Persepsi Lidah dalam Pesawat
Di balik sajian sepotong croissant hangat, nasi rendang, atau chicken rice di hadapan penumpang pesawat, ada persiapan panjang. Selain itu, ada prosedur ketat yang diterapkan sebelum makanan dan minuman dicecap pada ketinggian puluhan ribu kaki di atas bumi.
Ketinggian udara, tekanan, dan kelembaban udara memengaruhi persepsi rasa pada lidah. Itu sebabnya beberapa makanan yang di darat terasa enak, di udara bisa jadi berkurang rasa atau intensitasnya. Faktor lain yang berpengaruh adalah sirkulasi udara di dalam pesawat yang terjadi setiap 2-3 menit.
Jus tomat yang di daratan jarang dilirik orang, misalnya, di pesawat menjadi menu populer dan banyak dipesan orang. Ketinggian membuat kemampuan seseorang mencecap rasa makanan seakan lumpuh. Tekanan dalam pesawat membuat kemampuan merasakan manis dan asin berkurang hingga 30 persen. Karena itu, jus tomat yang di daratan terasa ”bau tanah” atau earthy, di ketinggian akan terasa lebih segar dengan sedikit asam.
Kondisi kelembaban udara luar ruang berkisar 70-80 persen, di ruang ber-AC kelembaban udaranya 40-50 persen, sedangkan di dalam pesawat hanya 30 persen. Tekanan udara rendah membuat udara terasa kering yang berpengaruh pada kemampuan lidah mengindera.
Demikian pula dengan suara bising pesawat yang memunculkan stres dan memengaruhi perilaku terhadap makanan, terutama dalam merasakan asin dan manis. Sebagai perbandingan, suara bising mesin mencapai 83 desibel (db) sehingga disarankan seseorang menggunakan penutup telinga, sedangkan di dalam pesawat kebisingan mencapai 80-85 db.
”Rasa gurih atau umami akan lebih terasa di dalam pesawat. Makanan yang renyah juga terasa lebih enak. Itu sebabnya hidangan udara lebih didominasi rasa gurih, asin, dan manis. Makanan juga diberi rasa asin dan manis 10-15 persen lebih tinggi ketimbang di daratan,” kata Harry Nazarudin, pegiat Jalansutra, yang mengutip buku Gastrophysics, The New Science of Eating karya Charles Spence.
Penasaran dengan rahasia dapur maskapai penerbangan, Komunitas Jalansutra berkunjung ke Aerofood ACS, anak perusahaan PT Garuda Indonesia yang melayani katering untuk penumpang maskapai penerbangan domestik dan asing. Di sana, mereka sempat dijamu makan siang dengan menu-menu yang sebagian besar juga disajikan di atas pesawat.
Nasi dan tumis aneka sayur yang terlihat segar, dilengkapi lauk berupa sapi cah jamur, ayam bakar kecap, dan cumi masak cabai hijau. Sebelumnya, sebagian peserta memilih memulai santap siang dengan menyendok asinan buah yang rasanya asam segar yang dilanjutkan dengan semangkuk sup yang hangat.
Sambil bersantap, para peserta berbincang tentang kegiatan mengunjungi ruang-ruang penyimpanan dan dapur di lantai satu dan dua gedung Aerofood ACS di kawasan Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Tidak lupa, sajian aneka buah potong dan puding mangga melengkapi rentetan acara makan siang itu yang berlangsung di sebuah ruang dengan menghadap ke area parkir pesawat. Sesekali pesawat terlihat melintas perlahan menuju area lepas landas.
Proses penyiapan
Dari hasil kunjungan diketahui panjangnya proses penyiapan makanan dan minuman untuk penumpang pesawat. Butuh waktu 12-24 jam sebelumnya untuk memasak segala kebutuhan makan dan minum penumpang.
Bahan makanan, seperti sayur, buah, beras, tepung, telur, daging, ikan, dan lainnya disortir terlebih dahulu ketika sampai dan disimpan di ruang penyimpanan masing-masing, yakni di ruang pendingin dengan suhu 0-5 derajat celsius atau 3-9 derajat celcius, freezer dengan suhu -18 hingga -30 derajat celsius, serta di ruang penyimpanan kering.
Dari ruang penyimpanan, bahan makanan yang dibutuhkan dibawa ke ruang produksi yang berada satu lantai di atas ruang penyimpanan. Beberapa jenis makanan, seperti daging dan ikan butuh dicairkan lebih dulu di ruang khusus sebelum diolah.
