Inklusivitas Mode
Fashion atau mode kerap sekali dipandang eksklusif, hanya diakrabi oleh mereka yang bertubuh ”sempurna” dan berparas menawan atau dibicarakan oleh mereka yang mapan. Sesungguhnya sebagai kepanjangan dari sandang yang dibutuhkan semua orang, mode semestinya bisa dinikmati oleh semua pihak, termasuk para difabel.
Sesi khusus yang disebut exclusive show pada salah satu segmen Jakarta Modest Fashion Week (JMFW), pekan lalu, menampilkan karya busana yang dirancang oleh para difabel. Termasuk peragaannya yang juga ditampilkan oleh para model difabel, yakni dari komunitas Thisable Enterprise dan atlet- atlet Indonesia yang akan berlaga di Asian Paragames 2018.
Sebanyak 14 busana yang dirancang oleh para difabel dari tiga negara, yakni Indonesia, Jerman, dan Turki, ditampilkan dalam ajang ini. Dari Indonesia, delapan penyandang bisu-tuli merancang delapan baju yang produksinya kemudian dibantu #Markamarie, label busana modest dan mitra lokal yang digandeng penyelenggara acara JMFW. Empat baju lainnya merupakan karya dari komunitas penyandang kesulitan mental dari Turki serta penyandang kesulitan mobilitas pengguna kursi roda dari Jerman.
”Ide awal program ini adalah menciptakan kesadaran global bahwa fashion untuk semua orang, termasuk difabel. Demikian pula dengan acara fashion show ini. Di dunia, 15 persen populasi adalah difabel. Di antara mereka adalah perempuan. Sudah fitrahnya perempuan suka fashion jadi mengapa kita tidak bikin fashion yang inklusif supaya semua orang bisa akses,” kata Ozlem Sahin, co-founder Think Fashion, penyelenggara JMFW.
Rancangan baju yang dibuat, selain untuk dipakai orang umum juga ada yang dirancang khusus bagi difabel agar mudah dan nyaman dikenakan. Prosesnya, para difabel diminta menggambar rancangan yang mereka mau atau setidaknya mereka memilih terkait baju yang ingin mereka buat.
”Setiap komunitas didampingi oleh desainer senior. Misalnya, di Turki, mereka diminta menunjuk baju seperti apa yang mereka suka, jenis bahan, dan ukuran yang mereka inginkan,” lanjut Ozlem.
Salah satu desainer difabel di Indonesia yang terlibat, Sri Indriani Noersetyaningsih (50), mengungkapkan, ia dan teman- temannya sesama tunarungu membuat sketsa rancangan termasuk mewarnainya. Hasil rancangan kemudian dipilih beberapa untuk disesuaikan warna dan temanya. Setelah itu baru diproduksi. Ninik dan teman- temannya tergabung dalam Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin) dan Majelis Ta’lim Tuli Indonesia (MTTI).
Ninik lulusan Diploma III Desain dan Seni Rupa Institut Sarjana Wanita Indonesia (ISWI). Ia sebenarnya ingin merintis karier sebagai desainer, tetapi terkendala dana. Selain peragaan busana di kampusnya, Ninik juga pernah mengikuti peragaan busana di Belanda bersama teman- temannya yang memperoleh nilai bagus selama kuliah. Ia sempat menjadi penata gaya atau penata rambut di sebuah perusahaan sebelum kemudian membuka jasa jahit baju, tas, seprai, mukena, dan suvenir di rumah.
”Senang karena desain kami ditampilkan. Selama ini, kami kesulitan menunjukkan karya kami karena kurangnya akses sehingga kesejahteraan tunarungu rendah. Mudah-mudahan ke depan difabel semakin mudah berkarya dan memasarkan karya,” kata Ninik melalui pesan tertulis.
Koleksi baju para desainer ini dilengkapi dengan syal atau kerudung yang motifnya dibuat oleh para difabel yang tergabung dalam The Able Art. Karya seni mereka berupa lukisan, gambarnya diaplikasikan menjadi kerudung, syal, tas, dan pouch.
