dibagikan dari cerita wayang kulit pada Selasa (17/7/2018) di WiCo Bintaro Jaya Xchange. Bersama-sama, anak-anak ini pun menciptakan wayang kulitnya sendiri.
Bagi para orangtua yang memilih homeschooling untuk konsep pendidikan anak-anaknya ini, yang wajib adalah belajarnya, bukan formalitas sekolahnya.
”Bukan berarti enggak ribet. Tetap harus mengatur jadwal kegiatan belajar anak dan orangtua. Belajar tak hanya di rumah, tapi juga di luar rumah. Sebenarnya lebih enak jadi anak sekolahan, tinggal titip ke sekolah,” kata Puspita, salah satu orangtua yang memilih homeschooling untuk anak-anaknya.
Putra pertama Puspita sempat mencecap pendidikan formal hingga kelas III sekolah dasar sebelum akhirnya memutuskan untuk menjalani homeschooling hingga sekarang duduk di bangku SMP. Puspita lantas menjumpai bahwa putranya sangat tertarik pada desain kreatif dan membebaskan si anak untuk terus menjalani homeschooling hingga jenjang pendidikan tertinggi. Ia pun lantas membangun laboratorium khusus seni dan kerajinan bagi anaknya di rumah.
”Memilih homeschooling karena minat anak lebih bisa tergali. Lebih fokus, (daya) kreatifnya enggak terbatasi. Sampai anaknya mau sampai kapan. Kalau SMA, menemukan yang bisa meningkatkan minat bakat, ya, ke sekolah formal. Kalau di sekitar enggak ada yang cocok, ya, diterusin homeschooling-nya,” ucap Puspita.
Penasaran
Menimba ilmu dengan sistem homeschooling ternyata bukan benar-benar lepas dari kerepotan. Meski tak direpotkan dengan hiruk pikuk pencarian sekolah favorit, orangtua siswa homeschooling tetap harus sibuk mengarahkan bakat anak dan mencari pengajar tambahan yang lebih ahli untuk memenuhi rasa penasaran anak.
Puspita juga bergabung dengan orangtua lainnya dalamkomunitas homeschooling yang rutin bertemu dan membuat kegiatan bersama. ”Harus mencari kegiatan untuk kolaborasi anak. Enggak mudah nyarinya,” katanya.
Sekolah favorit memang bukan segalanya, setidaknya berdasarkan pengalaman sutradara Hanung Bramantyo. Ada banyak faktor lain yang menjadi penentu kesuksesan seseorang kelak.
Hanung tidak diterima di SMA favorit yang diincarnya karena NEM-nya rendah. Meskipun sudah giat belajar dan les, ia selalu grogi setiap kali ujian sekolah. Hal itu menyebabkannya tidak maksimal mengerjakan ujian.
Akhirnya ia masuk sekolah swasta yang dikenal dengan julukan ”sekolah tengah sawah” karena berada di tengah perdesaan di Bantul, Yogyakarta. Murid-murid sekolah itu dicap nakal dan buangan. Belum lagi sering tawuran. Hanung bertambah kesal karena di sekolah ia tidak menemui kegiatan kesenian yang dicintainya. Padahal, saat SMP ia juara menyanyi, menggambar, dan mengaji.
Kekesalannya memuncak ketika sahabatnya yang diterima di sekolah favorit leluasa berkesenian dan ikut beragam festival teater yang diidamkan Hanung. Sang ayah saat itu memberikan wejangan yang dituliskan Hanung di akun Facebook-nya: ”Hei, nak! Kalo sekolahmu gak ada teaternya, ya kamu bikin. Jangan malah ngambek. Ajari teman- teman kamu biar menyukai keinginanmu.”
Setelah itu, Hanung membentuk teater dan meraih juara di festival Teater SLTA. Menciptakan teater di sekolah yang melarang seni bukan perkara mudah. Hanung harus bernegosiasi dengan guru dan meyakinkan teman-temannya. Ketika di kemudian hari ia datang ke Jakarta di tengah kondisi industri sinema yang mati, ia berjuang menciptakan industri sinema di tengah kejayaan industri sinetron.
”Saya ditolak. Sama persis kayak di SMA. Bagaimana kita beradaptasi dengan situasi lingkungan, resistensi, dan penolakan. Esensi pendidikan ada di sana. Esensi mentalitas tahan banting. Guru terbaik adalah orangtua sendiri. Tulisan saya mengingatkan orangtua bahwa sekolah terbaik itu rumah. Guru terbaik adalah orangtua. Sekolah di mana pun monggo. Yang terpenting apa yang ada di lingkungan rumah. Syukur sekolah dekat rumah sehingga kontrol terjangkau,” kata Hanung. (Lasti Kurnia)