”Ada pula yang dipotong-potong terlebih dahulu baru dicairkan,” kata Nur Khasanah, Kepala Laboratorium Aerofood ACS yang memandu kunjungan.
Proses memasak dilakukan di ruang Hot Kitchen, seperti memasak nasi, rendang, nasi kuning, nasi goreng, dan lainnya. Sementara membuat produk pastry, bakery, dan coklat dikerjakan di Ruang Pastry. Adapun makanan semacam burger, sandwich, dan jus segar digarap di Cold Kitchen. Direktur Utama PT Aerofood ACS Grace Purukan sempat membagikan cokelat praline produksi dapur Aerofood kepada peserta kunjungan.
Bagian atas dinding dapur dibatasi kaca bening sehingga segala proses di dalamnya bisa terlihat dari luar. Pengunjung harus mengikuti aturan ketat sebelum masuk area penyimpanan dan produksi, seperti memakai masker, tutup kepala, dan baju pelapis. Kostum serupa digunakan karyawan Aerofood di area ini. Di tempat tertentu, petugas akan membersihkan kembali baju para tamu dengan alat khusus. Tamu juga perlu melewati ruang air shower untuk menghilangkan bulu, rambut, dan kotoran yang mungkin masih menempel pada pengunjung.
Makanan yang sudah selesai diolah di Hot Kitchen, Cold Kitchen, dan Ruang Pastry kemudian diturunkan suhunya secara cepat, kurang dari empat jam, sebelum disimpan di mesin pendingin. ”Bakteri tumbuh pada suhu 10-60 derajat. Masakan matang harus diturunkan suhunya secara cepat di Blast Chiller untuk meminimalkan pertumbuhan bakteri,” ungkap Regie Febriansyah dari bagian Penjaminan Mutu.
Masakan yang sudah jadi lalu ditata dan di kemas di ruang Hot Dishing sebelum dimasukkan lagi ke mesin pendingin. Jenis makanan tertentu disimpan dalam bentuk beku bergantung permintaan maskapai, seperti menu bayi, menu anak, menu diabetes, Asian Hindu Meal, dan Kosher Meal.
Makanan yang sudah ditata dan dikemas di Hot Dishing dimasukkan kembali ke chiller. Paling lambat tiga jam menjelang jadwal pesawat terbang, menu-menu itu sudah harus dipindahkan ke ruang Holding Room dengan suhu 0-5 derajat celsius.
Makanan yang dikirim ke pesawat masih dilengkapi dengan es kering untuk mempertahankan suhu di bawah 10 derajat. Ketika hendak dihidangkan kepada penumpang, barulah makanan dihangatkan kembali di dalam pesawat.
”Tiap hari kami melayani 250 jadwal penerbangan dari 25 maskapai, baik domestik maupun asing. Saat musim haji, tiap hari kami menyiapkan 50.000 porsi, sedangkan pada hari biasa 35.000 porsi. Selain katering pesawat, kami juga melayani katering rumah sakit dan pertambangan lepas pantai,” ungkap Winny Aqshani, Manajer Kualitas, Kesehatan, Keamanan, dan Lingkungan (QHSE) Aerofood ACS.
Dalam presentasi seusai kunjungan, Harry sempat bertanya kepada rombongan, apakah makanan yang disajikan di pesawat terasa enak atau tidak, kebanyakan menjawab tidak enak. ”Ternyata, makanan di pesawat itu dulunya enak,” kata Harry.
Diungkapkan, pada 1955 maskapai Scandinavian Airlines pernah dijatuhi denda 20.000 dollar Amerika Serikat oleh IATA (International Air Transport Association) gara-gara menyajikan roti yang terlalu enak di kelas ekonomi. Akibatnya, maskapai penerbangan lain melancarkan protes. Pemberlakuan kelas-kelas penerbangan mulai terjadi sejak tahun 1952. ”Makanan di kelas bisnis dan first class dikenal lebih enak. Ternyata juga ada faktor lain yang berpengaruh, yakni alat makannya,” tambah Harry.
Alat makan berupa piring dari keramik dan sendok garpu logam membuat penumpang merasakan makanannya lebih enak. Sementara di kelas ekonomi yang menggunakan peralatan makan plastik tidak demikian.