Membantu pengungsi
Menurut Ozlem, program ini tidak akan berhenti sampai JMFW saja. Pihaknya berencana memperbanyak hasil desain para difabel dan memasarkannya ke seluruh dunia secara daring. Di Indonesia, rancangan para desainer difabel ini akan dijual melalui JMFW Points yang tersebar di beberapa cabang Metro Departement Store selama beberapa bulan ke depan. Hasil penjualan akan dikembalikan kepada para difabel yang terlibat.
”Tujuan kami lainnya adalah membawa para difabel ini masuk industri mode, baik sebagai desainer, penjahit, pembuat pola, dan lainnya. Mereka punya bakat yang tidak kalah dari kita yang menamakan diri orang normal,” kata Ozlem.
Selain karya para desainer difabel yang tampil dalam sesi peragaan Dream and Design for Disabilities, beberapa desainer lain yang tampil juga melibatkan difabel atau membuat desain khusus bagi difabel, seperti
Dhienda Nasrul dan Three Little Ahmads.
Untuk melengkapi koleksi busananya, Dhienda mengajak kerja sama tiga anak berkebutuhan khusus penyandang autisme untuk mendesain motif kerudung, yakni Mandita, Rey, dan Putri masing-masing membuat tiga desain yang kemudian dicetak digital di atas material kain voile (voal). Sebanyak 10 persen keuntungan hasil penjualan, menurut Dhienda, akan disumbangkan kepada para pengungsi yang berada di jalanan Ibu Kota.
”Kami ingin membiasakan tangan di atas, lebih baik memberi daripada menerima. Meskipun teman-teman ini boleh dibilang memiliki kekurangan tapi saat ini kondisinya masih lebih bagus dibandingkan para pengungsi yang terusir dari negaranya, tidak punya rumah, tidak bisa kerja atau sekolah,” kata Dhienda yang akan menyumbangkan 10 persen keuntungan pada para pengungsi pencari suaka.
Dari hasil pendalamannya, menurut Dhienda, dalam setahun biasanya bisa ada empat kloter kedatangan pengungsi para pencari suaka yang transit di Indonesia. Biasanya tujuan utama mereka ke Australia dan Amerika. Saat ini, para pengungsi kebanyakan datang dari Afghanistan, Sudan, dan Somalia. Mereka ditampung salah satunya di Rumah Detensi di Jakarta Barat. Namun, karena jumlahnya terlalu banyak, ada yang tidak tertampung dan terpaksa hidup di jalanan mengandalkan donasi orang. Mereka dilarang bekerja dan sekolah.
Dhienda memberikan gambaran kondisi ini kepada teman-teman penyandang autisme yang lantas menerjemahkannya menjadi gambar. Mandita misalnya, menggambar anak- anak ayam yang kehilangan induknya sebagai simbol anak-anak yang kehilangan ayah dan ibu akibat perang serta hidup hanya beratapkan langit. Gambar ini dituangkan di atas kanvas, kemudian dicetak digital di atas kain kerudung.
Gambar lainnya adalah binatang langka yang lari ke luar bumi karena di bumi sudah tidak aman. Dia lantas ditolong makhluk dari planet lain. Ini sebagai simbol manusia yang lari akibat perang.
”Kami senang ada yang memberikan tempat kepada para difabel dan anak berkebutuhan khusus. Semoga cara pandang orang umum lebih apresiatif lagi terhadap mereka,” kata Dian Parmitasari, ibu Mandita.
Label Three Little Ahmads asal Malaysia juga memberikan perhatian khusus kepada difabel. Label ini menggarap segmen anak- anak. Salah satu bajunya diperagakan oleh seorang anak pengguna kursi roda. Baju itu bisa dipakai bolak-balik dengan tampilan visual berbeda yang sangat mudah dicopot dan dipakaikan kembali oleh orang dewasa yang mendampingi dengan posisi anak tetap berada di atas kursi roda.
”Setelah ini, karya para difabel akan kami bawa ke Dubai Modest Fashion Week yang, menurut rencana, akan digelar akhir tahun ini. Produk mereka juga akan dijual ke beberapa negara. Kemungkinan labelnya Dream and Design for Disabilities,” ungkap Franka Soeria, founder Think Fashion, penyelenggara jaringan Modest Fashion Week.