"Homestay", Rumah Baru bagi Sahabat dari Mancanegara
Sejumlah turis mancanegara duduk mengitari sebuah meja di penginapan Abrakadabra ArtBnB, Kamis (28/6/2018) siang. Di hadapan mereka tersaji karedok dan tumis ikan peda cabai hijau yang mungkin asing bagi mereka.
Jali Topan (39), sang pemilik penginapan, kemudian memberikan penjelasan singkat. Setelah itu, entah mereka paham atau tidak, para tamu dari Perancis, Jerman, Inggris, dan Spanyol tersebut langsung asyik bersantap siang.
Mereka pun terlihat menikmati makanan Nusantara itu dengan antusias. ”Saya memasaknya dibantu beberapa tamu di sini,” ujar Jali, yang ikut makan bersama tamu-tamunya.
Selama makan siang, mereka juga mengobrol dengan akrab meski tak saling mengenal sebelumnya. Suasana keakraban atau kekeluargaan memang terasa di Abrakadabra ArtBnB. Di homestay itu, para tamu selalu saling sapa dan kerap ngobrol bersama meski dari negara yang berbeda-beda.
Abrakadabra ArtBnB adalah satu dari sekian banyak homestay yang kini bermunculan di Yogyakarta. Seperti homestay lainnya, Abrakadabra ArtBnB hanya memanfaatkan rumah biasa yang disulap menjadi penginapan.
Menurut Jali, penginapan itu mulai beroperasi Juni 2016. Target konsumen backpacker dipilih karena Yogyakarta merupakan salah satu tujuan wisata para backpacker, termasuk dari mancanegara.
Jali kemudian mengontrak sebuah rumah di daerah Mantrijeron, Kota Yogyakarta. Daerah itu tak jauh dari kawasan Prawirotaman yang dikenal sebagai ”kampung turis”. Luas rumah itu hanya 300 meter persegi lalu direnovasi agar nyaman dipakai sebagai penginapan.
Meski demikian, dari sisi eksterior-interior, penginapan ini tetap tergolong sederhana. Hanya ada tempat tidur, kipas angin, meja, kursi serta kamar mandi. Tidak ada penyejuk udara maupun fasilitas air panas.
Konsep unik
Disediakan dua tipe kamar, yakni pribadi dan dormitory atau kamar bersama yang ditinggali beberapa tamu sekaligus.
Karena menyasar backpacker, maka tarifnya relatif murah. ”Untuk kamar pribadi tarifnya Rp 200.000 per malam sementara untuk dormitory Rp 70.000 per malam. Ini tarif normal, ya, kalau sedang low season (musim sepi wisatawan), harganya turun lagi,” kata Jali.
Lima kamar pribadi di Abrakadabra ArtBnB ditata dengan konsep berbeda-beda mulai dari konsep hutan, pantai hingga rumah pohon. ”Supaya menarik tamu,” ujar Jali yang juga tinggal di penginapan itu.
Dulunya, Jali adalah pegawai swasta di Jakarta. Kini, supaya fokus membangun Abrakadabra, dia menetap di Yogyakarta dan dibantu tiga pegawai untuk mengelola penginapannya.
Meski arsitekturnya sederhana di sejumlah sudut Abrakadabra ArtBnB terdapat aneka grafiti. Sebagian grafiti itu digambar oleh beberapa temannya bahkan oleh para tamu. Di ruang tengah, misalnya, terdapat grafiti buatan tamu, Vivien Poly, seorang seniman dan fotografer asal Perancis.
Sejak awal, Abrakadabra ArtBnB didesain sebagai homestay dengan konsep kekeluargaan. Jali bahkan kerap mengajak para tamunya untuk berbelanja, memasak, dan makan bersama. Kadang-kadang, Jali juga menemani tamunya ke sejumlah obyek wisata di Yogyakarta. ”Yang dicari para backpacker, memang suasana seperti ini,” katanya.
Selain itu, Abrakadabra ArtBnB memiliki program unik untuk para tamu, yakni menginap gratis dengan imbalan jasa tertentu, misalnya, menjadi relawan untuk organisasi sosial di Yogyakarta. Tamu juga dapat menginap gratis bila mau mengajar bahasa Inggris untuk anak- anak kampung sekitar penginapan atau membantu bersih-bersih di homestay.
Memanfaatkan media sosial
Untuk memasarkan Abrakadabra ArtBnB, kerja sama dijalin dengan dua situs pemesanan penginapan, yakni Booking.com dan Airbnb.com. Selain itu, media sosial, seperti Instagram dan Facebook digunakan untuk mempromosikan homestay itu.
