Dengan penuh ekspresi, Rahman Ody (34) mengisap sum-sum dari sepotong tulang. Selama 30 detik, pipet tak pernah lepas dari mulutnya. Sshrghrghrgh...begitu bunyi yang terdengar dari pipet yang digunakan Rahman.
Rahman sedang menikmati sepiring kaledo di Warung Kaledo Mutiara, Kota Palu, Sabtu (22/7/2018), sekitar 8 kilometer dari pusat kota. Kaledo sering dimengerti sebagai singkatan dari kaki lembu donggala.
"Nikmat. Sum-sumnya sangat halus,” kata Rahman sembari mencicipi sepiring kaledo. Saat sum-sum tinggal sedikit, ia memasukkan air di dalam rongga tulang. Ini agar sum-sum yang masih melekat di dasar dan dinding tulang terisap. Rahman satu di antara para pengunjung yang menikmati kaledo siang itu.
Kaledo merupakan kuliner khas Donggala berupa sup dengan bahan utama tulang kaki sapi atau lembu yang banyak sum-sum di dalamnya. Sum-sum itulah yang menjadi kekhasan kaledo dibandingkan dengan, misalnya, sup buntut.
Kaledo merupakan kuliner khas Donggala berupa sup dengan bahan utama tulang kaki sapi atau lembu yang banyak sum-sum di dalamnya.
Tulang sapi atau lembu yang diolah menjadi kaledo berupa ruas tulang lutut yang biasanya mengandung banyak sum-sum. Ukuran tulang 5-7 sentimeter. Tak hanya sum-sum di dalam tulang, bagian luar tulang terutama ujungnya banyak daging yang menempel.
Kaledo sudah lama menjadi kuliner masyarakat Kaili, suku terbesar yang mendiami wilayah Donggala. Awalnya warga atau pemilik usaha hanya mengolah daging sapi donggala, sapi lokal, untuk menjadi kaledo sebagainama nama yang melekat pada makanan ini. Namun, belakangan daging sapi bali, jenis sapi yang paling banyak diternak, juga diolah menjadi kaledo.
Sapi donggala dicirikan dengan punuk yang menonjol dibandingkan dengan sapi bali. Selain itu, bulu sapi donggala umumnya berwana putih.
Donggala tidak hanya merujuk Kabupaten Donggala, tetapi juga Kota Palu, Kabupaten Sigi, Parigi Moutong. Dahulu, empat daerah itu berada dalam satu wilayah administrasi bernama Donggala dengan suku terbanyak suku Kaili.
Warga Kaili, belakangan juga warga etnis lain, seperti Bugis, mengolah kaledo sebagai makanan harian. Kaledo tak hanya disajikan saat hajatan.
Untuk mengurangi lemak pada umumnya dalam mengolah kaledo air masak pertama dibuang. Air baru setelahnya itulah yang menjadi bagian dari kaledo yang disantap.
Demi menjaga kualitas masakan, pelaku usaha kaledo masih setia dengan pengolahan trandisional, yaitu pengolahan kaledo dengan kayu bakar. Bara kayu dinilai lebih baik dalam “pembakaran” daging ketimbang dengan kompor. Bumbu yang digunakan pun masih tradisional, yakni buah asam dan cabai hijau yang diulek.
Di warung-warung di Palu, sepiring kaledo dihargai Rp 60.000. Pelanggan bisa memilih nasi atau ubi singkong sebagai “teman” kaledo.
Di Kota Palu, penikmat kaledo takkan kesulitan untuk mencari warung-warung yang menjual kaledo. Ada setidaknya 20 warung yang menyediakan kaledo, termasuk Warung Kaledo Mutiara yang terletak di Kelurahan Layana, Kecamatan Mantikulore.
Rostima (63), pemilik Warung Kaledo Mutiara, menyatakan untuk satu hari dirinya menyiapkan 15 kaki sapi dengan harga Rp 150.000 per kaki. “Pada awal hingga pertengahan bulan, 15 kaki itu ludes. Namun, pada akhir bulan, tak banyak pengunjung yang datang,” katanya yang sudah 15 tahun mengolah kaledo.
Dalam acara Pekan Budaya Indonesia tahun lalu di Palu, kaledo ditetapkan sebagai warisan budaya nasional tak benda.