Abrakadabra ArtBnB juga berupaya mendapatkan ulasan yang bagus di situs-situs pemesanan penginapan. Karena itu, pengelola Abrakadabra ArtBnB berusaha maksimal untuk melayani tamu. ”Selain harga, yang dilihat pertama kali wisatawan itu, kan, review. Makanya, kita selalu berusaha mendapat review yang bagus,” ujar Jali.
Mayoritas tamu ternyata datang dari negara-negara Eropa, misalnya, Jerman, Perancis, Inggris, Belanda, dan Spanyol. Okupansi pun tinggi pada Juli-September bertepatan dengan liburan para wisatawan mancanegara. ”Kalau Juli, sering kali di sini full,” katanya.
Meski homestay itu sederhana, Costes Caroline (28), seorang turis, mengaku nyaman. ”Saya merasa seperti di rumah dan orang-orang yang mengelola tempat ini menjadi seperti keluarga,” ujar Caroline yang menginap selama delapan hari.
”Teman saya yang pernah menginap di sini bilang kalau tempat ini sangat menyenangkan. Selain itu, tarif penginapan ini juga murah,” kata Caroline, yang asli dari kota Toulouse itu.
Selain Abrakadabra ArtBnB, masih banyak homestay lain di Yogyakarta yang berhasil meraih kepercayaan wisatawan. Salah satunya adalah Rubilang Homestay di Dusun Sembungan, Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penginapan yang berjarak sekitar 7 kilometer dari pusat Kota Yogyakarta ini dikelola suami-istri, Desi Suryanto (39) dan Oki Permatasari (39).
Tadinya homestay ini hanya bagian dari rumah pribadi Desi dan Oki. Sebuah rumah dua lantai dengan luas bangunan 108 meter persegi. Yang kemudian difungsikan sebagai homestay adalah dua kamar tidur, satu kamar mandi, satu dapur, satu teras, dan satu garasi atau gudang.
Sementara itu, Desi-Oki dan dua orang anaknya memilih tinggal di lantai dua.
Kamar yang tak terpakai
”Awalnya kami tidak berniat menjadikan rumah ini sebagai homestay,” ujar Desi, Jumat (29/6). Dua kamar tidur di lantai pertama itu tadinya untuk dua anaknya. Namun, karena kedua anak mereka masih terlalu kecil, anak-anak itu memilih tidur bersama orangtuanya.
Akhirnya, setelah mempertimbangkan berbagai hal, Desi dan istrinya menjadikan lantai satu rumah mereka sebagai homestay. Rubilang Homestay mulai beroperasi Agustus 2015, atau enam bulan setelah Desi dan keluarganya tinggal di rumah tersebut.
Menurut Desi, nama ”Rubilang” adalah kependekan dari Rumah Bintang di Langit. ”Nama ini diambil dari nama dua anak kami. Anak pertama Lintang (bahasa Jawa dari Bintang) sementara anak kedua namanya Langit,” ujar Desi yang juga menjadi fotografer koran lokal di Yogyakarta itu.
Sama seperti kebanyakan homestay, tarif Rubilang Homestay tergolong murah, yakni Rp 150.000 per kamar untuk setiap malam. Fasilitasnya pun sederhana, yakni tempat tidur, kipas angin, serta meja dan kursi. Adapun kamar mandi tersedia di luar kamar. Selain itu, para tamu di Rubilang Homestay dapat memanfaatkan dapur yang ada untuk memasak.
Rubilang Homestay pun terbilang unik karena lokasinya jauh dari keramaian. Wilayah sekitar homestay ini masih berupa kebun dengan banyak pohon. Belum ada terlalu banyak rumah sehingga suasananya sangat tenang.
Pintu, jendela, pagar, maupun lantai dari Rubilang Homestay juga memanfaatkan barang-barang bekas. ”Hampir 80 persen kayu di rumah ini adalah kayu bekas dan hampir 95 persen lantai di rumah ini juga lantai bekas,” ujar Desi.
Sekitar 80 persen tamu berasal dari mancanegara, terutama Eropa. Namun, uniknya, mereka tidak murni wisatawan, tetapi orang-orang yang datang ke Yogyakarta untuk urusan pekerjaan.
Di antaranya, seniman, peneliti yang tengah riset, dan sebagainya. Bagaimana mereka dapat mengetahui keberadaan Rubilang Homestay? Ya, melalui media sosial dan yang terpenting adalah rekomendasi dari mulut ke mulut setelah mendapatkan pelayanan prima dari Desi dan keluarga.